You are on page 1of 13

Ê 

 Ê 
  
 

 
 
Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mochammad Hoesin
Palembang

Ê   
Neuralgia pascaherpetik adalah komplikasi paling umum dan menakutkan pada
herpes zoster, serta merupakan penyakit neurologis yang paling umum di Amerika Serikat.
Data dari Ô  
Ô      
 di New York menunjukkan bahwa
herpes zoster terjadi pada 850.000 orang di Amerika setiap tahunnya. Neuralgia
pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri persisten yang terjadi satu bulan setelah
penyembuhan ruam hepatic, yang terjadi pada sekitar sepuluh persen pasien dengan herpes
zoster.(Watson, 2000)
Neuralgia pascaherpetik ditandai dengan nyeri yang terjadi secara spontan, dimana
nyeri diprovokasi oleh rangsangan yang ringan, dan nyeri ini terjadi lama setelah
penyembuhan ruam herpetik. Banyak pendekatan telah diusulkan untuk mengobati rasa
sakit pada masa akut penyakit ini untuk menghindari berkembangnya nyeri menjadi
neuralgia pascaherpetik dan untuk meringankan gejala pada neuralgia ini. Namun hanya
sedikit dari pendekatan ini yang terbukti bermanfaat, dan neuralgia pascaherpetik pun
masih menjadi sumber frustasi bagi pasien ataupun klinisi. Pada penulisan refrat kali ini,
akan dijelaskan mengenai patogenesis neuralgia pascaherpetik serta perkembangan dalam
pengobatannya.(Kost et al, 1996)

    
Angka kejadian herpes zoster tergantung pada prevalensi varisela dan belum ada
bukti yang menyebutkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan dengan kontak langsung
dengan orang yang menderita varisela atau herpes zoster. Insiden herpes zoster ditentukan
oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara 
dan virus.(Straus et al, 2008)
Salah satu faktor resiko yang terkuat adalah usia tua. Insiden Herpes zoster di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 2-3 kasus per 1000 penduduk per tahun. Insiden yang
sebenarnya secara signifikan mungkin lebih tinggi lagi mengingat banyaknya pasien yang
tidak datang ke pelayanan kesehatan dan banyaknya kasus yang tidak terdiagnosis.
Umumnya, dalam 10-20% populasi AS, ada 1 atau lebih yang terinfeksi zoster. Insiden

c
pada i di i yang memili i gangguan imun atau pada orang berusia lanjut akan lebi
tinggi mungkin mendekati 50%.(Kost et al 1996)
Faktor resiko lainnya adalah disfungsi imun seluler. Pasien yang mengalami
penekanan sistem imun memiliki resiko 20-100 kali lebih besar dibandingkan pasien
dengan imuno kompeten dengan umur yang sama. Kondisi imuno supresi yang
berhubungan dengan tingginya resiko herpes zoster adalah infeksi Ô 
  
  (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma,
penggunaan kemoterapi, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi
oportunistik pada orang yang terinfeksi HIV, dan pada indi idu lain, herpes zoster
merupakan pertanda awal adanya defisiensi imun. (Straus et al, 2008)
‘ Resiko terkena neuralgia pascaherpetik meningkat sesuai dengan meningkatnya
umur. Sedikit sekali anak-anak yang terkena neuralgia pascaherpetic, sedangkan berturut-
turut 27, 47, dan 73 persen peningkatan angka kejadian neuralgia pascaherpetik pada orang
dewasa diatas 55, 60, dan 70 tahun. Begitu pula dengan lamanya nyeri yang terjadi pada
pasien neuralgia pascaherpetic terjadi peningkatan sesuai dengan peningkatan umur. Nyeri
yang berlangsung lebih dari satu tahun dilaporkan terjadi 4 persen pada penderitausia
diatas 20 tahun, 22 persen pada penderita diatas 22 tahun, dan 48 persen pada usia diatas
70 tahun. Angka kejadian neuralgia pasca hepertik juga meningkat pada pasien dengan
optalmik zoster dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.(Watson et al,
2000)
i  


      
     

Gambar 1. A. Epidemiologi herpes zoster dan neuralgia Pascaherpetik. Angka kejadian herpes zoster per
1000 orang pada praktek kedokteran. B. Persentase pasien dengan nyeri yang tetap berlangsung setelah ruam
herpes zoster. C. Proporsi pasien dengan neuralgia pascaherpetik berdasarkan usia. (Straus et al, 2008)

