You are on page 1of 17

“Masalah Urbanisasi, Transmigrasi

dan
Persebaran Penduduk di Indonesia”

TUGAS MATA KULIAH


Demografi dan SDM

DOSEN
Prof. Drs. Kasto, MA.

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


Mencapai derajat Pascasarjana (S2)
Program Studi Ketahanan Nasional

Diajukan oleh:

RONALD
10/309996/PMU/06847

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

1
Pendahuluan

Migrasi merupakan hak azasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Hak Azasi
Manusia Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah kesatuan
Republik Indonesia., maka daerah tidak boleh melarang sesorang untuk berpindah tempat
guna memperbaiki taraf kehidupannya. Migrasi timbul karena adanya faktor pendorong dari
daerah asal dan adanya faktor penarik di daerah tujuan. Strategi yang dianggap paling tepat
untuk penanganan migrasi penduduk adalah mengurangi kesejanjangan antar daerah melalui
kerjasama dalam mengoptimalkan potensi, dan memanfaatkan kebijakan/peraturan yang ada.

Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah


masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara
desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan
diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum,
perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus
segera dicarikan jalan keluarnya.

Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase


penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya
salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni:
Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna
perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota.
Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara
atau tidak menetap.

Berdasarkan UU otonomi daerah Tahun 1999, maka kebijakan kependudukan yang


berkaitan dengan mobilitas, migrasi dan perseberan penduduk di daerah maupun antar daerah
menjadi tanggungjawab daerah yang bersangkutan. Undang Undang Otonomi daerah Tahun
1999 sudah dimplementasikan di Propinsi Jawa Tengah sekitar 5 tahun, menurut laporan
pertanggungjawaban Gubernur Jawa Tengah masih terdapat banyak permasalahan

2
diantaranya: Kesenjangan antar wilyah/ daerah, dan pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap banyak aspek kehidupan masyarakat diantaranya : mobilitas/migrasi penduduk
penduduk.

3
Pembahasan

Analsis yang digunakan untuk menjelaskan Pengertian migrasi atau perpindahan


penduduk menggunakan konsep mobilitas penduduk menurut Tjiptoreijanto (1986) meliputi
mobilitas vertikal (perubahan status sosial) maupun horizontal (tempat/lokasi), namun dalam
artikel ini pembahasan difokuskan pada mobilitas horizontal (migrasi).

Menurut teori klasik “ Merkantalisme” bahwa alasan utama seseorang berimigrasi


karena alasan ekspansi dan ekonomi, sedangkan menurut teori migrasi kontemporer pada
umumnya migrasi penduduk berkaitan erat dengan: faktor pendorong dan faktor penarik.
Faktor penarik:

1. Adanya daya tarik (superior) ditempat daerah tujuan untuk memperoleh kesempatan
kerja seperti yang diinginkan (cocok)
2. Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik
3. Kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik sesuai yang diinginkan
4. Kondisi daerah tujuan yang lebih unggul/ menyenangkan: iklim, sekolah, perumahan,
fasilitas lain.
5. Daya tarik aktivitas daerah tujuan: tempat hiburan, wisata, dll

Faktor Pendorong:

1. Makin berkurangnya sumber daya alam dan kebutuhan akan bahan baku di daerah asal
dan melimpahnya bahan baku di daerah tujuan
2. Berkurangnya kesempatan kerja di daerah asal
3. Adanya tekanan-tekanan di daerah asal (etnisitas, agama,dll)
4. Bencana alam, wabah penyakit.

Beberapa pendapat dari pelbagai ilmuwan mengenai sebab dan akibat urbanisasi :

a.     Dwyer, Singh, dan Suharso mempunyai pendapat yang sama yaitu bahwa sebab dari
perpindahan penduduk desa ke kota adalah kekurangan tanah dan rendahnya pendidikan
atau motivasi ekonomi.

b.     Mc Gee berpendapat bahwa migrasi informal dan migrasi formal cendrung menjadi
pola urbanisasi di kota-kota Negara berkembang.

4
 Akibat dari urbanisasi dapat dikaitkan dengan dampak lingkungan terutama dampak
lingkungan hidup di kota :

1.      Pertambahan penduduk kota yang begitu cepat, sudah sulit diikuti dengan kemampuan
daya dukung kotanya, ruang untuk tempat tinggal,dan kelancaran lalu lintas sudah
sangat kurang.

