You are on page 1of 15

Refrat

ARTRITIS GOUT
Oleh: Arif Ikhwandi 06923068

Pembimbing: dr. Lila Indrati , Sp.Rad

BAGIAN ILMU RADIOLOGI DAN KEDOKTERAN NUKLIR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dengan segala rahmat dan petunjuknya sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat kelompok yang berjudul Artritis Gout, sebagai salah satu syarat untuk menjalani kepaniteraan klinik di bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Lila, Sp.RAd selaku dosen pembimbing beserta semua pihak yang telah membantu penyusunan refrat ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan refrat ini jauh dari sempurna. Untuk itu kami sangat mengharapakn kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan refrat ini. Semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman serta dapat meningkatkan pelayanan khususnya di bidang radiology di masa yang akan datang.

Padang, Oktober 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... DAFTAR ISI........................................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................................. 1.2 Batasan Masalah .............................................................................................................................................. 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................................................. 1.4 Metode Penulisan .............................................................................................................................................. BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 2.1 Definisi .............................................................................................................................................. 2.2 Insidens .............................................................................................................................................. 2.3 Etiopatofisiologi. .............................................................................................................................................. 2.4 Patologi .............................................................................................................................................. 2.5 Gambaran Klinis .............................................................................................................................................. 2.6 Klasifikasi .............................................................................................................................................. 2.7 Pemeriksaan .............................................................................................................................................. 2.8 Diagnosis .............................................................................................................................................. 2.9 Penatalaksanaan............................................................................................ 2.10 Prognosis .............................................................................................................................................. BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 3.1 Kesimpulan .............................................................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Gout atau dalam istilah awamnya asam urat adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat mengontrol asam urat, sehingga kristal asam urat yang berlebihan akan menumpuk di jaringan tubuh. Gout ditandai dengan peningkatan kadar asam urat dalam tubuh dan menyebabkan inflamasi (radang) pada persendian (artritis). Gout kronik (jangka panjang) dapat menyebabkan penumpukan asam urat didalam dan sekitar persendian, menurunkan fungsi ginjal dan membentuk batu ginjal. 1.2 BATASAN MASALAH Referat ini membahas mengenai definisi, embriologi dan anatomi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari Artritis Gout. 1.3 TUJUAN PENULISAN Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis khususnya mengenai Artritis Gout. 1.4 METODE PENULISAN Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka, dengan mengacu pada beberapa literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 DEFENISI Gout adalah penyakit yang disebabkan penimbunan kristal monosodium urat monohidrat di jaringan akibat adanya supersaturasi asam urat. Gout ditandai dengan peningkatan kadar urat dalam serum, serangan artritis gout akut, terbentuknya tofus, nefropati gout dan batu asam urat. Tofus adalah nodul berbentuk padat yang terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras, tidak nyeri dan terdapat pada sendi atau jaringan. Tofus merupakan komplikasi kronis dari hiperurisemia akibat kemampuan eliminasi urat tidak secepat produksinya. Tofus dapat muncul di banyak tempat, diantaranya kartilago, membrana sinovial, tendon, jaringan lunak dan lain-lain. 2.2 EPIDEMIOLOGI Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, puncaknya pada dekade ke-5. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar 32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita, kadar asam urat umumnya rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi arthritis gout di Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita 0,05%. Di Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2% dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.

2.3. ETIOLOGI Gejala arthritis gout akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolic. Asam urat merupakan zat sisa yang dibentuk oleh tubuh pada saat regenerasi sel. Beberapa orang dengan gout membentuk lebih banyak asam urat dalam tubuh nya (10%). Sisanya (90%), tubuh anda tidak efektif membuang asam urat melalui air seni. Genetik, jenis kelamin dan nutrisi (peminum alkohol, obesitas) memegang peranan penting dalam pembentukan penyakit gout. 2.3.PATOGENESIS Gout Primer (90% dari semua kasus): Mayoritas bersifat idiopatik (>95%), memiliki pewarisan yang multifaktorial dan berkaitan dengan produksi berlebih asam urat dengan ekskresi asam urat yang normal atau meningkat atau produksi asam urat yang normal dengan ekskresi yang kurang; penggunaan alkohol dan obesitas merupakan faktor predisposisi. Kasus primer dengan persentase yang kecil berkaitan dengan defek enzim tertentu (misalnya defisiensi parsial enzim HGPRT [hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase] yang berkaitan dengan kromosom X). Gout Sekunder (10% dari semua hasus): Sebagian besar berkaitan dengan peningkatan pergantian asam nukleat yang terjadi pada hemolisis kronik, polisitemia, leukemia dan limfoma. Yang lebih jarang ditemukan adalah pemakaian obat-obatan (khususnya diuretik, aspirin, asam nikotinat dan etanol) atau gagal ginjal kronik yang menimbulkan hiperurisemia simtomatik. Intoksikasi timbal (timah hitam) dapat menyebabkan penyakit saturnine gout. Kadang-kadang defek enzim tertentu yang menyebabkan penyakit von Gierke (penyakit simpanan glikogenlglycogen storage disease tipe I) dan sindrom Lesch-Nyhan (dengan defisiensi total HGPRT yang hanya terlihat pada laki-laki serta disertai defisit neurologis) menimbulkan keluhan dan gejala penyakit gout. 2.4. GAMBARAN KLINIS

