You are on page 1of 48

BAB III

MODULASI DAN PENGKODEAN ADAPTIF



3.1 Pendahuluan
Pada sistem komunikasi nirkabel, fluktuasi acak akibat kondisi link propagasi
yang berubah-ubah mencegah penggunaan modulasi tunggal dengan bandwidth besar
dan efisien secara kontinu, oleh karena itu modulasi dan pengkodean adaptif (Adaptive
Modulation and Coding/ AMC) telah menjadi standar utama pada perkembangan
komunikasi nirkabel belakangan ini, termasuk WiMAX. Prinsip dasar penggunaan
AMC adalah untuk secara dinamis mengadaptasi skema modulasi dan pengkodean
sesuai kondisi kanal sehingga diperoleh efisiensi spektral setiap saat. AMC mengubah
metode modulasi dan/ atau skema pengkodean berdasarkan informasi status kanal dan
memilih skema terbaik sehingga ditransmisikan bit-rate maksimal pada kanal. Pada
OFDMA, modulasi dan/atau pengkodean dapat dialokasikan secara berbeda untuk
masing-masing sub-carrier, dan juga dapat berubah setiap saat. Sesuai dengan standar
IEEE 802.16e, skema modulasi yang digunakan dimulai dari modulasi efisiensi rendah
(BPSK dengan coding rate ) hingga modulasi efisiensi tinggi (64-QAM dengan
coding rate ) tergantung nilai SNR.
Tabel 3.1 menunjukkan variasi skema modulasi dan pengkodean yang didukung
oleh WiMAX. Pada bagian downlink, BPSK, QPSK, 16 QAM, dan 64 QAM adalah
teknik wajib untuk fixed dan mobile WiMAX; 64 QAM bersifat opsional pada uplink.
FEC coding dengan menggunakan convolutional code adalah wajib. Reed-Salomon
code hanya untuk OFDM-PHY. Standar WiMAX secara opsional mendukung turbo
Universitas Sumatera Utara
code dan low-density parity check (LDPC) code dengan laju pengkodean yang
bervariasi [1].
Tabel 3.1 Skema Modulasi dan Pengkodean pada WiMAX
Downlink Uplink
Modulasi
BPSK, QPSK, 16 QAM, 64 QAM;
BPSK opsional untuk OFDMA-PHY
BPSK, QPSK, 16 QAM; 64
QAM opsional
Pengkodean
Convolutional code dengan rate ,
2
/
3
, ,
5
/
6

Opsional: convolutional turbo code
dengan rate ,
2
/
3
, , 5/6; LDPC,
RS-Code untuk OFDM-PHY
Convolutional code dengan rate
,
2
/
3
, ,
5
/
6

Opsional: convolutional turbo
code dengan rate ,
2
/
3
, ,
5
/
6
,
LDPC

3.2 Sistem Transmisi Adaptif
Sistem WiMAX menggunakan teknik modulasi dan pengkodean adaptif untuk
mendapatkan keuntungan dari fluktuasi kanal. Prinsip dasarnya sangatlah sederhana :
mentransmisikan data dengan laju data tinggi ketika kondisi kanal baik, dan
mentransmisikan data dengan laju lebih rendah ketika kondisi kanal buruk, untuk
menghindari kerusakan data yang berlebihan. Laju data rendah didapatkan dengan
menggunakan konstelasi kecil, seperti QPSK dengan laju kode rendah. Laju data tinggi
didapatkan dengan menggunakan konstelasi besar, seperti 64-QAM dengan laju kode
tinggi. Ada terdapat 52 konfigurasi dari teknik modulasi dan tipe serta laju pengkodean
yang memungkinkan, meskipun kebanyakan dari implementasi WiMAX hanya
memakai sebagian kecil dari konfigurasi ini. Konfigurasi ini disebut juga sebagai burst
profile. Blok diagram dari sistem Adaptive Modulation and Coding (AMC) ditunjukkan
pada Gambar 3.1 [1].
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1 Blok Diagram Sistem Modulasi dan Pengkodean Adaptif
Tinjau sebuah sistem single-user yang berusaha mentransmisikan data secepat
mungkin melalui kanal dengan SNR yang berubah-ubah. Tujuan dari pemancar
(transmitter) adalah untuk mentransmisikan data secepat mungkin, dengan sasaran agar
data yang di-demodulasi dan di-dekodekan tetap handal pada sisi penerima (receiver).
Oleh karena itu kanal feedback memegang peranan yang sangat penting untuk AMC.
Pemancar harus mengetahui SNR kanal , yang didefenisikan sebagai SNR yang
diterima
r
dibagi dengan daya pancar P
t
. Dengan demikian SNR yang diterima
r
= P
t
.
[1].
Pada prakteknya, feedback (umpan balik) akan menghasilkan sedikit waktu
tunda (delay) dan mungkin degradasi sistem akibat estimasi kanal yang tidak tepat
ataupun akibat terjadi error pada kanal feedback. Sistem WiMAX memproteksi dengan
kuat kanal feedback dengan koreksi error, jadi sumber utama degradasi sistem biasanya
adalah mobilitas user, yang menyebabkan estimasi kanal dengan cepat menjadi tidak
terpakai. Secara kasar, user dengan kecepatan lebih dari 30 km/jam pada frekuensi
pembawa 2100 MHz tidak akan mampu menyediakan informasi status kanal secara
akurat dan tepat waktu pada sisi pemancar. Untuk menangani masalah ini, WiMAX
secara opsional mendukung perulangan preamble secara lebih sering. Preamble ialah
header subframe yang berisi prosedur lapis fisik, seperti sinkronisasi waktu dan
Universitas Sumatera Utara
frekuensi, serta informasi awal estimasi kanal. Pada uplink, preamble pendek,
dinamakan midamble, dapat digunakan setelah 8, 16, atau 32 simbol. Sedangkan pada
downlink, preamble pendek dapat disisipkan pada permulaan setiap burst. Diperkirakan
bahwa dengan meggunakan midamble setiap 10 simbol akan memberikan mobilitas
hingga 150 km/jam [1].
Kunci utama pada AMC adalah secara efisien mengatur tiga faktor penting
secara bersamaan, yaitu [1]:
1. Daya pancar (transmit power)
2. Transmit rate (konstelasi)
3. Laju pengkodean (coding rate)

3.2.1 Pengkodean Kanal
Link radio merupakan suatu link yang sangat cepat berubah, sering mengalami
gangguan dari interferensi. Pengkodean kanal (channel coding) yang tugas utamanya
ialah mencegah dan mengkoreksi error transmisi dari sistem nirkabel, harus memiliki
kinerja yang baik agar mencapai laju data tinggi. Sistem pengkodean kanal pada
WiMAX terdiri dari 4 tahapan, yakni [2]:
1. Pengacakan
2. Forward Error Correction (FEC)
3. Interleaving
4. Repetisi
Gambar 3.2 menunjukkan blok diagram dari sistem pengkodean kanal pada
WiMAX.
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.2 Blok Diagram Sistem Pengkodean Kanal WiMAX

3.2.1.1 Pengacakan
Pengacakan (randomisation) digunakan untuk meningkatkan keamanan data
melalui teknik ketidakpastian informasi-teoritis, menghindari urutan panjang dari bit 1
ataupun bit 0. Pengacakan data dilakukan pada masing-masing data downlink dan uplink
dengan menggunakan output dari urutan shift-register yang diinisialisasi pada
permulaan setiap blok FEC. Urutan shift-register ini kemudian dijumlahkan dengan
urutan bit informasi untuk menghasilkan suatu data acak. Kegunaan penting dari
pengacakan adalah untuk memberikan enkripsi data dan mencegah pengguna ilegal
mendekodekan data tersebut [1][2].