2.      Pertambahan kendaraan baik roda dua maupun roda empat dapat menimbulkan polusi
udara, maupun polusi suara yang dapat membahayakan bagi kehidupan manusia
tersebut.

3.      Pencemaran yang bersifat social dan ekonomi dapat kita lihat seperti banyaknya para
gelandangan, pengemis, pelbagai bentuk kenakalan, kejahatan.

Transisi Demografi

Transisi demografi adalah perubahan terhadap fertilitas dan mortilitas yang besar. Perubahan
atau transisi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Pada gambar diatas terlihat transisi penduduk ada posisi stabil pada tingkat kelahiran tinggi,
menjadi turun ke stabil pada kelahiran dan kematian rendah.

A. Pada keadaan I

Tingkat kelahiran dan kematian tinggi antara 40 sampai 50. Keadaannya masih alami tingkat
kelahiran tinggi/ tidak terkendali dan tingkat ekonomi yang rendah, sehingga kesehatan dan
gizi lingkungan kurang mendukung. Akibatnya kelaparan dan kejadian penyakit tinggi
sehingga tingkat kematian pun tinggi (kondisi pra intervensi/pembangunan).

5
B. Pada keadaan II

Angka kematian turun lebih dahulu akibat peningkatan pembangunan dan teknologi,
misalnya dibidang kesehatan, lingkungan, perumahan dan lain-lain. Kondisi ekonomi makin
membaik akibat pembangunan dan pendapatan penduduk meningkat sehingga kesehatan
semakin baik. Akibatnya tingkat kelahiran tetap tinggi (makin sehat) tetapi angka kematian
menurun (akibat kesehatan dan lain- lain). Pada kondisi ini akan terasa tingginya laju
pertumbuhan penduduk alami, seperti dialami indonesia pada periode tahun 1970 sampai
1980 dengan angka pertumbuhan 2,32 % per tahun.

C. Pada keadaan III

Terjadi perubahan akibat pembangunan dan juga upaya pengendalian penduduk, maka sikap
terhadap fertilitas berubah menjadi cenderung punya anak sedikit, maka turunnya tingkat
kematian juga diikuti turunnya tingkat kelahiran sehingga pertumbuhan penduduk menjadi
tidak tinggi lagi. Keadaan tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan penduduk indonesia
periode 1980 sampai 1990 yang turun menjadi 1,85 %.

D. Pada keadaan IV

Bila penurunan tingkat kelahiran dan kematian berlangsung terus menerus, maka akan
mengakibatkan pertumbuhan yang stabil pada tingkat yang rendah indonesia sedang
menuju/mengharap tercapainya kondisi ini yaitu penduduk bertambah sangat rendah atau
tanpa pertumbuhan. Demikian lah gambaran transisi demografi yang dapat dipercepat dengan
peningkatan pembangunan terutama bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan kb.

Menurut blacker (1947) ada 5 phase dalam teori transisi demografi, dimana khususnya phase
2 dan 3 adalah phase transisi.

Tahap-tahap dalam transisi demografi

1. Tahap stasioner tinggi

Tingkat kelahiran: tinggi

Tingkat kematian: tinggi

6
Pertumbuhan alami: nol/sangat rendah

Contoh: eropa abad 14

2. Tahap awal perkembangan

Tingkat kelahiran: tinggi (ada budaya pro natalis)

Tingkat kematian: lambat menurun

Pertumbuhan alami: lambat

Contoh: india sebelum pd ii

3. Tahap akhir perkembangan

Tingkat kelahiran: menurun

Tingkat kematian: menurun lebih cepat dari tingkat kelahiran

Pertumbuhan alami: cepat

Contoh: australia, selandia baru tahun ‘30an

4. Tahap stasioner rendah

Tingkat kelahiran: rendah

Tingkat kematian: rendah

Pertumbuhan alami: nol/sangat rendah

Contoh: perancis sebelum pd ii

5. Tahap menurun

Tingkat kelahiran: rendah

Tingkat kematian: lebih tinggi dari tingkat kelahiran

7
Pertumbuhan alami: negatif

Contoh: jerman timur & barat tahun ‘75

Ada beberapa masalah dalam mengaplikasikan teori transisi demografi bagi negara-negara
berkembang. Bila di eropa, penurunan mortalitas lebih dikarenakan pembangunan sosio
ekonomi, namun penurunan mortalitas dan fertilitas di negara-negara berkembang lebih
karena pengaruh faktor-faktor lain seperti: peningkatan pemakaian kontrasepsi, peningkatan
perhatian pemerintah, modernisasi, pembangunan dll.