‘
‘

Œ
A  
 Ô  
 (VZV) adalah anggota keluarga virus herpes. Virus lain yang
patogenik pada manusia adalah     HSV-1) dan HSV-
2,
  , 
  ,     (HHV-6) dan HHV-7, yang
menyebabkan roseola. Dan Sarkoma Kaposi yang berhubungan dengan virus herpes
dikenal sebagai HHV-8.Gen VZV mengkode sekitar 70 gen yang kebanyakan memiliki
rangkaian DNA dan memiliki fungsi yang homolog dengan gen pada virus herpes lainnya.
Secara cepat produk gen meregulasi replikasi VZV. Produk gen seperti   

   dan polimerase DNA virus mendukung replikasi virus. (Johnson et al,
2009)

Gambar 2. Varicella zoster virus ( Burns, 2004)



Ê   
Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi droplet dari
nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau sebelum hari ke-5
setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak virus dan perannya dalam
transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak bersifat infeksius.(James et al, 2006)
Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis posterior
atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus bersembunyi di
dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal ini menyebabkan
timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan dengan ganglion
tersebut. (Straus et al, 2008)

-
Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas tertinggi
untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis sensoris dari T1-L2.
Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno supresi, stres emosional, tumor yang
menyerang ganglion dorsal, trauma lokal atau manipulasi pada pembedahan spinal dan
sinusitis frontal. (Johnson et al, 2009)
Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent, begitu
pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang selanjutnya
memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan neuropeptida yang
terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama fase prodormal dan akut
pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion
spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis
dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini
hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara
klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang tidak
menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak menyakitkan).(Straus et al,
2008)
Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan neuralgia
pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien memiliki daerah
bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang abnormal terhadap sentuhan
ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi
oleh gerakan (allodynia mekanis) atau perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin).
(Kost et al, 1996)
Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia pascaherpetik
bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi pada susunan saraf tepi
dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf pusat. Akibat cidera yang
terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi secara spontan, serta memiliki ambang
aktivasi yang lebih rendah dan memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu
rangsangan. Peubahan-perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada
pendekatan terapi tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)

   
Periode inkubasi virus varisela zoster adalah selama 14 hari (rata-rata 10-23 hari).
1. Gejala prodromal


Gejala prodromal yang timbul antara lain: demam, anoreksia, dan kelesuan,
meskipun gejalanya biasanya ringan dan bisa saja tidak berhubungan dengan gejala klasik
pada zoster. Zoster dapat muncul dengan respon sistemik, misalnya Gejalanya meliputi
fenomena sensoris yang menyerang 1 atau lebih dermatom kulit pada hari 1-10, yang
biasanya berupa nyeri atau parestesi meskipun jarang terjadi. Nyeri prodormal dapat
menstimulasi timbulnya sakit kepala, iritis, neuritis brakhialis, nyeri kardiak, apendisitis
atau penyakit intraabdomen lainnya yang dapat menyulitkan diagnosis. Setelah timbulnya
onset gejala prodormal, gejala dan tanda yang akan terjadi selanjutnya meliputi:
M‘ Patch eritem yang disertai indurasi, yang mengenai area dermatom yang terlibat.
M‘ Limfadenopati regional bisa terjadi pada stadium ini atau sesudahnya.
M‘ Lesi yang timbul pada kulit biasanya bersifat unilateral dan alasannya belum
diketahui. (Straus, 2008)
Area yang diinervasi oleh saraf trigeminal, khususnya divisi optalmik dan trunkus
dari T3-L2 adalah area yang paling sering terkena, lesi jarang terjadi pada area distal dari
siku dan lutut. Meskipun lesi individual antara varisela dengan herpes zoster sulit
dibedakan, dimana herpes zoster cenderung berkembang lebih lambat dan biasanya terdiri
dari vesikel dengan dasar eritem. Lesi herpes zoster diawali dengan makula dan papul
eritem yang pertama kali muncul di cabang supervisial dari saraf sensoris yang terkena.
Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam dan berubah menjadi pustul setelah 3 hari. Dan
kemudian mengering dan menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan selama
2-3 minggu. Pada individu normal, lesi baru akan muncul dalam 1-4 hari. Ruam akan
lebih parah pada orang berusia tua dan timbul dalam durasi yang singkat pada anak-anak.
(Johnson et al, 2009)
Zoster juga dapat melibatkan sistem motorik. Hal ini terjadi pada 5% kasus dan
umumnya terjadi pada pasien berusia tua dan menderita suatu penyakit keganasan, dan
pada pasien dengan penekanan kranial yang melibatkan saraf spinal. Kelemahan
motorik biasanya diikuti dengan nyeri dan erupsi, mulai dari beberapa hari sampai dengan
beberapa minggu. Penyembuhan secara sempurna diperkirakan sebesar 55% dan dan akan
mengalami peningkatan di masa yang akan datang sebesar 30%. Hernia abdominalis pada
terjadi pada zoster yang melibatkan area motorik T10-T11. Zoster pada area anogenital
berhubungan dengan gangguan defekasi dan urinasi.(James et al, 2006)