3.2.1.2 Forward Error Correction (FEC)
Forward Error Correction berfungsi untuk melakukan deteksi error dan
mengkoreksi kesalahan bila error terjadi. Blok FEC terdiri dari sejumlah subkanal yang
jumlahnya tergantung dari skema pengkodean kanal dan konstelasi modulasi. Jika
jumlah subkanal yang dibutuhkan untuk blok FEC lebih besar dari batas maksimum,
maka blok tersebut akan disegmentasi menjadi beberapa sub-blok FEC [1].
Bit-bit untuk keperluan deteksi error dan fungsi lainnya akan ditambahkan ke bit
informasi asli sehingga jumlah total bit yang ditransmisikan secara keseluruhan menjadi
Universitas Sumatera Utara
lebih besar. Laju pengkodean (coding rate) merupakan rasio dari jumlah bit informasi
terhadap total bit yang ditransmisikan secara keseluruhan [7].
Teknik FEC coding yang dipakai pada WiMAX antara lain Concatenated Reed-
Solomon Convolutional Code (RS-CC) dan Convolutional Code (CC). Beberapa teknik
FEC lain seperti Convolutional Turbo Codes (CTC), Block Turbo Coding (BTC), dan
Low-Density Parity Check codes (LDPC) juga didukung tetapi hanya bersifat opsional
[2].

3.2.1.3 Interleaving
Interleaving digunakan untuk memproteksi transmisi dari urutan panjang error
secara beruntun, dimana akan sangat sulit dikoreksi. Urutan panjang dari error ini dapat
menyebabkan banyak rugi-rugi transmisi data. Interleaving dengan menerapkan teknik
diversitas akan dapat melakukan koreksi terhadap error ini [2].

3.2.1.4 Repetisi
Repetisi ditambahkan sebagai amandemen IEEE 802.16e untuk OFDMA-PHY.
Standar ini meningkatkan margin sinyal lebih jauh lagi. Dalam kasus repetisi coding, R
= 2, 4, atau 6, jumlah slot yang dialokasikan (N) akan menjadi perkalian dengan faktor
repetisi R pada uplink. Pada downlink, jumlah slot yang dialokasikan akan berada pada
kisaran R K, R K + (R-1), dimana K adalah jumlah slot yang dibutuhkan sebelum
repetisi. Sebagai contoh, ketika jumlah slot yang dibutuhkan sebelum repetisi 10
(K=10) dan faktor repetisi R=6, maka jumlah slot yang dialokasikan setelah repetisi
berada pada kisaran 60 slot hingga 65 slot [2].

Universitas Sumatera Utara
3.2.2 Pemetaan Simbol
Pemetaan simbol (symbol mapper) merupakan suatu proses modulasi digital.
Pada tahap pemetaan simbol, urutan bit biner dikonversikan menjadi suatu urutan
simbol bernilai kompleks. Simbol digital kemudian ditumpangkan pada suatu sinyal
yang sesuai untuk transmisi. Sinyal ini dapat berupa sinyal pulsa (baseband modulation)
maupun sinyal sinusoidal (bandpass modulation) [1][6].
Modulasi baseband biasanya digunakan untuk transmisi jarak pendek, dimana
urutan simbol digital digunakan untuk membentuk gelombang pulsa persegi yang
ditransmisikan secara langsung tanpa transformasi frekuensi [6].
Modulasi bandpass digunakan untuk transmisi nirkabel dan jarak jauh seperti
WiMAX, dimana urutan simbol digital digunakan untuk mengubah parameter sinyal
sinusoidal frekuensi tinggi yang disebut carrier[6]. Gambar 3.3 menunjukkan
perbandingan modulasi baseband dengan bandpass. Empat teknik modulasi digital
untuk sistem modulasi adaptif telah ditetapkan dan didukung standar IEEE 802.16e,
yaitu BPSK, QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM [1].


Gambar 3.3 Modulasi Digital (a) baseband (b) bandpass

Universitas Sumatera Utara
3.2.2.1 Binary Phase Shift Keying (BPSK)
Data biner ditunjukkan oleh dua sinyal dengan fasa yang berbeda pada BPSK.
Dua sinyal ini adalah :
, 2 cos ) (
1
t f A t s
c
= 0 t T, untuk data 1 (3.1)
, 2 cos ) (
2
t f A t s
c
= 0 t T, untuk data 0
Sinyal ini disebut sebagai antipodal. Semua sinyal PSK dapat ditunjukkan
secara grafis melalui suatu konstelasi sinyal dalam koordinat sistem 2-dimensi, yaitu :
, 2 cos
2
) (
1
t f
T
t
c
= 0 t T (3.2)
dan
, 2 cos
2
) (
2
t f
T
t
c
= 0 t T
Konstelasi sinyal BPSK dapat dilihat pada Gambar 3.4, dimana s
1
(t) dan s
2
(t)
ditunjukkan oleh dua titik pada sumbu horizontal, dimana :
2
2
T A
E = (3.3)

Gambar 3.4 Konstelasi Sinyal BPSK
Bentuk gelombang sinyal BPSK yang dihasilkan untuk aliran data {10110}
ditunjukkan pada Gambar 3.5. Bentuk gelombangnya mempunyai frekuensi konstan dan
fasanya secara umum tidak kontinu pada garis batas bit [6].
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.5 Bentuk Gelombang BPSK (a) fc=2/T (b) fc=1,8/T

3.2.2.2 Quadrature Phase Shift Keying (QPSK)
QPSK adalah teknik modulasi yang paling sering digunakan diantara teknik
modulasi M-ary PSK lainnya karena tidak mengalami penurunan bit error rate (BER)
ketika efisiensi bandwidth ditingkatkan. Sinyal QPSK didefenisikan sebagai :
), 2 cos( ) (
i c i
t f A t s + = 0 t T, i = 1,2,3,4 (3.4)
dimana,
4
) 1 2 (


=
i
i
(3.5)
Fasa sinyal awal adalah /4, 3/4, 5/4, 7/4. Frekuensi pembawa dipilih sebagai
kelipatan dari symbol rate (laju simbol). Oleh karena itu, pada setiap interval simbol
[kT,(k+1)T], fasa sinyal awal juga merupakan salah satu dari empat fasa sinyal QPSK.

Gambar 3.6 Konstelasi Sinyal QPSK
Universitas Sumatera Utara
Pada QPSK, bit data dibagi menjadi kelompok dari dua bit, disebut dibit. Ada
empat kemungkinan dibit, yaitu 00, 01, 10, dan 11. Masing-masing dari empat sinyal
QPSK melambangkan salah satu dibit. Konstelasi sinyal QPSK pada Gambar 3.6
menggunakan Gray coding. Koordinat dari titik-titik sinyal ditunjukkan pada Tabel 3.2
[6].
Tabel 3.2 Koordinat Sinyal QPSK
Dibit Fasa
i

i i
E s cos
1
=
i i
E s cos
2
=
11 /4
2 / E + 2 / E +
01 3/4
2 / E 2 / E +
00 -3/4
2 / E 2 / E
10 -/4
2 / E + 2 / E

Sinyal QPSK untuk setiap saat pada sumbu t dapat ditulis sebagai :
, 2 cos ) (
2
2 cos ) (
2
) ( fct t Q
A
fct t I
A
t s = - < t < (3.6)
dimana I(t) dan Q(t) adalah deretan pulsa yang ditentukan oleh bit-urutan ganjil
dan bit-urutan genap secara berturut-turut.