Komposisi Penduduk

Berdasarkan komposisinya piramida penduduk dibedakan atas :

 Penduduk muda yaitu penduduk dalam pertumbuhan, alasannya lebih besar dan
ujungnya runcing, jumlah kelahiran lebih besar dari jumlah kematian

 Bentuk piramida stasioner, disini keadaan penduduk usia muda, usia dewasa dan
lanjut usia seimbang, pyramid penduduk stasioner ini merupakan idealnya keadaan
penduduk suatu Negara

 Piramida penduduk tua, yaitu piramida pendduk yang menggambarkan penduduk


dalam kemunduran, pyramid ini menunjukkan bahwa penduduk usia muda jumlanya
lebih kecil dibandingkan dengan penduduk dewasa, hal ini menjadi masalah karena
jika ini berjalan terus menerus memungkinkan penduduk akan menjadi musnah
karena kehabisan. Disini angka kelahiran lebih kecil dibandingkan angka kematian.

Persebaran Penduduk

Kecenderungan manusia untuk memilih daerah yang subur untuk tempat tinggalnya,
terjadi sejak pola hidup masih sangat sederhana. Itulah maka sejak masa purba daerah sangat
subur selalu menjadi perebutan mansuia, sehingga kemungkinan besar terjadi kepadatan
penduduk.

Daerah semacam inilah yang kemudian berkembang menjadi daerah perkotaan,


daerah tempat pemerintahan, daerah perdagangan dan sebagainya.. menimbulkan

8
ketidakseimbangan penduduk ditiap-tiap daerah. Sehingga terjadi daerah yang berpenduduk
padat. Dari prinsip itulah kemudian terjadi perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah
lain.

Dilihat dari jumlah penduduknya Indonesia termasuk negara terbesar ketiga diantara
negara-negara sedang berkembang setelah Gina dan India. Hasil pencacahan lengkap sensus
penduduk 1990, penduduk Indonesia berjumlah 179,4 juta jiwa. Berdasarkan hasil proyeksi
penduduk, julah penduduk pada tahun 1995 mencapai 195,3 juta jiwa.

Kepadatan Propinsi masih belum merata. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990
sekitar 60% penduduk tinggal di Pulau Jawa, padahal luas Pulau Jawa hanya sekitar 7% dari
seluruh wilayah daratan Indonesia. Dilain pihak, Kalimantan yang memiliki 28% dari luas
total, hanya dihuni oleh 5% penduduk Indonesia. Dengan demikian kepadatan penduduk
secara regional juga sangat timpang, sementara kepadatan per kilometer persegi di Pulau
Jawa mencapai 814 orang, di Maluku dan Irian Jaya hanya 7 orang (BPS, 1994:29).

Ketidakseimbangan kepadatan penduduk ini mengakibatkan ketidakmerataan


pembangunan baik phisik maupun non phisik yang selanjutnya mengakibatkan keinginan
untuk pindah semakin tinggi. Arus perpindahan penduduk biasanya bergerak dari daerah
yang agak terkebelakang pembangunannya ke daerah yang lebih maju, sehingga daerah yang
sudah padat menjadi semakin padat.

Untuk memecahkan masalah ini dilaksanakan program pepindahan penduduk dari


daerah padat ke daerah kekurangan penduduk, yaitu program transmigrasi.