2. Neuralgia Pascaherpetik
Kelanjutan dari zoster yang paling sering adalah 
 
    (PHN)
secara umum didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang selama lebih dari 1
bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat
seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada sekitar 30% pasien yang usianya di atas 40
tahun dan lebih sering terjadi dengan keterlibatan saraf trigeminal. Nyeri tersebut
memiliki 2 bentuk, yaitu nyeri seperti terbakar yang terus menerus disertai hiperestesi dan
tipe spasmodik yang timbul tiba-tiba. Allodinia, nyeri yang secara normal disebabkan oleh
stimulus nyeri sering merupakan gejala tambahan yang terjadi pada 90% orang dengan
PHN. (James et al, 2006)
Gambar lesi herpes zoster:

Gambar 3. Herpes zoster dengan kelumpuhan otot wajah (Ramsay Hunt syndrome).(Taylor, 2006)

è
Gambar 4. Zoster Optalmik. (Burns, 2004)

!   
 Teknik yang sama yang digunakan untuk mendiagnosis varisela juga digunakan
untuk mendiagnosis herpes zoster. Gejala klinis yang muncul biasanya sudah cukup jelas
untuk menegakkan diagnosis dan pengecatan Tzank dapat mengkonfirmsi dugaan
berdasarkan temuan klinis tersebut. Bentuk zoster lainnya seperti herpes simplex juga akan
memberikan hasil positif pada pengecatan Tzank, tapi jumlah lesi yang timbul lebih
sedikit dan derajat nyeri yang timbul lebih rendah.(Burns et al, 2004)
Pada stadium preerupsi, nyeri prodormal pada herpes zoster sering sulit dibedakan
dengan penyebab lain dari nyeri lokal. Setelah terjadi erupsi, lokasi dan karakter dermatom
dari ruam yang timbul, berpasangan dengan nyeri yang timbul sesuai garis dermatom dan
biasanya akan mengarah pada diagnosis yang jelas. (Johnson et al, 2009)
Untuk menegakkan neuralgia pascaherpetik bila didapatkan sebagai nyeri yang
menetap atau berulang selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. (James et al, 2006)

Ê 
"


 Pemeriksaan laboratorik yang dibutuhkan pada kasus herpes zoster antara lain:
1.‘ Preparat Tzank: Apusan dasar vesikel atau cairan vesikel menunjuukkan sel yang
besar dengan nukleus yang banyak pada sel epidermal.
2.‘ Kultur virus: dengan mengisolasi virus varisela zoster

ü
3.‘ À
    


 (DFA), dan atau biopsi kulit dapat membantu
menegakkan diagnosis pada kasus yang atipikal. Tes DFA lebih sensitif
dibandingkan kultur virus konvensional karena labilitas VZV.
Zoster memiliki kecenderungan 7 kali lebih besar pada pasien yang terinfeksi HIV.
Jadi, jika ada indikasi klinis HIV pada pasien, lakukan tes HIV. Penelitian pada
populasi rumah sakit menunjukkan adanya peningkatan insiden zoster pada pasien
dengan kanker, khususnya yang menyerang sistem limforetikuler. Meskipun
demikian, studi prospektif pada pasien yang tidak dirawat di RS tidak menunjukkan
perbedaan dalam insiden antara pasien dengan keganasan dengan pasien tanpa
menderita penyakit keganasan. (Straus et al, 2008)

Ê 
  
 Diagnosis klinis hampir selalu dapat ditegakkan. Biopsi diindikasikan untuk kasus
yang sulit untuk didiagnosis. Pada kesempatan yang jarang dimana biopsi dibutuhkan,
gambaran histologi yang ditemukan mirip dengan herpes simplek dan varisela
( ). Degenerasi yang menggelembung (menyerupai balon) dan akantolisis dari
keratinosit menghasilkan timbulnya vesikel intraepidermal. 
 
