You are on page 1of 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal ginjal kronik


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²,
seperti pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik


1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai
laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit
ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan
fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan
fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang
sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi
ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73
m²)
0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau ≥ 90
meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
(Sumber: Clarkson, 2005)

2.1.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,
2006).

Universitas Sumatera Utara


b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,
1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal

Universitas Sumatera Utara


lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,
1998).

2.1.3 Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.4 Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan
adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang
sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan
adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama
pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal
akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih
lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).

2.1.5 Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.

Universitas Sumatera Utara


b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat

Universitas Sumatera Utara


seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.1.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar,
2006).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Universitas Sumatera Utara


b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal


Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG).

2.1.7 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin

Universitas Sumatera Utara


kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.8 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

Universitas Sumatera Utara


diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Universitas Sumatera Utara


Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali

Universitas Sumatera Utara


c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2.2 Perilaku
Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi
biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia,
mempunyai aktivitas masing-masing. Aktivitas manusia dikelompokkan menjadi
dua bagian. Yang pertama adalah aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang
lain, seperti berjalan, bernyanyi, tertawa, dan sebagainya. Yang kedua adalah
aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar), seperti berpikir,
berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo (2005)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi
melalui proses stimulus-organisme-respons (S-O-R). Berdasarkan teori “S-O-R”
tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku tertutup (covert behavior)


Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau
“covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
“observable behavior”.

Universitas Sumatera Utara


2.2.1 Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga,
dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan yang dicakup dalam
domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti dalam tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif


Domain Definisi
Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
Memahami Kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar
Aplikasi Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi atau kondisi riil
Analisis Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu
struktur organisasi tersebut
Sintesis Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau obyek
(Sumber: Notoatmodjo, 2005)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-


pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan
tertulis atau angket (Notoatmodjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Sikap (attitude)
Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan
sebagainya). Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa
sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005), sikap mempunyai tiga
komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap
objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap
adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).
Ketiga komponen tersebut secara bersama-bersama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang
bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara
memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju”
terhadap pernyataan-pernyataan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan,
dan emosi memegang peranan penting. Sikap mempunyai tingkat-tingkat
berdasarkan intensitasnya seperti dalam tabel 2.4 berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.4 Tingkat sikap berdasarkan intensitasnya
Domain Definisi
Menerima Menerima stimulus yang diberikan (objek)
Menanggapi Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan
atau objek yang dihadapi
Menghargai Memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus,
membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak
atau mempengaruhi orang lain
Bertanggung jawab Bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya
(Sumber: Notoatmodjo, 2005)

2.2.3 Tindakan atau praktik (practice)


Tindakan merupakan lanjutan dari sikap, karena sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan (Notoatmodjo, 2005). Sebab untuk terwujudnya tindakan
perlu faktor lain, yaitu antara lain fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau
tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis.
c. Adopsi (adoption)
Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa saja yang
dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Universitas Sumatera Utara


BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah :

Pengetahuan Mengenai GGK

Keluarga Pasien Hemodialisis Sikap Mengenai GGK

Tindakan Mengenai GGK

3.2 Definisi Operasional


a. Keluarga pasien hemodialisis adalah orang yang termasuk dalam keluarga luas,
yaitu mencakup semua orang yang berketurunan dengan umur 16 tahun ke atas
dari kakek nenek yang sama, termasuk keturunan masing-masing istri dan
suami yang menemani pasien hemodialisis selama menjalani hemodialisis di
Klinik Rasyida Medan.
b. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai GGK.
c. Sikap adalah tanggapan atau reaksi responden mengenai GGK.
d. Tindakan adalah segala sesuatu yang telah dilakukan responden sehubungan
dengan pengetahuan dan sikap tentang GGK.

Universitas Sumatera Utara

You might also like