Sasaran utama program transmigrasi semula adalah untuk mengurangi kelebihan


penduduk di Pulau Jawa. Tetapi ternyata jumlah penduduk yang berhasil di transmigrasikan
keluar Jawa sangat kecil jumlahnya. Pada tahun 1953 direncanakan 100.000 penduduk, tetapi
hanya sebanyak 40.000 orang yang berhasil dipindahkan (BPS 1994:90)

Walaupun demikian, program transmigrasi sudah menunjukan hasilnya dimana


penduduk yang tinggal di Pulau Jawa turun dari 60% pada tahun 1990, diproyeksikan
menjadi 57,7% pada tahun 2000. Sebaliknya diluar Jawa diproyeksikan akan terjadi kenaikan
tahun 1990-2000. Di Pulau Sumatera naik dari 21% pada tahun 1990 menjadi 21,65 % pada
tahun 2000 (BPS 1990:6-7).

9
Proses urbanisasi sangat terkait mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit
perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai
perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat
menetap di daerah yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan
penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di
daerah yang baru tersebut. Di dalam pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat
ini baru merupakan data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping
itu, data migrasi pun baru mencakup batasan daerah tingkat I. Dengan demikian, seseorang
dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika propinsi tempat tinggal orang tersebut
sekarang ini, berbeda dengan propinsi dimana yang bersangkutan dilahirkan. Selain itu
seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika propinsi tempat tinggal sekarang berbeda
dengan propinsi tempat tinggalnya lima tahun yang lalu.

Oleh karena itu, pemerintah di samping mengembangkan kebijaksanaan pengarahan


persebaran dan mobilitas penduduk, termasuk di dalamnya urbanisasi, juga berkewajiban
menyempurnakan sistem pencatatan mobilitas dan migrasi penduduk agar kondisi data yang
ada lebih sesuai kondisi di lapangan. Terutama bila diperlukan untuk perumusan suatu
kebijakan kependudukan.

Perkembangan Urbanisasi

Di masa mendatang, para ahli kependudukan memperkirakan bahwa proses urbanisasi


di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-kota. Perkiraan ini didasarkan pada
makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah perkotaan, relatif lambannya
perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, serta relatif kuatnya
kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan yang “urban bias”, sehingga memperbesar daya
tarik daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan . Itulah sebabnya di
masa mendatang, isu urbanisasi dan mobilitas atau migrasi penduduk menjadi sulit untuk
dipisahkan dan akan menjadi isu yang penting dalam kebijaksanaan kependudukan di
Indonesia.

Jika di masa lalu dan dewasa ini, isu kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas)
masih mendominasi kebijaksanaan kependudukan, di masa mendatang manakala tingkat
kelahiran dan kematian sudah menjadi rendah, ukuran keluarga menjadi kecil, dan sebaliknya
kesejahteraan keluarga dan masyarakat meningkat, maka keinginan untuk melakukan

10
mobilitas bagi sebagian besar penduduk akan semakin meningkat dan terutama yang menuju
daerah perkotaan.

Jika pada tahun 1980 migran di Indonesia berjumlah 3,7 juta jiwa, maka angka
tersebut meningkat menjadi 5,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan sedikit menurun menjadi 4,3
juta jiwa pada periode 1990-1995. Secara kumulatif diketahui bahwa sampai tahun 1980,
jumlah penduduk Indonesia yang pernah melakukan migrasi adalah 11,4 juta jiwa, sedangkan
pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 17,8 juta jiwa.

Lebih lanjut, data survei penduduk antarsensus (Supas) 1995 memperlihatkan bahwa
tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa
35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat
dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen
pada tahun 1995.

Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan


pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh
pemerintah. Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif
dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Ada kecenderungan bahwa aktivitas
perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk
yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan
ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga
menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.

Di sini dapat dilihat adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan
konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang
telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang
lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya
distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat
kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan
untuk mendapatkan pekerjaan . Dengan demikian, urbanisasi merupakan suatu proses
perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat.

11
Jika urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar, mengapa proses
urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan? Ada dua alasan mengapa urbanisasi perlu
diarahkan.

Pertama, pemerintah berkeinginan untuk sesegera mungkin meningkatkan proporsi


penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa
meningkatnya penduduk daerah perkotaan akan berkaitan erat dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi negara. Data memperlihatkan bahwa suatu negara atau daerah dengan
tingkat perekonomian yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat urbanisasi yang lebih tinggi,
dan sebaliknya. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75
persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya
masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja.

