You are on page 1of 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perdarahan Pasca Persalinan. 2.1.1 Definisi Perdarahan Pasca Persalinan Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi sesudah sesaat proses persalinan berlangsung dengan volume perdarahan melebihi dari 500 ml. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan volume perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan air ketuban, dan serapan pakaian atau kain alas tidur. Oleh sebab itu operasional untuk periode pasca persalinan adalah setelah bayi lahir. Sedangkan tentang jumlah perdarahan, disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana dapat menyebabkan perubahan tanda vital, seperti; pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/menit, dan kadar Hb <8 g% (Saifuddin, 2001). Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius.

7
Universitas Sumatera Utara

Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan pasca persalinan. Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml harus segera mendapatkan penanganan. Perdarahan pasca persalinan dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan plasenta atau setelah plasenta lahir (Siswosudarmo, 2008). Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan, persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin (Khoman, 2002). Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pasca persalinan dibagi dua bagian, yaitu: 1. Perdarahan pasca persalinan dini (Early Post Partum haemorrhage, atau Perdarahan Pasca persalinan Primer, atau perdarahan pasca persalinan segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, robekan jalan lahir. 2. Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau perdarahan pasca persalinan lambat, atau Late PPH). Perdarahan pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal (Faisal, 2008).

8
Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah grandemultipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, dan persalinan yang dilakukan dengan tindakan yakni; pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun, persalinan dengan tindakan paksa dan persalinan dengan narkosa atau persalinan yang dilakukan dengan menggunakan anastesi yang terlalu dalam (Manuaba, 1998). Sebagian besar kehilangan darah terjadi akibat arteriol spiral miometrium dan vena desidua yang sebelumnya dipasok dan didrainase ruang intervilus plasenta. Karena kontraksi pada rahim yang sebagian kosong menyebabkan pemisahan plasenta, terjadilah perdarahan dan berlanjut hingga otot rahim berkontraksi di sekitar pembuluh darah dan bekerja sebagai pengikat fisiologi-anatomi. Kegagalan kontraksi rahim setelah pemisahan plasenta (atonia uteri) mengakibatkan perdarahan yang terlalu banyak di tempat plasenta (Hacker, 2001). 2.1.2. Patofisiologi Perdarahan Pasca Persalinan Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan pasca persalinan.

Universitas Sumatera Utara

Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perineum (Muhaj, 2009). Diagnosis yang dapat ditegakkan terhadap perdarahan pasca persalinan ditandai dengan : a. Perdarahan banyak yang terus-menerus setelah bayi lahir. b. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi, dan napas cepat, pucat, ekstremitas dingin sampai terjadi syok. c. Perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir. d. Perdarahan setelah plasenta lahir. Perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. e. Riwayat partus lama, partus presipitatus, perdarahan antepartum atau penyebab lain (Mansjoer, 1999). Perdarahan pasca persalinan juga dapat disertai dengan komplikasi disamping dapat menyebabkan kematian. Perdarahan pasca persalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan tubuh penderita berkurang. Perdarahan banyak, kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya adalah astenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea, dan kehilangan fungsi laktasi (Wiknjosastro, 2002). 10
Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Penyebab Perdarahan Pasca Persalinan

Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah 1. Atonia Uteri Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi (JNPK/ Jaringan Nasional Pelatihan Klinik, 2007). Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri adalah; a) uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan. b) Kala I atau II yang memanjang. c) Persalinan cepat (partus presipitatus). d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi). e) Infeksi intrapartum. f) Multiparitas tinggi. g) Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklampsia/eklampsia (JNPK, 2007).

11
Universitas Sumatera Utara

Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi (JNPK, 2007). Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari terjadinya ; a) Partus lama. b) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil; seperti pada kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar. c) Multiparitas. d) Anestesi yang dalam. e) Anestesi lumbal. Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam penanganan kala III persalinan, dengan cara memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus (Wiknjosastro, 2002). a. Diagnosis Perdarahan pasca presalinan ditandai juga dengan timbulnya perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala tersebut baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok.