=
=
k
k
kT t p I t I ) ( ) ( (3.7)

=
=
k
k
kT t p Q t Q ) ( ) ( (3.8)
dimana I
k
= 1 dan Q
k
= 1. Pemetaan diantara logic data dan I
k
atau Q
k
adalah 1 1
dan 0 -1. p(t) adalah fungsi pembentukan sinyal rektangular yang didefenisikan pada
[0, T]. Bentuk gelombang sinyal QPSK dengan menggunakan konstelasi sinyal pada
Gambar 3.6 ditunjukkan pada Gambar 3.7 berikut ini [6].
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.7 Bentuk Gelombang QPSK

3.2.2.3 Quadrature Amplitude Modulation (QAM)
Sinyal QAM dinyatakan sebagai :
), 2 cos( ) (
i c i i
t f A t s + = i = 1, 2, M (3.9)
Untuk sinyal M-ary square QAM (seperti 16-QAM dan 64-QAM), persamaan
sinyal juga dapat dinyatakan sebagai :
) (
2
) (
2
2 sin ) ( 2 cos ) ( ) (
2 1
t
Eo
Q t
Eo
I
t f t p
Ep
Eo
Q t f t p
Ep
Eo
I t s
i i
c i c i i


=
=
(3.10)
Dimana Eo adalah energi sinyal dengan amplitudo terendah, dan (I
i
, Q
i
) adalah sepasang
bilangan bulat yang menunjukkan lokasi titik sinyal pada konstelasi. Nilai minimum
dari (I
i
, Q
i
) adalah (1, 1). Pasangan (I
i
, Q
i
) adalah elemen dari matriks L L :
Universitas Sumatera Utara

(3.11)

dimana L = , M M = 4
n
, n = 1, 2, 3,
Konstelasi sinyal dapat secara jelas dinyatakan dalam bentuk (I
i
, Q
i
). Fasor
untuk M-ary square QAM adalah :
)
2
,
2
(
Eo
Q
Eo
I s
i i i
= i = 1, 2, M (3.12)
Magnitudo dari fasor adalah :
) (
2
2 2
i i i
Q I
Eo
s + = (3.13)

Gambar 3.8 Konstelasi Sinyal 16-QAM

Konstelasi sinyal 16-QAM ditunjukkan pada Gambar 3.8, sedangkan untuk 64-
QAM ditunjukkan pada Gambar 3.9 [6].
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.9 Konstelasi Sinyal 64-QAM

3.2.3 Kontrol Daya
Agar dapat menjaga kualitas link radio antara pemancar dan penerima serta
mengontrol interferensi sistem, suatu mekanisme kontrol daya diterapkan pada jalur
uplink dengan prosedur kalibrasi awal dan disesuaikan secara berkala. Pemancar
menggunakan MAC management messages khusus untuk memberitahu penerima
tentang penyesuaian level-daya yang diperlukan. Persyaratan dasar dari mekanisme
sistem kontrol daya yakni :
Sistem kontrol daya harus dapat menangani fluktuasi daya sebesar 30 dB/s.
Pemancar harus dapat memperhitungkan efek dari berbagai macam profil burst
terhadap saturasi amplifier ketika sedang mengeluarkan perintah kontrol daya.
Penerima harus menjaga rapat daya yang ditransmisikan tetap sama, tanpa
menghiraukan jumlah subkanal aktif yang diberikan. Sehingga, ketika jumlah
subkanal yang dialokasikan pada sebuah penerima naik atau turun, level daya
pancar secara proporsional naik atau turun tanpa perlu power-control messages
tambahan.
Universitas Sumatera Utara
Pemancar dapat mengatur level daya dengan tujuan menjaga rapat spektral daya
dan SNR pada sisi penerima konsisten dengan modulasi dan laju kode yang sedang
digunakan. Dalam beberapa situasi, akan tetapi, penerima dapat secara temporer
mengatur level daya tanpa diperintah oleh pemancar [1].

3.2.4 Estimasi Kanal
Proses kontrol daya serta adaptasi modulasi dan laju kode semuanya dilakukan
berdasarkan estimasi kualitas kanal dalam bentuk RSL (received signal level) atau RSSI
(received signal strength indicator) dan SNR (signal-to-noise ratio). Penerima
menggunakan channel quality feedback (CQI) untuk memberitahukan pemancar
informasi ini. Berdasarkan CQI, pemancar dapat melakukan hal sebagai berikut :
Mengubah modulasi dan/atau laju pengkodean untuk transmisi; disebut juga
mengubah profil burst.
Mengubah level daya dari transmisi downlink yang bersesuaian.
Dalam standar operasi TDD (time division duplexing), diatur suatu mekanisme
channel-sounding dimana pemancar mengestimasi kondisi kanal downlink dari kualitas
kanal uplink yang diterima, dan dapat diukur secara langsung berhubung sifat kanal
yang timbal-balik (channel reciprocity) [1].

3.2.5 Kanal Feedback
Terdapat dua metode untuk memperoleh informasi kondisi kanal. Pertama,
informasi kondisi kanal dikirim kembali oleh receiver ke transmitter melalui kanal
feedback. Kedua, melalui channel-sounding dalam sistem TDD. Teknik yang dipakai
Universitas Sumatera Utara
oleh standar WiMAX dalam kanal feedback ialah linear precoding dengan quantized
feedback [1].
Pengembangan teknik quantized precoding disebabkan kebutuhan untuk
mengurangi laju kanal feedback pada sistem linear precoding yang biasanya
membutuhkan banyak bit supaya dapat memberikan hasil yang akurat. Teknik quantized
precoding memberikan solusi untuk masalah ini dengan mengkuantisasi precoder
secara optimal pada sisi receiver. Precoder dikelompokkan kedalam satu grup yang
dinamakan precoding codebook. Jika precoding codebook dari N matriks diketahui oleh
pemancar dan penerima, hanya log
2
N bit feedback yang diperlukan untuk menunjukkan
indeks dari matriks precoder yang tepat. Jumlah bit feedback yang diperlukan biasanya
kecil, berkisar 3 sampai 8 bit. WiMAX mendefenisikan precoding codebook untuk
berbagai macam konfigurasi kanal [1]. Gambar 3.10 menunjukkan sistem quantized
precoding feedback.

Gambar 3.10 Sistem Quantized Precoding Feedback

3.3 Adaptasi Link
Sel WiMAX yang dibagi ke dalam r bagian, i = 1r, yang dimodelkan sebagai
lingkaran konsentris sebagai penyederhanaan ditunjukkan oleh Gambar 3.11. Pada
masing-masing bagian, user mendapatkan skema modulasi dan laju pengkodean yang
Universitas Sumatera Utara
sama dan memperoleh bit rate yang sesuai dimana bit rate akan berkurang ketika user
semakin jauh dari base station (BS) [5].

Gambar 3.11 Adaptasi Link
Untuk menghitung area wilayah yang dicakup masing-masing skema modulasi
dan pengkodean, harus terlebih dahulu ditentukan jarak maksimal antara base station
(BS) dan user untuk teknik modulasi dan pengkodean yang bersesuaian. Jarak ini
ditentukan dengan menggunakan signal-to-noise ratio (SNR) minimum yang harus
diterima user tanpa data loss (kehilangan data). Nilai SNR minimum untuk skema
modulasi dan laju pengkodean yang berbeda telah ditetapkan dan distandarisasi oleh
IEEE [5].

3.4 Perhitungan Kinerja Modulasi dan Pengkodean Adaptif
Parameter-parameter yang digunakan untuk menganalisa performansi sistem
antara lain : perhitungan link budget (perhitungan loss atau redaman propagasi,
perhitungan EIRP, perhitungan RSL), perhitungan kualitas sinyal transmisi meliputi
perhitungan bit rate, dan throughput.
Universitas Sumatera Utara
3.4.1 Perhitungan Link Budget
Perhitungan link budget merupakan perhitungan level daya yang dilakukan
untuk memastikan bahwa level daya penerimaan lebih besar atau sama dengan level
daya threshold ( RSL Rth ). Tujuannya untuk menjaga keseimbangan gain dan loss
untuk mencapai SNR yang diinginkan di receiver.
Perhitungan link budget juga berguna untuk menghitung luas daerah jangkauan
sinyal dari base station, seberapa jauh sinyal masih dapat diterima oleh pelanggan
dengan baik.

3.4.1.1 Perhitungan Rugi-Rugi Propagasi
Kanal radio untuk sistem komunikasi wireless dibedakan untuk kondisi LOS dan
NLOS. Pada keadaan LOS, sinyal merambat langsung melalui udara tanpa melewati
suatu obstacle atau hambatan dari pengirim ke penerima [7].