 
 
dengan materi nuklear pada perifer adalah ciri khasnya. Dengan vaskulitis leukositoklastik
yang mendasari dapat membantu dalam membedakan zoster dari infeksi herpetik lainnya.
(Straus et al, 2008)
Pada herpes zoster stadium akut, terjadi inflamsi pada kulit serta serabut saraf
ganglion dorsal. Inflamasi pada serabut saraf perifer terjadi selama seminggu sampai
sebulan dan biasanya menyebabkan demielinisasi, degenerasi wallerian , dan sclerosis.
Pada akhirnya mungkin menyebabkan parut pada kulit, saraf perifer, dan serabut saraf
ganglion dorsal. Perubahan patologis juga terlihat pada system saraf pusat, yaitu
degenerasi akut pada dorsal-horn tulang belakang, unilateral dan segmental myelitis
leptomeningitis, dan keterlibatan segmen tulang belakang pada tingkat berdekatan dengan
lesi kulit yang terkena. Pada pasien yang telah terkena herpes zoster, atropi dorsal-horn
biasanya ditemukan pada autopsi pasien yang mengalami neuralgia pascaherpetik.(Kost et
al, 1996)

#     
Diagnosis banding pada herpes zoster dapat dibagi berdasarkan 2 gejala klinis


1.‘ Stadium prodormal/nyeri lokal: Nyeri prodormal herpes zoster dapat mirip seperti
gejala migren, penyakit kardiak atau paru, abdomen akut, atau penyakit yang
menyerang vertebra.
2.‘ Erupsi dermatom: infeksi zoster bentuk lain seperti herpes zoster, alergi tumbuh-
tumbuhan, dermatitis kontak, impetigo bulosa, erisipelas.(Hefta et al, 1997)

$Ê 
 Tujuan utama pada terapi pasien dengan herpes zoster adalah : 1. Membatasi luas,
lama, dan tingkat keparahan nyeri serta ruam pada dermatom primer. 2. Mencegah
timbulnya penyakit penyerta, dan 3. Mencegah terjadinya neuralgia pascaherpetik.

1. Penatalaksanaan Khusus:
a.‘ Agen antiviral
Untuk individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya reaktivasi infeksi
VZV, acyclovir oral dapat menurunkan insiden herpes zoster. Untuk vesikel yang
masih aktif, diberikan pengobatan antiviral yang dimulai kurang dari 72 jam yang
akan mempercepat penyembuhan lesi kulit, mengurangi durasi nyeri akut dan
mengurangi frekuensi PHN. (Hefta et al, 1997)
Ց Pada infeksi primer: Acyclovir topikal-obat yang menghambat polimerase DNA
virus herpes efektif hanya pada durasi singkat dari penyakit, obat ini harus
diberikan sesegera mungkin pada pasien yang mulai menunjukkan gejala.
Steroid (prednisolon 40-60 mg/hari) diberikan selama stadium akut dari herpes
zoster dan mengurangi nyeri dan 
 
   !
Ց Pada infeksi sekunder: diberikan 1/1000 
    
 atau topikal
atau antibiotik sistemik.( Buxton et al, 2003)
b.‘ Pengobatan herpes zoster akut
Tujuan pengobatan pada herpes zoster akut adalah untuk meminimal nyeri,
mengurangi pertahanan virus, mempercepat pertumbuhan krusta dan mempercepat
proses penyembuhan luka, mencegah dan meminimalkan terjadinya PHN.6
c.‘ Pengobatan pada stadium prodromal
Diawali dengan pemberian agen antiviral setelah diagnosis herpes zoster
ditegakkan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian analgetik. (Hefta et al, 1997)


Ñ
2. Penatalaksanaan Neuragia Pascaherpetik :
Saat pertama kasi didiagnosis, neuralgia pascaherpetik sulit untuk diobati. Untungnya,
penyakit ini dapat sembuh sendiri pada beberapa pasien, walaupun penyembuhan terjadi
setelah beberapa bulan.