12
Universitas Sumatera Utara

Diagnosis perdarahan pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan - setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan 1 jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan pasca persalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan pasca persalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak. Perdarahan pasca persalinan merupakan sebab utama kematian dalam persalinan (Wiknjosastro, 2002). b. Penanganan Atonia Uteri Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan pasca persalinan, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta (Wiknjosastro, 2002). 13
Universitas Sumatera Utara

Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu; 1) Menyuntikan Oksitosin; sebelum menyuntikkan oksitosin lakukakan terlebih dahulu pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal. Selanjutnya suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu. 2) Peregangan Tali Pusat Terkendali; peregangan tali pusat ini dilakukan dengan memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau menggulung tali pusat. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan plasenta; jika dengan penegangan tali pusat terkendali, tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak 5-10 cm dari vulva. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit, suntikkan ulang 10 IU Oksitosin intramuskuler . kemudian periksa kandung kemih dan 14
Universitas Sumatera Utara

lakukan

kateterisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hatihati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban. 3) Masase Uterus; segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras). Kemudian dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan; kelengkapan plasenta dan ketuban; kontraksi uterus dan perlukaan jalan lahir (Hadijono, 2006). Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan taktil (masase) fundus uteri, maka sebaiknya segera lakukan langkahlangkah berikut : a. Bersihkan bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks yang dapat menghalangi uterus berkontraksi dengan baik. b. Pastikan bahwa kandung kemih kosong. Jika penuh dan dapat dipalpasi, lakukan katerisasi dengan menggunakan teknik aseptik sehingga uterus berkontraksi secara baik. c. Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 menit untuk memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi, jika kompresi bimanual tidak berhasil setelah 5 menit, maka diperlukan tindakan lain. 15
Universitas Sumatera Utara

d. Anjurkan keluarga untuk mulai membantu melakukan kompresi bimanual eksternal. e. Keluarkan tangan perlahan-lahan. f. Berikan ergometrin 0,2 mg secara intramuskular (kontraindikasi hipertensi) atau misoprostol 600-1000 mcg, sehingga dalam 5-7 menit kemudian uterus akan berkontraksi. g. Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 cc Ringer Laktat + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin, sehingga dapat membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama perdarahan dan merangsang kontraksi uterus. h. Ulang kompresi bimanual internal agar uterus berkontraksi dengan baik. i. Rujuk segera. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, hal ini menunjukkan bukan atonia sederhana, sehingga ibu membutuhkan perawatan gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan tindakan bedah dan transfusi darah. j. Dampingi ibu ke tempat rujukan dan teruskan melakukan kompresi bimanual internal. k. Lanjutkan pemberian Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 L infus. Kemudian berikan 125 cc/ jam (JNPK, 2007).

16
Universitas Sumatera Utara

2.

Robekan Jalan Lahir Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan

bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali (JNPK, 2007). Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir (Hadijono, 2006). Cedera selama kelahiran merupakan penyebab perdarahan postpartum kedua terbanyak ditemukan. Selama kelahiran pervaginam, laserasi pada serviks dan vagina dapat terjadi secara spontan tetapi lebih sering ditemukan setelah penggunaan forsep atau ekstraktor vakum. Dinding pembuluh darah dalam jalan lahir mengembang selama kehamilan dan dapat terjadi perdarahan yang banyak. Laserasi terutama cenderung terjadi pada t perineum, di daerah periuretral, dan pada iskiadikus spinalis disepanjang aspek-aspek posterolateral vagina. Serviks dapat menyebabkan laserasi pada dua sudut lateral sementara terjadi dilatasi yang cepat dalam tahap pertama persalinan (Hacker, 2001). a. 1. Klasifikasi Klinis Robekan perineum Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan 17
Universitas Sumatera Utara

dalam tengkorak janin serta melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. Apabila mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua, mukosa vagina, komisura posterior. Kulit perineum dan otot perineum. dan pada robekan tingkat tiga sampai pada otot spinter Sedangkan robekan tingkat empat, bisa sampai mukosa rektum (JNPK,2007). 2. Robekan dinding vagina Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak seberapa sering terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. (Wiknjosastro, 2002). 3. Robekan serviks Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan kadang18 i
Universitas Sumatera Utara

kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan menimbulkan perdarahan yang hebat. Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan; ekstraksi dengan forsep; ekstraksi pada letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan kranioklasi terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap (Sastrawinata, 2004). 4. Ruptura uteri Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal ini dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal ini dinamakan ruptura uteri komplet, jika tidak disebut ruptura uteri inkomplet. Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang, atau membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut cara terjadinya ruptura uteri terbagi atas; 1) Ruptur uteri spontan, 2) Ruptur uteri traumatik, 3) Ruptur uteri pada parut uterus (Wiknjosastro, 2002).

19
Universitas Sumatera Utara

b.