Gambar 3.12 Propagasi NLOS
Pada kondisi NLOS seperti ditunjukkan Gambar 3.12, sinyal yang ditangkap di
penerima (receiver) adalah sinyal yang telah mengalami proses refleksi, scattering, dan
difraksi. Sinyal datang yang ditangkap penerima merupakan gabungan dari sinyal
langsung, multipath, energi hamburan, dan sinyal propagasi yang telah terdifraksi.
Universitas Sumatera Utara
Sinyal ini mempunyai delay pola sebaran yang berbeda, redaman, polarisasi, dan
kestabilan relatif dari sinyal langsung [7].
Untuk mengetahui rugi-rugi propagasi pada kondisi NLOS dapat digunakan
berbagai macam model propagasi NLOS antara lain model propagasi Okumura Hatta,
COST231 Hata, SUI (Standford University Interim), ECC33 dan Walfish Ikegami.
Model propagasi ini telah dikembangkan menyesuaikan karakter lingkungan RF (Radio
Frequency) dan memperkirakan kuat sinyal RF. Model tersebut diperoleh dari
pengukuran empiris di lapangan yang digunakan untuk meprediksikan cakupan area
dalam skala besar pada sistem komunikasi radio broadband wireless access (BWA)
[1][3]. Pada Tugas Akhir ini akan digunakan model propagasi COST-231 Hata dan
ECC-33 Path Loss Model.

3.4.1.1.1 COST-231 HATA Model
Hata Model telah digunakan secara luas untuk jaringan seluler pada pita
frekuensi 800MHz/ 900MHz. Karena sistem Personal Communication Service (PCS)
menggunakan pita frekuensi 1800MHz/ 1900MHz, Hata Model kemudian dimodifikasi
oleh badan European COST (Cooperation in the field of Scientific and Research), dan
model path loss yang dikembangkan tersebut disebut sebagai COST-231 Hata Model.
Model ini merupakan rekomendasi dari WiMAX Forum untuk model sistem dan
perencanaan jaringan untuk daerah urban (bagian pusat kota) maupun suburban (bagian
pinggir kota) [1][3].
Path loss untuk COST-231 Hata Model adalah [3]:
F r
t t propagasi
C h a
d h h f dB L
+
+ + =
) (
log ) log 55 , 6 9 , 44 ( log 82 , 13 log 9 , 33 3 , 46 ] [
10 10 10 10
(3.14)
Universitas Sumatera Utara
(rural) suburban f h f h a
urban h h a
r r
r r
untuk ) 8 , 0 log 56 , 1 ( ) 7 , 0 log 11 , 1 ( ) (
untuk 97 , 4 )) 75 , 11 ( (log 20 , 3 ) (
10 10
2
10
=
=
(3.15)
dimana :
f = frekuensi operasi (MHz)
h
t
= tinggi antena pemancar (m)
h
r
= tinggi antena penerima (m)
d = jarak pemancar dan penerima (km)

=
urban
suburban
C
F
daerah dB 3
daerah dB 0

a(h
r
) = faktor koreksi antena penerima

3.4.1.1.2 ECC-33 Path Loss Model
Meskipun Hata-Okumura Model secara luas digunakan untuk band UHF,
ketelitiannya masih dipertanyakan untuk frekuensi yang lebih tinggi. Teknik pendekatan
yang berbeda kemudian dikembangkan oleh Electronic Communication Committee
(ECC) dari pengukuran awal yang dilakukan oleh Okumura dan mengubahnya sehingga
sangat mendekati sistem Fixed Wireless Access (FWA). Model path loss yang
dikembangkan tersebut dikenal sebagai ECC-33 Model. ECC-33 Path Loss Model
didefenisikan sebagai [3]:
r t bm fs propagasi
G G A A dB L + = ] [ (3.16)
dimana A
fs
, A
bm
, G
b
, G
r
berturut-turut adalah free space attenuation, basic median path
loss, faktor gain ketinggian antena pemancar (Base Station), dan faktor gain ketinggian
antena penerima. Faktor-faktor ini didefenisikan sebagai [3]:
) ( log 20 ) ( log 20 4 , 92
10 10
f d A
fs
+ + = (3.17)
Universitas Sumatera Utara
2
10 10 10
)] ( [log 56 , 9 ) ( log 894 , 7 ) ( log 83 , 9 41 , 20 f f d A
bm
+ + + = (3.18)
} )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ){ 200 / ( log
2
10 10
d h G
t t
+ = (3.19)
dan untuk daerah medium city environment [3]:
] 585 , 0 ) ( )][log ( log 7 , 13 57 , 42 [
10 10
+ =
r r
h f G (3.20)
dimana :
f = frekuensi (GHz)
d = jarak pemancar dan penerima (km)
h
t
= ketinggian antena pemancar (m)
h
r
= ketinggian antena penerima (m)

3.4.1.2 Perhitungan EIRP (Effective Isotropic Radiated Power)
EIRP merupakan besaran yang menyatakan kekuatan daya pancar suatu antena
di bumi, dapat dihitung dengan rumus [7]:
Ltx Gtx Ptx dBm EIRP + = ] [ (3.21)
dimana :
Ptx = daya pancar (dBm)
Gtx = penguatan antena pemancar (dBi)
Ltx = rugi-rugi pada pemancar (dB)

3.4.1.3 Perhitungan RSL (Receive Signal Level)
RSL (Receive Signal Level) adalah level sinyal yang diterima di penerima dan
nilainya harus lebih besar dari sensitivitas perangkat penerima (RSL Rss). Sensitivitas
Universitas Sumatera Utara
perangkat penerima merupakan kepekaan suatu perangkat pada sisi penerima yang
dijadikan ukuran threshold. Nilai RSL dapat dihitung dengan Persamaan 3.22 [7]:
Lrx Grx Lpropagasi EIRP RSL + = (3.22)
dimana :
EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
Lpropagasi = rugi-rugi gelombang saat berpropagasi (dB)
Grx = penguatan antena penerima (dBi)
Lrx = rugi-rugi saluran penerima (dB)

Standar WiMAX untuk menghitung nilai Receiver sensitivity adalah [4]:
F imp
FFT
used
RX
N loss
N
N
Fs R SNR dBm Rss + +
|
|
.
|

\
|
+ + = log 10 log 10 114 ] [ (3.23)
dimana :
SNR
RX
= signal-to-noise ratio threshold penerima
R = faktor repetisi
F
s
= frekuensi sampling (MHz)
N
used
= jumlah subcarrier aktif
N
FFT
= jumlah FFT
loss
imp
= rugi-rugi implementasi
N
F
= noise figure

3.4.2 Perhitungan Bit Rate
Besarnya bit rate untuk sistem modulasi dan pengkodean adaptif dapat dihitung
dengan persamaan [4]:
Universitas Sumatera Utara
Ts
C
bm Nused rate bit
r
= (3.24)
dimana :
N
used
= jumlah subcarrier aktif
bm = jumlah bit per modulasi (bergantung teknik modulasi yang digunakan)
Cr = coding rate (laju pengkodean)
Ts = durasi symbol OFDMA
Durasi symbol OFDMA dihitung dengan [4]:
Tg Tb Ts + = (3.25)


=
BW
N
Tb
FFT
dan Tb G Tg =
dimana :
Tb = periode symbol (s)
Tg = periode guard (s)
N
FFT
= jumlah FFT
BW = bandwidth kanal (Hz)
= faktor sampling
G = rasio cyclic prefix dengan useful time

3.4.3 Perhitungan Throughput
Throughput didefenisikan sebagai suatu ukuran yang menyatakan berapa banyak
bit yang dapat ditransmisikan dan sukses diterima di tujuan per detik untuk lebar pita
yang dialokasikan. Throughput ditunjukkan oleh persamaan [1]:
BW M r BLER TP = ) ( log ) 1 (
2
(3.26)
Universitas Sumatera Utara
dimana :
TP = Throughput (bps)
BLER = Block Error Rate
r = coding rate
M = jumlah titik pada konstelasi
BW = bandwidth sistem (Hz)








Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ANALISIS KINERJA MODULASI DAN PENGKODEAN ADAPTIF
PADA JARINGAN WIMAX

4.1 Model Sistem Yang Dianalisis
Pada Tugas Akhir ini, model sistem yang dianalisis diasumsikan sebagai
lingkaran konsentris dengan radius R dari base station (BS). Pada masing-masing
region, pelanggan/subscriber station (SS) mempunyai skema modulasi dan pengkodean
yang sama sesuai dengan signal-to-noise ratio (SNR). Sel yang dianalisis hanya berupa
satu sel tunggal yang terisolasi sehingga faktor interferensi antar sel dapat diabaikan
[5]. Gambar 4.1 menunjukkan model sel yang dianalisis yang terbagi dalam region-
region.