A. Pengobatan Topikal
Topikal anestesi menggunakan lidocaine 5% secara signifikan menunjukkan
pengurangan rasa nyeri pada neuralgia pascaherpetik pada suatu uji klinis terkontrol.
Dengan menggunakan koyo berukuran 10cm x 14cm yang mengandung lidocaine 5%
sebagai bahan dasar, perekat ,dan bahan-bahan polister sebagai tambahan sehingga mudah
digunakan dan tidak mengakibatkan efek samping dari lidocaine. Koyo ini dapat
digunakan sampai tiga lembaran koyo untuk menutupi daerah yang terasa nyeri selama 12
jam perhari. Kerugian penggunaan koyo ini terdapat pada daerah yang ditutupi, seperti
kemerahan ataupun ruam pada kulit, serta membutuhkan biaya yang besar. (Straus et al,
2008)
Capsaicin dalam dosis tinggi dapat menghilangkan zat P, yaitu suatu
neurotransmitter yang berfungsi sebagai kemomediator antara impuls dari nosireseptor di
perifer ke sistem saraf pusat. Pada suatu uji klinis penggunaan capsaicin topical
dalamwaktu 4 minggu menunjukkan efek yang signifikan dalam meredakan nyeri pada
pasien neuralgia pascaherpetik, dimana 75 persen patien menunjukkan penyembuhan rasa
nyeri. Sayangnya obat salep ini banyak menyebabkan luka bakar pada banyak pasien.
(Kost et al, 1996)

B. Pengobatan Sistemik
Gabapentin menunjukkan angka yang signifikan dalam menurunkan gejala nyeri
pada neuralgia pascaherpetik, yaitu menghilangkan gejala pada 41-43 persen pasien
dengan neuralgia pascaherpetic berbanding 12 ± 23 persen pasien yang menggunakan
placebo. Efek samping yang paling sering pada Gabapentin yaitu somnolen, pusing, dan
edema perifer.
Pregabalin menunjukkan dapat menghilangkan gejala pada 50 persen pasien yang
menggunakannya berbanding dengan 20 persen pada placebo. Pusing, somnolen, dan
edema perifer merupakan efek samping utama penggunaan obat ini, namun pregabalin

c
memiliki komplikasi yang lebih minimal dan onset kerja yang lebih cepat dibandingkan
dengan gabapentin. (Straus et al, 2008)
Tricyclic antidepressant merupakan komponen penting dalam pengobatan neuralgia
pascaherpetik. Karena kemampuanya menghambat pengambilan kembali norepinephrine
dan serotonin, obat ini menurunkan nyeri dengan meningkatkan penghambatan pada
serabut saraf spinal pada persepsi rasa nyeri. Pada lima uji klini penggunaan tricycclic
antidepressant untuk pengobatan neuralgia pascaherpetik dilaporkan menurunkan sampai
menghilangkan rasa nyeri pada 47 sampai 67 persen pasien dengan neuralgia
pascaherpetik. Nortripytyline dan desipramine adalah obet alternative untuk amitriptyline
karena memiliki efek samping yang lebih minimal.(Kost et al,1996)
Dalam suatu uji klinis, desipramine yang merupakan 
  
 
   
 juga dilaporkan secara signifikan mengurangi rasa sakit pada
pasien neuralgia pasca herpetic pada pemberian selama tiga sampai enam minggu. Namun
obat ini belum dibandingkan dengan amitriptyline.(Kost et al,1996)
Obat-obat antikonvulsan dapat menurunkan nyeri pedih pada komponen nyeri
neuropatik. Dalam sebuah studi terkontrol, sebagian besar pasien yang diobati dengan
fenitoin dan natrium valproat melaporkan penurunan gejala nyeri neuralgia pascaherpetik.
Dalam studi   terkontrol, karbamazepin dilaporkan dapat mengurangi nyeri
pedih tetapi tidak efektif untuk sakit yang terus menerus.(Kost et al,1996)