Kedua, terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau tidak terkendali, dapat
menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri. Ukuran terkendali atau
tidaknya proses urbanisasi biasanya dikenal dengan ukuran primacy rate, yang kurang lebih
diartikan sebagai kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu negara atau wilayah terhadap
kota-kota di sekitarnya. Makin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik
dalam proses urbanisasi. Sayangnya data mutahir mengenai primacy rate di Indonesia tidak
tersedia.

Kebijaksanaan urbanisasi di Indonesia

Ada dua kelompok besar kebijaksanaan pengarahan urbanisasi di Indonesia yang saat
ini sedang dikembangkan.

Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah


perkotaan. Upaya tersebut sekarang ini dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan “.

Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah
“daerah penyangga pusat pertumbuhan”.

Kelompok kebijaksanaan pertama merupakan upaya untuk “mempercepat” tingkat


urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa
terobosan yang bersifat “non-ekonomi”. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut
diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan

12
daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap “dikenal” pada nuansa
pedesaan. Dengan demikian, penduduk daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai “orang
kota” walaupun sebenarnya mereka masih tinggal di suatu daerah yang memiliki nuansa
pedesaan .

Beberapa cara yang sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi


tersebut antara lain dengan “memodernisasi” daerah pedesaan sehingga memiliki sifat-sifat
daerah perkotaan. Pengertian “modernisasi” daerah pedesaan tidak semata-mata dalam arti
fisik, seperti misalnya membangun fasilitas perkotaan, namun membangun penduduk
pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Dalam hubungan inilah
lahir konsep “urbanisasi pedesaan”. Konsep “urbanisasi pedesaan” mengacu pada kondisi di
mana suatu daerah secara fisik masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang “kental”, namun
karena “ciri penduduk” yang hidup didalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri,
seperti antara lain mata pencaharian lebih besar di nonpertanian, sudah mengenal dan
memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan,
dan sebagainya, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.

Dengan demikian, apa yang harus dikembangkan adalah membangun penduduk


pedesaan agar memiliki ciri-ciri penduduk perkotaan dalam arti positif tanpa harus merubah
suasana fisik pedesaan secara berlebihan. Namun, daerah pedesaan tersebut sudah dapat
dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Sudah barang tentu bersamaan dengan pembangunan
penduduk pedesaan tersebut diperlukan sistem perekonomian yang cocok dengan potensi
daerah pedesaan itu sendiri. Jika konsep urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat
dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat
perkembangannya tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa
menunggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Bahkan sebaliknya, dengan
munculnya “para penduduk” di daerah “pedesaan” yang “bersuasana perkotaan” tersebut,
mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek
keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan
keseimbangan ekosistem serta lingkungan alam.

Kelompok kebijaksanaan kedua merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota


kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar
dan metropolitan. Pada kelompok ini, kebijaksanaan pengembangan perkotaan
diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu:

13
a) kebijaksanaan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan
lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi
perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur
investasi, penetapan suku bunga pinjaman dan pengaturan perpajakan bagi
peningkatan pendapatan kota;

b) penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola


kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang,
serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan
tata ruang kota/ perkotaan, dan

c) penanganan masalah kinerja masing-masing kota.

Dengan demikian, kebijaksanaan pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini


dilandasi pada konsepsi yang meliputi: (i) pengaturan mengenai sistem kota-kota; (ii)
terpadu; (iii) berwawasan lingkungan, dan (iv) peningkatan peran masyarakat dan swasta.
Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk
suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi “dominasi”
salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.

Urbanisasi merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya.
Karena, proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Namun demikian, proses urbanisasi tersebut perlu diarahkan agar tidak terjadi tingkat
primacy yang berlebihan. Pada saat ini pemerintah telah mengembangkan dua kelompok
kebijaksanaan untuk mengarahkan proses urbanisasi, yaitu mengembangkan apa yang dikenal
dengan istilah “urbanisasi pedesaan” dan juga mengembangkan “pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru”.

Diharapkan dengan makin bertumbuhnya daerah pedesaan dan juga menyebarnya


daerah-daerah pertumbuhan ekonomi, sasaran untuk mencapai tingkat urbanisasi sebesar 75
persen pada akhir tahun 2025, dan dibarengi dengan makin meratanya persebaran daerah
perkotaan, akan dapat terwujud.