Gambar 4.1 Model Sistem
SNR minimum yang harus diterima SS tanpa data loss menentukan jarak d
maksimum yang dapat diraih oleh SS tersebut. Standar nilai SNR yang dipakai diambil
dari standar IEEE 802.16e yang ditunjukkan oleh Tabel 4.1 [4].
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Standar IEEE 802.16e untuk SNR
Modulasi Coding Rate Receiver SNR threshold (dB)
BPSK 3,0
QPSK
6,0
8,5
16-QAM
11,5
15,0
64-QAM
2
/
3
19,0
21,0

4.2 Parameter Parameter Yang Digunakan Dalam Analisis
a) Model Propagasi
Model propagasi yang digunakan ialah model propagasi NLOS untuk daerah
sub-urban COST-231 Hata dan ECC-33 Path Loss Model untuk daerah medium city
environment.
b) Parameter station
Spesifikasi perangkat base station (BS) dan subscriber station (SS) yang
dianalisis diambil dari perangkat yang telah mendapatkan sertifikasi WiMAX Forum
yakni Motorola WAP 35450 untuk BS dan Motorola CPEo35450 untuk SS, dapat
dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3 [8][9]. Tabel 4.2 menunjukkan parameter station
yang digunakan untuk perhitungan link budget.
Tabel 4.2 Parameter Station
Parameter Base Station Parameter Subscriber Station
Product name Motorola WAP 35450 Product name Motorola CPEo35450
Air interface IEEE 802.16e Air interface IEEE 802.16e
Frekuensi operasi 3,5 GHz Frekuensi operasi 3,5 GHz
Bandwidth kanal 10 MHz Bandwidth kanal 10 MHz
Duplexing TDD Duplexing TDD
Transmit power 10 watt Output power 26 dBm
Antenna gain 23 dBi Antenna gain 14 dBi
Loss Tx 4 dB Loss Rx 2 dB
Universitas Sumatera Utara
Sensitivitas 5 dB diatas standar WiMAX
Loss implementation 2 dB
Noise Figure 4 dB
Tinggi 20 m Tinggi 3 m

c) Parameter OFDMA
Parameter OFDMA diambil dari standar IEEE 802.16e untuk Downlink-Partial
Usage of Subcarrier (DL-PUSC) untuk frekuensi 3,5 GHz dan bandwidth 10MHz
[1][4]. Besarnya nilai parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Parameter OFDMA
Nama Parameter Nilai
N
FFT
1024
N
used
841




N
subchannel
30
Faktor repetisi (R) 6
Frekuensi sampling (Fs)
bandwidth
7
8

Faktor sampling ()
28
/
25
G
1
/
32

4.3 Perhitungan Analisis Kinerja Modulasi dan Pengkodean Adaptif Pada
Jaringan WiMAX
Pada perhitungan ini akan dianalisis link budget, bit rate, dan throughput
maksimum.
4.3.1 Perhitungan Link Budget
Pada perhitungan ini akan dianalisis rugi-rugi propagasi dengan COST-231
Hata dan ECC-33 Path Loss Model, EIRP (Effective Isotropic Radiated Power), dan
RSL (Receive Signal Level) untuk mengetahui seberapa jauh sinyal dari base station
Universitas Sumatera Utara
masih dapat diterima oleh subscriber station dan skema modulasi dan pengkodean apa
yang digunakan.

4.3.1.1 COST-231 Hata Model
Perhitungan yang digunakan dalam analisis ini dilakukan dengan menggunakan
Persamaan (3.14) dan (3.15). Nilai rugi-rugi propagasi akan dicari dengan mengubah
jarak antara BS dan SS dari 1 km hingga 10 km.
F r
t t propagasi
C h a
d h h f dB L
+
+ + =
) (
log ) log 55 , 6 9 , 44 ( log 82 , 13 log 9 , 33 3 , 46 ] [
10 10 10 10

dimana :
f = 3500 MHz
h
t
= 20 m
h
r
= 3 m
C
F
= 0 dB (suburban)
) ( log ) 52 , 8 9 , 44 ( 98 , 17 14 , 120 3 , 46
0 ) (
log ) 20 log 55 , 6 9 , 44 ( 20 log 82 , 13 3500 log 9 , 33 3 , 46 ] [
10
10 10 10 10
r
r
propagasi
h a d
h a
d dB L
+ + =
+
+ + =

) 8 , 0 log 56 , 1 ( ) 7 , 0 log 11 , 1 ( ) (
10 10
= f h f h a
r r

97 , 4
73 , 4 7 , 9
) 8 , 0 3500 log 56 , 1 ( 3 ) 7 , 0 3500 log 11 , 1 (
10 10
=
=
=

Maka loss propagasi :
d
d dB L
propagasi
10
10
log 38 , 36 49 , 143
97 , 4 log ) 52 , 8 9 , 44 ( 98 , 17 14 , 120 3 , 46 ] [
+ =
+ + =


Universitas Sumatera Utara
Untuk d = 1 km
dB
dB L
propagasi
49 , 143
) 1 ( log 38 , 36 49 , 143 ] [
10
=
+ =

Untuk d = 2 km
dB
dB L
propagasi
44 , 154
) 2 ( log 38 , 36 49 , 143 ] [
10
=
+ =

Dengan perhitungan yang sama untuk d = 3 km hingga d = 10 km akan didapat hasil
perhitungan rugi rugi propagasi COST-231 Hata seperti yang ditunjukkan pada Tabel
4.4.
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Rugi Rugi Propagasi COST-231 Hata Model
Jarak BS dan SS (d) (km) Loss Propagasi (dB)
1 143,49
2 154,44
3 160,85
4 165,39
5 168,92
6 171,79
7 174,23
8 176,34
9 178,21
10 179,87

4.3.1.2 ECC-33 Path Loss Model
Perhitungan yang digunakan dalam analisis ini dilakukan dengan menggunakan
Persamaan (3.16) hingga (3.20). Nilai rugi-rugi propagasi akan dicari dengan
mengubah jarak antara BS dan SS dari 1 km hingga 10 km.
r t bm fs propagasi
G G A A dB L + = ] [
dimana :
Universitas Sumatera Utara
f = 3,5 GHz
h
t
= 20 m
h
r
= 3 m
) ( log 20 28 , 103
88 , 10 ) ( log 20 4 , 92
) 5 , 3 ( log 20 ) ( log 20 4 , 92
) ( log 20 ) ( log 20 4 , 92
10
10
10 10
10 10
d
d
d
f d A
fs
+ =
+ + =
+ + =
+ + =

) ( log 83 , 9 53 , 27
83 , 2 29 , 4 ) ( log 83 , 9 41 , 20
)] 5 , 3 ( [log 56 , 9 ) 5 , 3 ( log 894 , 7 ) ( log 83 , 9 41 , 20
)] ( [log 56 , 9 ) ( log 894 , 7 ) ( log 83 , 9 41 , 20
10
10
2
10 10 10
2
10 10 10
d
d
d
f f d A
bm
+ =
+ + + =
+ + + =
+ + + =

2
10
2
10
2
10 10
2
10 10
)] ( [log 8 , 5 958 , 13
} )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ){ 1 (
} )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ){ 200 / 20 ( log
} )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ){ 200 / ( log
d
d
d
d h G
t t
=
+ =
+ =
+ =

4 , 5
108 , 0 02 , 50
] 585 , 0 477 , 0 ][ 45 , 7 57 , 42 [
] 585 , 0 ) 3 ( )][log 5 , 3 ( log 7 , 13 57 , 42 [
] 585 , 0 ) ( )][log ( log 7 , 13 57 , 42 [
10 10
10 10
=
=
+ =
+ =
+ =
r r
h f G