3. Intervensi Nonpharmacologi
Prosedur pembedahan saraf merupakan jalan terakhir yang dapat diambil dalam
pengobatan neuralgia pascaherpetik dengan nyeri yang tidak tertahankan. Dalam suatu
penelitian kecil dinyatakan pemberian stimulasi listrik pada cordotomy thalamus dan
anterolateral yang dimaksudkan untuk mengganggu jalur spinotalamikus dapat
menurunkan nyeri pada pasien dengan neuralgia pascaherpetik.
Elektrokoagulasi pada cabang saraf dorsal pada daerah yang terkena pernah
dilakukan, namun teknik ini memiliki resiko besar karena dapat menyebabkan hemiparese
berkepanjangan dan defisit sensorik sehingga konsensus baru-baru ini tidak menganjurkan
penggunaan teknik ini.
Data dari sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa etil klorida semprot yang
dengan cepat dapat menguap dan menyebabkan sensasi beku serta memberikan stimulasi

cc
listrik pada saraf dikatakan dapat menghilangkan rasa sakit pada beberapa pasien neuralgia
pascaherpetik. (Kost et al, 1996)
Pada suatu penelitian uji klinis terkontrol penggunaan intratektal
methylprednisolone-lidokain dilaporkan memberikan efek yang sangat baik dalam
menurunkan rasa nyeri pada neuralgia pascaherperik yaitu sebesar 90 persen pasien, hal ini
berbading dengan 6 persen pada pasien yang hanya mendapatkan lidokain intratektal. Pada
kelompok yang mendapatkan metilprednisolon-lidokain intratektal jugamenunjukkan
perbaikan akan allodynia yang dialaminya yaitu sebesar 70 persen, berbanding dengan 25
persen pada pasien yang hanya mendapatkan lidokain intratektal. Dasar dari penelitian ini
didasarkan pada proses inflamasi yang terjadi pada pasien neuralgia pascaherpetik. Selama
penelitian ini, tidak ada pencatatan efek samping berat yang terjadi seperti arachnoiditis
ataupun efek neurotoksik dari prednisolono sendiri. (Kotani et al, 2000)

   
Neuralgia Pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang
selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak dan
insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Patogenesis yang terjadi pada kelainan
ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi tunggal untuk menagani kelainan ini.
Sehingga neuralgia pascaherpetik pun masih menjadi sumber frustasi bagi pasien ataupun
klinisi.
Banyak pendekatan telah diusulkan untuk mengobati rasa sakit pada masa akut
penyakit ini untuk menghindari berkembangnya nyeri menjadi neuralgia pascaherpetik dan
untuk meringankan gejala pada neuralgia ini. Namun hanya sedikit dari pendekatan ini
yang terbukti bermanfaat.
Ketika seorang dokter mengobati pasien dengan neuralgia posherpetik, maka harus
dimulai dengan pengobatan yang paling sederhana dan teraman, seperti koyo lidokain 5%
dan kemudian jika perlu mencoba salah satu antidepresan, seperti nortriptyline, atau
antikonvulsan seperti gabapentin. Pasa saat yang bersamaan juga mungkin dapat dicoba
penggunaan opioid oral. Penggunaan intratektal kortikosteroid sebaiknya diberikan pada
pasien yang tidak memiliki respon terhadap tindakan lainnya. Dengan harapan dimasa
depan dengan langkah-langkah pencehagan seperti vaksinasi awal, serta pengobatan yang
agresif terhadap herpes zoster dapat mengurangi angka kejadian kasus neuralgia
pascaherpetik.(Watson, 2000)


!%&Ê'%

Burns,Tony. 2004. Rook¶s textbook of Dermatology, 7th edition. Chapter 25. USA:25.25
Buxton, Paul K. . ABC of Dermatology, 4th edition. London: 92.
Hefta, Joseph& Robert Laffler. 1997. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology,
3th edition . United State of America:1616.
James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrew¶s Diseases of Skin, 10th edition.
Chapter 19.Canada: 379.
Johnson RA, Klaus W. 2009. Fitzpatrick In colour atlas and synopsis of clinical
dermatology, 6th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies: 837±45.
Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, Kimura F, Muraoka M, Yadono M, et al. 2000.
Intrathecal Methylprednisolone for intractable postherpetic neuralgia. The New
England Journal of Medicine.
Kost RG, Straus SE. 1996. Postherpetic Neuralgia Pathogenesis, Treatment, and
Prevention. The New England Journal of Medicine.
Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. 2008. Varicella and Herpes Zoster. Didalam
Fitzpatrick Dermatology in General Medicine, 7th edition. Chapter 194.USA:1885
Taylor & Francis. 2006. Atlas of Women¶s Dermatology, 1st edition. United Kingom:166.
Watson CPN. 2000. A New Treatment for Postherpetic Neuralgia. The New England
Journal of Medicine.

c-

You might also like