14
Kesimpulan dan Saran

Kesenjangan pembangunan antar daerah adalah determinan terjadinya migrasi


penduduk.Persoalan yang berkaitan dengan migrasi, persebaran penduduk dalam suatu
daerah harus dikaji dengan menggunakan pendekatan sistem yang berarti persolan tersebut
muncul karena masalah (push faktor) yang ada di dalam Kabupaten/kota itu sendiri juga
dipengaruhi oleh lingkunganluar (pull faktor) yang berasal dari Kabupaten/Kota lain. Oleh
karena itu penangan migrasi dan persebaran penduduk harus menggunakan pendekatan
kseluruhan (holism).

Analisis terhadap migrasi dan persebaran penduduk akan lebih mudah untuk dicari
pemecahannya manakala telah teridentifikasi dengan cermat elemen input (karakteristik
daerah asal dan tujuan migran, volume migran), elemen process ( pola, arus migrasi) output
(sistem informasi), sehingga akan mempermudah dalam menyusun kebijakan kependudukan
dan pembangunan wilayah.

Sekarang proses urbanisasi di negara sedang berkembang makin cepat , tetapi ini
bukan karena daya tarik pekerjaan dikota tetapi karena hidup di desa susah. Tanah-tanah
pertanian makin lama makin kecil karena terus dibagi-bagi dari generasi ke generasi sehingga
menjadi terlalu kecil dan tidak mampu lagi menunjang kehidupan. Akibatnya, arus manusia
ke kota bertambah besar.

Tidak lama lagi, 80 % penduduk kota berpendapatan rendah di negara berkembang,


lebih dari separuh penduduk kota didunia, akan terpaksa hidup di kampung kota. Anak-anak
dan remaja terpaksa hidup dalam lingkungan yang tidak layak, lingkungan tanpa ruang untuk
kehidupan pribadi, hiburan, layanan, atau pendidikan, akan makin banyak. Dunia mereka
adalah dunia tanpa semangat hidup, di mana kehangatan, lampu dan kebersihan barang-
barang mewah berada diluar jangkauan mereka.

Jadi disini dalam mempelajari masalah urbanisasi ataupun ruralisasi dan masalah
perpindahan penduduk jenis yang lain. Desa dan kota harus mendapat perhatian dan
penanganan secara berimbang sesuai dengan kondisi, keadaan dan potensi masing-masing
wilayah. Dengan demikian, masalah pembangunan wilayah di kota, didesa, dan didaerah tepi
dapat berkembang secara berimbang dan serasi.

15
Dengan melihat hasil Sensus Penduduk 2010, telah jelas terlihat bahwa tren
pertumbuhan dan persebaran penduduk yang masih terkonstentrasi di daerah perkotaan.
Seharusnya ini menjadi satu indikator untuk pemerintah bahwa inilah saatnya menyiapkan
langkah-langkah konkrit untuk melakukan persebaran penduduk yang rata. Bisa melalui
pembangunan terus-menerus di daerah yang kepadatan penduduknya kurang, sehingga
urbanisasi dapat lebih terkontrol, atau dengan meningkatkan Pendidikan warganya, sehingga
member pengetahuan bahwa peluang untuk hidup bukan hanya berada di kota, tetapi dapat
dicari dan dikembangkan di pedesaan, baik dari pertanian, perkebunan maupun peternakan.

16
Daftar Pustaka

1. Sensus Penduduk, BPS 2010

2. Teori-teori Kependudukan, PT. Bina Aksara, Jakarta 1986

3. Biran Afandi, Kontrasepsi, Keluarga Berencana, Ilmu Kebidanan, Jakarta, Yayasan


Bina Pustaka, Sarwono Prawiroharjo, 1991

4. BKKBN, Kependudukan KB dan KIA, Bandung Balai Litbang, 1999.

5. http://tatasintha.wordpress.com/2010/10/08/studi-kasus-masalah-penyebaran-
penduduk/ diakses tanggal 24 Mei 2011

6. Wikipedia, bahanelektro.blogspot.com

7. http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2007/10/05/urbanisasi-mobilitas-dan-
perkembangan-perkotaan-di-indonesia/

8. Urbanisasi Dan Permasalahannya,Andre Miryo

17

You might also like