Maka loss propagasi :
4 , 5 )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ) ( log 83 , 9 53 , 27 ) ( log 20 28 , 103 ] [
2
10 10 10
+ + + + + + = d d d dB L
propagasi

Untuk d = 1 km
dB
dB L
propagasi
17 , 150
4 , 5 958 , 13 53 , 27 28 , 103
4 , 5 )] 1 ( [log 8 , 5 958 , 13 ) 1 ( log 83 , 9 53 , 27 ) 1 ( log 20 28 , 103 ] [
2
10 10 10
=
+ + + =
+ + + + + + =

Untuk d = 2 km
Universitas Sumatera Utara
dB
dB L
propagasi
68 , 159
4 , 5 53 , 0 958 , 13 959 , 2 53 , 27 02 , 6 28 , 103
4 , 5 )] 2 ( [log 8 , 5 958 , 13 ) 2 ( log 83 , 9 53 , 27 ) 2 ( log 20 28 , 103 ] [
2
10 10 10
=
+ + + + + + =
+ + + + + + =

Dengan perhitungan yang sama untuk d = 3 km hingga d = 10 km akan didapat hasil
perhitungan rugi rugi propagasi ECC-33 Path Loss seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Rugi Rugi Propagasi ECC-33 Path Loss Model
Jarak BS dan SS (d) (km) Loss Propagasi (dB)
1 150,17
2 159,68
3 165,72
4 170,23
5 173,85
6 176,89
7 179,52
8 181,84
9 183,91
10 185,79

Dari Tabel 4.5 dan 4.4 diperoleh Gambar 4.2.
80
100
120
140
160
180
200
0 2 4 6 8 10 12
Jarak BS dan SS (km)
L
o
s
s

P
r
o
p
a
g
a
s
i

(
d
B
)
COST-231 Hata ECC-33 Path Loss Model

Gambar 4.2 Perbandingan Rugi-Rugi Propagasi COST-231 Hata dengan ECC-33
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak antara base station (BS)
dengan subscriber station (SS) maka rugi-rugi propagasi juga semakin besar. Untuk
jarak yang sama loss propagasi ECC-33 lebih besar daripada COST-231 Hata. Hal ini
disebabkan perbedaan karakteristik diantara kedua model propagasi tersebut, dimana
model propagasi COST-231 Hata yang digunakan dalam analisis ini adalah untuk
daerah sub-urban (pinggiran kota), sedangkan ECC-33 yang digunakan adalah untuk
daerah perkotaan medium.

4.3.1.3 Perhitungan EIRP (Effective Isotropic Radiated Power)
Perhitungan EIRP dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.21).
Ltx Gtx Ptx EIRP + =
dimana :
Ptx = 10 watt = 10log(10
4
miliwatt) = 40 dBm
Gtx = 23 dBi
Ltx = 4 dB

Maka :
dBm
dB dBi dBm EIRP
59
4 23 40
=
+ =


4.3.1.4 Perhitungan RSL (Receive Signal Level)
Perhitungan RSL dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.22).
Lrx Grx Lpropagasi EIRP RSL + =
dimana :
Universitas Sumatera Utara
EIRP = 59 dBm
Grx = 14 dBi
Lrx = 2 dB
Untuk COST-231 Hata Model
Nilai RSL akan berubah seiring dengan jarak SS yang semakin jauh dari BS. Dengan
memasukkan nilai rugi-rugi propagasi dari Tabel 4.4 maka akan didapatkan nilai RSL
untuk jarak BS dan SS dari 1 km hingga 10 km.
Untuk d = 1 km
dBm
dB dBi dB dBm RSL
49 , 72
2 14 49 , 143 59
=
+ =

Untuk d = 2 km
dBm
dB dBi dB dBm RSL
44 , 83
2 14 44 , 154 59
=
+ =

Dengan perhitungan yang sama untuk d = 3 km hingga d = 10 km akan didapat hasil
receive signal level dengan model propagasi COST-231 Hata Model seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Receive Signal Level pada COST-231 Hata Model
Jarak BS dan SS (d) (km) RSL (dBm)
1 -72,49
2 -83,44
3 -89,85
4 -94,92
5 -97,92
6 -100,79
7 -103,23
8 -105,34
9 -107,21
10 -108,87

Universitas Sumatera Utara
Untuk ECC-33 Path Loss Model
Nilai RSL akan berubah seiring dengan jarak SS yang semakin jauh dari BS. Dengan
memasukkan nilai rugi-rugi propagasi dari Tabel 4.5 maka akan didapatkan nilai RSL
untuk jarak BS dan SS dari 1 km hingga 10 km.
Untuk d = 1 km
dBm
dB dBi dB dBm RSL
17 , 79
2 14 17 , 150 59
=
+ =

Untuk d = 2 km
dBm
dB dBi dB dBm RSL
68 , 88
2 14 68 , 159 59
=
+ =

Dengan perhitungan yang sama untuk d = 3 km hingga d = 10 km akan didapat hasil
receive signal level dengan model propagasi ECC-33 Path Loss Model seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Receive Signal Level pada ECC-33 Path Loss Model
Jarak BS dan SS (d) (km) RSL (dBm)
1 -79,17
2 -88,68
3 -94,72
4 -99,23
5 -102,85
6 -105,89
7 -108,52
8 -110,84
9 -112,91
10 -114,79


Dari Tabel 4.6 dan 4.7 dapat dibuat perbandingan RSL antara COST-231 Hata dengan
ECC-33 yang ditunjukkan oleh Gambar 4.3. Dari Gambar dapat dilihat bahwa receive
Universitas Sumatera Utara
signal level (RSL) pada model propagasi COST-231 Hata lebih tinggi bila
dibandingkan dengan model propagasi ECC-33. Hal ini disebabkan rugi-rugi propagasi
COST-231 Hata yang lebih rendah daripada ECC-33. Semakin jauh jarak antara base
station (BS) dengan subscriber station (SS) maka RSL juga semakin rendah.
-118
-116
-114
-112
-110
-108
-106
-104
-102
-100
-98
-96
-94
-92
-90
-88
-86
-84
-82
-80
-78
-76
-74
-72
-70
-68
-66
-64
-62
-60
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jarak BS dan SS (km)
R
e
c
e
i
v
e

S
i
g
n
a
l

L
e
v
e
l

(
d
B
m
)
COST-231 Hata ECC-33 Path Loss

Gambar 4.3 Perbandingan Receive Signal Level Pada Model Propagasi COST 231-
Hata dan ECC-33 Path Loss

4.3.1.5 Perhitungan Rss (Receiver Sensitivity)
Perhitungan Rss dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.23).
Berdasarkan spesifikasi sensitivitas perangkat SS yang lebih besar 5dB dari standar
WiMAX maka akan diberikan margin sesuai dengan spesifikasi tersebut.
dB N loss
N
N
Fs R SNR dBm Rss
F imp
FFT
used
RX
5 log 10 log 10 114 ] [ + +
|
|
.
|

\
|
+ + =
Universitas Sumatera Utara
dimana :
SNR
RX
= signal-to-noise ratio threshold penerima (Tabel 4.1)
R = 6
Fs = bandwidth
7
8

N
used
= 841
N
FFT
= 1024
loss
imp
= 2 dB
N
F
= 4 dB
Sensitivitas SS akan dihitung untuk semua skema modulasi dan pengkodean adaptif.
Untuk modulasi BPSK dengan coding rate
dBm
dB dBm Rss
06 , 108
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 3 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
dBm
dB dBm Rss
06 , 105
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 6 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
dBm
dB dBm Rss
56 , 102
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 5 , 8 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
dBm
dB dBm Rss
56 , 99
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 5 , 11 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
Universitas Sumatera Utara
dBm
dB dBm Rss
06 , 96
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 15 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
2
/
3

dBm
dB dBm Rss
06 , 92
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 19 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
dBm
dB dBm Rss
06 , 90
5 4 2
1024
841
10
7
8
log 10 6 log 10 21 114 ] [
=
+ +
|
.
|