Penanganan Robekan Jalan Lahir Berikan anastesi lokal pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan robekan

jalan lahir atau episiotomi. Jelaskan pada ibu apa yang akan dilakukan dan bantu ibu merasa santai. 1. Ruptura perineum dan robekan dinding vagina Lakukan penjahitan laserasi pada perineum: 1) Cuci tangan secara seksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah terkontaminasi, atau jika tertusuk jarum maupun peralatan tajam lainnya. 2) Pastikan bahwa peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan penjahitan sudah didisinfeksikan tingkat tinggi atau steril. 3) Setelah memberikan anastesi lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah di anastes, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk secara jelas menentukan batas-batas luka. Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara menjahitnya menjadi satu dengan mudah. 4) Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm diatas ujung laserasi di bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan. 5) Tutup Mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah kearah cincin himen. 6) Tepat sebelum cincin himen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke bawah cincin himen sampai jarum ada di bawah laserasi. Periksa bagian

20
Universitas Sumatera Utara

antara jarum di perineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan sebarapa dekat jarum ke puncak luka. 7) Teruskan kearah bawah tapi tepat pada luka, menggunakan jahit jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah di jahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot, mungkin perlu untuk melakukan satu atau dua lapis jahitan terputus-putus untuk menghentikan perdarahan dan/atau mendekatkan jaringan tubuh secara efektif. 8) Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan, menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkuticuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapisan kedua. Periksa lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm dan kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan luka. 9) Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum harus keluar dari belakang cincin himen. 10) Ikat benag dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. 11) Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalam. 12) Dengan lembut masukkan jari paling kecil kedalam anus. Raba apakah ada jahitan pada rektum. Jika ada jahitan teraba, ulangi periksa rektum enam minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna (misalkan jika

21
Universitas Sumatera Utara

ada fistula rektovagina atau ibu melaporkan inkotensia alvi atau feses), ibu segera rujuk ke fasilitas kesehatan rujukan. 13) Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air disinfeksi tingkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang lebih nyaman. 14) Nasehati ibu untuk : Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum. Cuci perineum dengan sabun dan air bersih yang mengalir tiga sampai empat kali perhari. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri (JNPK, 2007). 3. Retensio Plasenta Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2001). Menurut tingkat perlekatannya retensio plasenta terbagi atas beberapa bagian, antara lain adalah; a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari jojot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis. b. Plasenta akreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.

22
Universitas Sumatera Utara

c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium. d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh kontriksi ostium uteri (Saifuddin, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta, antara lain adalah; a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring. b. Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta pada uterus. c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi (Faisal, 2008). Kondisi umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah : 1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam. 2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata). 23
Universitas Sumatera Utara

Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan (Mochtar, 1998). a. Penanganan Retensio Plasenta Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir, maka harus diusahakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2002). Setelah bayi lahir dilakukan dengan segera manajemen aktif kala III yaitu: 1. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir. 2.Melakukan penegangan tali pusat terkendali. 3. Massase fundus uteri. Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi penatalaksanan aktif persalinan kala tiga dengan memberikan oksitosin 10 IU intramuskuler dan teruskan penenganagn tali pusat terkendali dengan hati-hati. Teruskan melakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya. Jika plasenta masih tetap belum lahir, rujuk segera kerumah sakit. Bila terjadi perdarahan, maka plasenta harus segera dilahirkan secara manual. b. 1) Prosedur Plasenta Manual Berikan cairan IV : Nacl 0,9% atau RL dengan tetesan cepat jarum berlubang besar (16 atau 18G) untuk mengganti cairan yang hilang sampai nadi dan tekanan darah membaik atau kembali norma. 2) Siapkan peralatan untuk melakukan tehnik manual, yang HARUS dilakukan secara aseptik. 3) Baringkan ibu telentang dengan lutut ditekuk dan kedua kaki ditempat tidur.

24
Universitas Sumatera Utara

4)

Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam 10 mg IM.

5)

Cuci tangan sampai kebagian siku dengan sabun, air bersih mengalir dan handuk bersih, gunakan sarung tangan panjang steril/DTT.

6) 7)

Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai.

8)

Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap kebawah) kedalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.

9)

Setelah mencapai bukaan serviks, mintak seorang asisten/penolong lain untuk memegang klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri.

10)

Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga kekavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.

11)

Bentangkan tanga obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat kejari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat).

12)

Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plsenta paling bawah. Bila plsenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebalah atas dan disisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu) Bila di korpus depan maka pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap keatas (anterior ibu) 25
Universitas Sumatera Utara

13)

Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluasan pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan ke kiri sambil digeser keatas (kranial ibu) hingga semua perleketan plasenta terlepas dari dinding uterus.

14)

Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal.

15)

Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta keluar.

16)

Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus kearah dorsokranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah disediakan.

17)

Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lainyang digunakan.

18)

Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.

19) 20) 21) 22) 23)

Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. Periksa kembali tanda vital ibu. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih di perlukan dan asuhan lanjutan.