\
|
+ + =

Hasil perhitungan receiver sensitivity (Rss) perangkat untuk sistem modulasi dan
pengkodean adaptif ditunjukkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Receiver Sensitivity Perangkat
Modulasi Coding Rate Receiver Sensitivity (dBm)
BPSK -108,06
QPSK
-105,06
-102,56
16-QAM
-99,56
-96,06
64-QAM
2
/
3
-92,06
-90,06

4.3.1.6 Perhitungan Batas Switching Point
RSL (Receive Signal Level) adalah level sinyal yang diterima di penerima dan
nilainya harus lebih besar dari sensitivitas perangkat penerima (RSL Rss). Dari Tabel
4.8 dapat dilihat bahwa SS hanya dapat melakukan skema modulasi dan pengkodean
tinggi (64-QAM ) jika sensitivitas minimum yang diterima sebesar -90,06 dBm. Dari
Gambar 4.3 terlihat bahwa untuk model COST-231 Hata, SS yang bisa menikmati
Universitas Sumatera Utara
modulasi dan pengkodean tinggi ini hanyalah yang berada pada jarak sejauh 0 km 3
km dari BS. Sedangkan dengan model ECC-33 jarak maksimal hanya sejauh 2 km
lebih. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat maka dilakukan perhitungan batas
swiching point untuk menentukan batas jarak dimana SS dapat menggunakan skema
modulasi dan pengkodean tertentu. Hal ini dilakukan dengan mensubstitusikan nilai
pada Tabel 4.8 sebagai nilai RSL.
Lpropagasi dBm
dB dBi Lpropagasi dBm
Lrx Grx Lpropagasi EIRP RSL
=
+ =
+ =
71
2 14 59
Untuk Model Propagasi COST-231 Hata
d dB L
propagasi 10
log 38 , 36 49 , 143 ] [ + =
Sensitivitas BPSK adalah -108,06 dBm, maka :
km d
d
d
d
dB Lpropagasi
Lpropagasi
5 , 9
977735 , 0 log
57 , 35 log 38 , 36
06 , 179 log 38 , 36 49 , 143
06 , 179
71 06 , 108
=
=
=
= +
=
=

Dengan perhitungan yang sama untuk skema modulasi dan pengkodean yang lain,
maka didapat batas switching point seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Batas Switching Point Pada Model Propagasi COST-231 Hata
Jarak BS dan SS (d) Skema Modulasi dan Pengkodean
0 km 3,041 km 64-QAM
3,041 km 3,451 km 64-QAM
2
/
3

3,451 km 4,445 km 16-QAM
4,445 km 5,547 km 16-QAM
5,547 km 6,707 km QPSK
6,707 km 7,857 km QPSK
Universitas Sumatera Utara
7,857 km 9,5 km BPSK
> 9,5 km No Signal

Untuk Model Propagasi ECC-33 Path Loss
2
2
10 10 10
) (log 8 , 5 log 83 , 29 168 , 150
4 , 5 )] ( [log 8 , 5 958 , 13 ) ( log 83 , 9 53 , 27 ) ( log 20 28 , 103 ] [
d d
d d d dB L
propagasi
+ + =
+ + + + + + =

Sensitivitas BPSK adalah -108,06 dBm, maka :
km d
d ; maka d ke x kan Substitusi
, - x
, x
a
ac b b
x
x
x x
d d
d d
dB Lpropagasi
Lpropagasi
813229 , 6
833353 , 0 log log
976634 5
833353 0
6 , 11
2944 , 670 8289 , 889 82 , 29
2
4
0 892 , 28 83 , 29 8 , 5
892 , 28 8 , 5 83 , 29
d log x misal
892 , 28 ) (log 8 , 5 log 83 , 29
06 , 179 ) (log 8 , 5 log 83 , 29 168 , 150
06 , 179
71 06 , 108
1
2
1
2
2 , 1
2
2
2
2
=
=
=
=
+
=

=
= +
= +
=
= +
= + +
=
=

Dengan perhitungan yang sama untuk skema modulasi dan pengkodean yang lain,
maka didapat batas switching point seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Batas Switching Point Pada Model Propagasi ECC-33 Path Loss
Jarak BS dan SS (d) Skema Modulasi dan Pengkodean
0 km 2,199 km 64-QAM
2,199 km 2,517 km 64-QAM
2
/
3

2,517 km 3,272 km 16-QAM
3,272 km 4,083 km 16-QAM
Universitas Sumatera Utara
4,083 km 4,912 km QPSK
4,912 km 5,71 km QPSK
5,71 km 6,813 km BPSK
> 6,813 km No Signal

4.3.2 Perhitungan Bit Rate
Perhitungan bit rate untuk setiap skema modulasi dan pengkodean adaptif
dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.24) dan (3.25).
Pertama-tama dilakukan perhitungan durasi symbol OFDMA :
Tg Tb Ts + =

=
BW
N
Tb
FFT
dan Tb G Tg =
dimana :
N
FFT
= 1024
BW = 10 MHz = 10
7
Hz
=
28
/
25

G =
1
/
32
Maka :
s s Tb 43 , 91 10 143 , 9
25
28
10
1024
5
7
= =

=


s s Tb Tg 86 , 2 43 , 91
32
1
32
1
= = =
s s s s Ts
5
10 429 , 9 29 , 94 86 , 2 43 , 91

= = + =



Universitas Sumatera Utara
Menghitung bit rate
Ts
C
bm Nused rate bit
r
=
dimana :
Nused = 841
Ts = 9,42910
-5
s
bm = jumlah bit per modulasi (bergantung teknik modulasi yang digunakan)
Cr = coding rate (laju pengkodean)

Untuk modulasi BPSK dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
46 , 4
774 , 4459645
10 429 , 9

) 2 ( log 841
5
2
=
=

=


Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
92 , 8
547 , 8919291
10 429 , 9

) 4 ( log 841
5
2
=
=

=


Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
38 , 13
32 , 13378937
10 429 , 9

) 4 ( log 841
5
2
=
=

=


Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
84 , 17
09 , 17838583
10 429 , 9

) 16 ( log 841
5
2
=
=

=


Universitas Sumatera Utara
Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
76 , 26
64 , 26757874
10 429 , 9

) 16 ( log 841
5
2
=
=

=


Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
2
/
3

Mbps
bps
rate bit
68 , 35
19 , 35677166
10 429 , 9
) 64 ( log 841
5
3
2
2
=
=

=


Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
rate bit
14 , 40
96 , 40136811
10 429 , 9

) 64 ( log 841
5
2
=
=

=


Hasil perhitungan bit rate untuk sistem modulasi dan pengkodean adaptif ditunjukkan
pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Bit Rate Sistem Modulasi Dan Pengkodean Adaptif
Modulasi Coding Rate Bit Rate (Mbps)
BPSK 4,46
QPSK
8,92
13,38
16-QAM
17,84
26,76
64-QAM
2
/
3
35,68
40,14

Dari Tabel 4.11 terlihat bahwa bit rate tertinggi dicapai dengan skema modulasi dan
laju pengkodean tertinggi, yakni 64-QAM dengan bit rate sebesar 40,14 Mbps.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan bit rate terendah didapat dengan skema modulasi dan laju pengkodean
terendah, yakni BPSK dengan bit rate sebesar 4.46 Mbps.

4.3.3 Perhitungan Throughput Maksimum
Perhitungan throughput untuk setiap skema modulasi dan pengkodean adaptif
dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.26).
BW M r BLER T = ) ( log ) 1 (
2

Untuk mencapai throughput maksimum maka BLER (Block Error Rate) harus dianggap
tidak ada, dengan kata lain BLER0. Pada kondisi ini sistem dianggap bekerja secara
sempurna dan ideal tanpa mengalami error transmisi data, sehingga :
BW M r TP = ) ( log
2 max

dimana :
r = laju pengkodean
M = jumlah titik dalam konstelasi
BW = 10 MHz = 10
7
Hz

Untuk modulasi BPSK dengan coding rate
Mbps
bps
og TP
5
5000000
10 ) 2 ( l
7
2 max
=
=
=

Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
Mbps
bps
og TP
10
10000000
10 ) 4 ( l
7
2 max
=
=
=

Untuk modulasi QPSK dengan coding rate
Universitas Sumatera Utara
Mbps
bps
og TP
15
15000000
10 ) 4 (
7
2 max
=
=
=

Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
og TP
20
20000000
10 ) 16 ( l
7
2 max
=
=
=

Untuk modulasi 16-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
og TP
30
30000000
10 ) 16 ( l
7
2 max
=
=
=

Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
2
/
3

Mbps
bps
og TP
40
40000000
10 ) 64 (
7
2 3
2
max
=
=
=

Untuk modulasi 64-QAM dengan coding rate
Mbps
bps
og TP
45
45000000
10 ) 64 ( l
7
2 max
=
=
=

Hasil perhitungan throughput maksimum sistem ditunjukkan pada Tabel 4.12
Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Throughput Maksimum Sistem
Modulasi Coding Rate Throughput Maksimum (Mbps)
BPSK 5
QPSK
10
15
16-QAM
20
30
64-QAM
2
/
3
40
45
Universitas Sumatera Utara
Dari Tabel 4.12 terlihat bahwa throughput maksimum tertinggi dicapai dengan skema
modulasi dan laju pengkodean tertinggi, yakni 64-QAM sebesar 45 Mbps.
Sedangkan throughput maksimum terendah didapat dengan skema modulasi dan laju
pengkodean terendah, yakni BPSK dengan throughput sebesar 5 Mbps.
Dari Tabel 4.9, 4.11, dan 4.12 dapat dibuat perbandingan bit rate dan throughput
maksimum pada model propagasi COST-231 Hata seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.4.
9.5
0
3.041
3.451
4.445
5.547
6.707
7.857
BPSK 1/2
QPSK 1/2
QPSK 3/4
16-QAM 1/2
16-QAM 3/4
64-QAM 2/3
64-QAM 3/4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jarak BS dan SS (km)
D
a
t
a

R
a
t
e

(
M
b
p
s
)
Bit Rate Throughput Maksimum

Gambar 4.4 Perbandingan Bit Rate dan Throughput Maksimum pada Model Propagasi
COST-231 Hata
Dari Gambar 4.4 dapat dilihat sistem modulasi dan pengkodean adaptif, dimana skema
modulasi dan laju pengkodean berubah-ubah terhadap kondisi link propagasi. Dari
jarak 0 km 3,041 km dari BS, SS akan mendapatkan sinyal 64-QAM dengan bit
rate sebesar 40,14 Mbps dan throughput maksimum sebesar 45 Mbps. Sinyal ini bisa
didapatkan oleh SS akibat kondisi link propagasi masih sangat baik. Ketika kondisi link
Universitas Sumatera Utara
propgasi bertambah buruk, maka dari jarak 3,041 km 3,451 km, SS akan
mendapatkan sinyal dengan modulasi dan laju pengkodean yang lebih rendah yakni 64-
QAM
2
/
3
dengan bit rate sebesar 35,68 Mbps dan throughput maksimum sebesar 40
Mbps. Demikian seterusnya skema modulasi dan laju pengkodean akan berubah-ubah
mengikuti kondisi link propagasi hingga pada jarak 7,857 km 9,5 km yang
merupakan kondisi link terburuk, maka akan digunakan skema modulasi dan
pengkodean terendah yakni BPSK dengan bit rate sebesar 4,46 Mbps dan throughput
maksimum sebesar 5 Mbps dengan tujuan untuk menghindari kerusakan data.
Sedangkan untuk jarak lebih besar dari 9,5 km, SS tidak akan lagi mendapatkan sinyal
akibat kualitas receive signal level (RSL) yang diterima SS lebih rendah dari
sensitivitas perangkat penerima minimum.
Dari Tabel 4.10, 4.11, dan 4.12 dapat dibuat perbandingan bit rate dan throughput
maksimum pada model propagasi ECC-33 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5.
6.813
0
2.199
2.517
3.272
4.083
4.912
5.71
BPSK 1/2
QPSK 1/2
QPSK 3/4
16-QAM 1/2
16-QAM 3/4
64-QAM 2/3
64-QAM 3/4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jarak BS dan SS (km)
D
a
t
a

R
a
t
e

(
M
b
p
s
)
Bit Rate Throughput Maksimum

Gambar 4.5 Perbandingan Bit Rate dan Throughput Maksimum pada Model Propagasi
ECC-33 Path Loss
Universitas Sumatera Utara
Dari Gambar 4.5 dapat dilihat sistem modulasi dan pengkodean adaptif, dimana skema
modulasi dan laju pengkodean berubah-ubah terhadap kondisi link propagasi. Dari
jarak 0 km 2,199 km dari BS, SS akan mendapatkan sinyal 64-QAM dengan bit
rate sebesar 40,14 Mbps dan throughput maksimum sebesar 45 Mbps. Sinyal ini bisa
didapatkan oleh SS akibat kondisi link propagasi masih sangat baik. Ketika kondisi link
propgasi bertambah buruk, maka dari jarak 2,199 km 2,517 km, SS akan
mendapatkan sinyal dengan modulasi dan laju pengkodean yang lebih rendah yakni 64-
QAM
2
/
3
dengan bit rate sebesar 35,68 Mbps dan throughput maksimum sebesar 40
Mbps. Demikian seterusnya skema modulasi dan laju pengkodean akan berubah-ubah
mengikuti kondisi link propagasi hingga pada jarak 5,71 km 6,813 km yang
merupakan kondisi link terburuk, maka akan digunakan skema modulasi dan
pengkodean terendah yakni BPSK dengan bit rate sebesar 4,46 Mbps dan throughput
maksimum sebesar 5 Mbps dengan tujuan untuk menghindari kerusakan data.
Sedangkan untuk jarak lebih besar dari 6,813 km, SS tidak akan lagi mendapatkan
sinyal akibat kualitas receive signal level (RSL) yang diterima SS lebih rendah dari
sensitivitas perangkat penerima (Rss) minimum.







Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Semakin jauh subscriber station (SS) dari base station (BS) maka rugi-rugi
propagasi juga akan semakin besar.
2. Rugi-rugi propagasi pada ECC-33 Path Loss lebih besar daripada COST-231
Hata.
3. Pada model propagasi COST-231 Hata, SS dengan jarak dari BS sejauh 0 km -
3,041 km akan mendapat sinyal 64-QAM ; 3,041 km 3,451 km akan
mendapat sinyal 64-QAM
2
/
3
; 3,451 km 4,445 km akan mendapat sinyal 16-
QAM ; 4,445 km 5,547 km akan mendapat sinyal 16-QAM ; 5,547 km
6,707 km akan mendapat sinyal QPSK ; 6,707 km 7,857 km akan mendapat
sinyal QPSK ; 7,857 km 9,5 km akan mendapat sinyal BPSK .
4. Pada model propagasi ECC-33 Path Loss, SS dengan jarak dari BS sejauh 0 km
2,199 km akan mendapat sinyal 64-QAM ; 2,199 km 2,517 km akan
mendapat sinyal 64-QAM
2
/
3
; 2,517 km 3,272 km akan mendapat sinyal 16-
QAM ; 3,272 km 4,083 km akan mendapat sinyal 16-QAM ; 4,083 km
4,912 km akan mendapat sinyal QPSK ; 4,912 km 5,71 km akan mendapat
sinyal QPSK ; 5,71 km 6,813 km akan mendapat sinyal BPSK .
5. Bit rate data paling tinggi dicapai dengan skema modulasi dan pengkodean 64-
QAM yakni sebesar 40,14 Mbps.
Universitas Sumatera Utara
6. Throughput maksimum sistem adalah sebesar 45Mbps yang dicapai dengan
sinyal 64-QAM .

5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Analisis kinerja modulasi dan pengkodean adaptif dapat dibahas lebih
mendalam dengan menggunakan metode simulasi dengan menggunakan bahasa
pemrograman yang ada.
2. Diperlukan analisis lebih lanjut dengan melakukan pengukuran secara langsung
pada jaringan WiMAX yang telah diimplementasikan.
































Universitas Sumatera Utara

You might also like