26
Universitas Sumatera Utara

24)

Beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.

25) c.

Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan (JNPK, 2007). Rangsang Taktil (masase) Fundus Uteri Segera setelah plasenta lahir,Lakukan massae fundus uteri:

1) 2)

Letakkan telapak tangan pad fundus uteri. Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak tidak nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu untuk menarik nafas dalam, perlahan rileks.

3)

Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri.

4)

Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastiakan keduanya lengkap dan utuh: a. Periksa plasenta sisi maternal untuk memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang hilang). b. Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk memastikan tidak ada bagian yang hilang. c. Periksa plasenta sisi foetal untuk memastiakan tidak adanya

kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata). d. Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya. 5) Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus berkontraksi . Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus 27
Universitas Sumatera Utara

uteri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik. 6) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan (JNPK, 2007). 2.2. Perilaku bidan Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak lain. Menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus yang berasal dari luar organisme, namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku dan terdiri atas dua bagian yaitu; 1) Faktor internal, merupakan karakteristik orang yang bersangkutan dan bersifat bawaan, misalnya; tingkat kecerdasan, emosional, dan jenis kelamin; 2) Faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Perilaku juga merupakan hasil dari berbagai pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan 28
Universitas Sumatera Utara

tindakan. Perilaku manusia bersifat holistik. Perilaku profesional dari bidan mencakup: 1. Dalam melaksanakan tugasnya, berpengang teguh pada filosofi etika profesi bidan dan asfek legal. 2. Bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan keputusan klinis yang dibuatnya. 3. Senantiasa mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan mutakhir secara berkala. 4. Menggunakan pencengahan universal untuk mencengah penularan penyakit dan strategi penggendalian infeksi. 5. Menggunakan konsultasi rujukan yang tepat selama memberi asuhan kebidanan. 6. Menghargai dan memanfaatkan budaya setempat sehubungan dengan praktik kesehatan, kehamilan, kelahiran, periode pasca persalinan, bayi baru lahir, dan anak. 7. Menggunakan keterampilan komunikasi. 8. Bekerjasama dengan dengan petugas kesehatan lain untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan keluarga (Atik purwandari,2008). 2.2.2 Pengetahuan Bidan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari

29
Universitas Sumatera Utara

pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan bidan dapat diperoleh dari pendidikan atau pengamatan, informasi yang didapat seseorang serta melalui pelatihan. Pengetahuan dapat menambah ilmu seseorangserta merupakan proses dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas yang dilakukan oleh bidan seperti halnya dalam pelaksanaan penanganan perdarahan pasca persalinan tidak lain adalah hasil yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan, sehingga dapat memberikan dorongan didalam mencegah perdarahan pasca persalinan 2.2.3 Sikap Bidan Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap bidan merupakan pendapat atau penilaian seseorang terhadap caracara didalam penatalaksanaan penanganan perdarahan pasca persalinan. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang setuju (mendekat) tidak setuju (menjauhi) suatu hal tetapi ada kalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak terlalu terwujud dalam suatu tindakan nyata.

30
Universitas Sumatera Utara

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang di kemukakan Allport dalam Notoatmodjo ( 2003), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu : a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni (Notoatmodjo, 2003) : a. Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) danmemperhatikan stimulus yang diberikan oleh objek. b. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh objek. c. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga (kecenderungan untuk bertindak). d. Bertanggung jawab (responsible) yaitu yang bertanggung jaawab atas segala sesuatu yang telah di pilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

31 i
Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Praktek atau Tindakan Bidan Tindakan merupakan perbuatan nyata atau aktivitas hasil dari pengaruh faktor internal dan eksternal individu yang didukung dengan kondisi yang memungkinkan tampilnya tindakan secara nyata. Tindakan bidan merupakan perbuatan atau aktivitas yang dilakukan oleh bidan didalam penanganan pertolongan persalinan yang didasarkan pada kompetensi atau kemampuan yang dimiliki yang diperoleh dari pengalaman dan pelatihan yang dilakukan. Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pengukuran tindakan dilakukan dengan pengamatan, dan secara tidak langsung dilakukan dengan wawancara. Praktek atau tindakan mempunyai beberapa tingkatan, antara lain; 1) Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; 2) Respons terpimpin, yakni melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan contoh; 3) Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan; 4) Adopsi, merupakan praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

32
Universitas Sumatera Utara

2.3. Variabel yang diteliti Berdasarkan Latar Belakang, masalah, dan tujuan penelitian, maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :

Pengetahuan

Sikap

Penanganan Perdarahan Pasca Persalinan

Tindakan

33
Universitas Sumatera Utara

You might also like