1. Hiperurisemia asimptomatik Pada stadium ini kadar asam urat tinggi. Tidak ada gejala arthritis, tofi, urolitiasis.

2. Arthritis gout akut Perjalanannya eksplosif, diduga ada faktor presipitasi. Serangan bersifat monoartikuler. 50% lokasi pada MTP 1. Serangannya biasanya pada malam hari. Self-limiting dalam 10 hari -> jika diobati sembuh dalam 3 hari. Kadar asam urat tidak selalu tinggi dalam darah. Pada pria timbul pada usia 30-45tahun, wanita pada saat pasca menopause. 3. Interkritikal gout Fase tenang setelah serangan pertama. Berlangsung 6 bulan-2 tahun, bahkan sampai 5 atau 10 tahun. Pada fase ini dapat terjadi kerusakan sendi.

4. Arthritis pirai kronik dengan tofus Mulai dari serangan pertama sampai kronisitas memerlukan waktu 11 tahun. Serangan bersifat poliartikuler. Tofus terbentuk bila kadar asam urat >9mg%, terdiri dari monosodium urat yang dikelilingi oleh sel inflamasi. Lokasi tofus: tulang rawan, tendon, sinovial, lemak, katup mitral, miokard, mata dan laring. Tofus subkutan bisa ditemukan pada jari, pergelangan tangan, telinga, prepatella dan olekranon.

2.5. DIAGNOSIS

Menurut criteria ACR ( American Collage of Rheumatology ) diagnosis dapat ditegakkan jika: 1. menemukan monosodium urat dalam cairan sinovial atau 2. ditemukan tofus yang mengandung kristal MSU atau 3. ditemukan 6 dari 12 kriteria dibawah ini: a. inflamasi maksimal hari pertama b. arthritis monoartikuler c. kulit diatas sendi kemerahan d. bengkak + nyeri pada MTP1 e. dicurigai tofi f. hiperurisemia g. pembengkakan sebuah sendi asimetrik pada foto roentgen h. kista subkortikal tanpa erosi pada foto roentgen i. kultur cairan sendi selama serangan inflamasi negative

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Radiologi 1. Foto Polos Foto polos dapat digunakan untuk mengevaluasi gout, namun, temuan umumnya baru muncul setelah minimal 1 tahun penyakit yang tidak terkontrol. Bone scanning juga dapat digunakan untuk memeriksa gout, temuan kunci pada scan tulang adalah konsentrasi radionuklida meningkat di lokasi yang terkena dampak.

Pada fase awal temuan yang khas pada gout adalah asimetris pembengkakan di sekitar sendi yang terkena dan edema jaringan lunak sekitar sendi. Pada pasien yang memiliki beberapa episode yang menyebabkan arthritis gout pada sendi yang sama, daerah berawan dari opacity meningkat dapat dilihat pada plain foto. Pada tahap berikutny, perubahan tulang yang paling awal muncul. Perubahan tulang awalnya muncul pada daerah sendi pertama metatarsophalangeal (MTP). Perubahan ini awal umumnya terlihat di luar sendi atau di daerah juxta-artikularis. Temuan ini antarafase sering digambarkan sebagai lesi menekan-out, yang dapat berkembang menjadi sklerotik karena peningkatan ukuran.

Pada gout kronis, temuan tanda yang tophi interoseus banyak. Perubahan lain terlihat pada radiografi polos-film pada penyakit stadium akhir adalah ruang yang menyempit serta deposit kalsifikasi pada jaringan lunak.

2. USG

Ultrasonography patterns indicating the presence of gout. (a) Double contour sign: transversal ultrasound imaging of the knee joint in the anterior intercondile area. The double contour image is shown as an anechoic line paralleling bony contour femoral cartilage. B-mode, linear transducers with a frequency of 9 MHz. C, knee condyles. (b) Hyperechoic images: longitudinal ultrasound imaging of the dorsal aspect of the first metatarsal phalangeal joint. The hyperechoic cloudy area represents monosodium urate deposits within the thickened synovial membrane (arrows). B-mode, linear transducers with a frequency of 9 MHz. MH, metatarsal head. (c) Power-Doppler signal: longitudinal view, dorsal aspect of an asymptomatic first metatarsal phalangeal joints. The Doppler signal may be seen even seen in hyperechoic synovial areas. Transducer with a frequency of 14 MHz in grey scale and colour Doppler with a frequency of 7.5 MHz.

4. Computed Tomografi Figure 2.

Computed tomography images demonstrating extensive tophaceous deposits. Three-dimensional volume-rendered computed tomography images of the right foot from a patient with chronic gout, demonstrating extensive tophaceous deposits (visualized as red) particularly at the first metatarsal phalangeal joint, midfoot and Achilles tendon. (a) Dorsal view and (b) lateral view. Perez-Ruiz et al. Arthritis Research & Therapy 2009 11:232 doi:10.1186/ar2687

4. MRI

Figure 3. T2-weighted magnetic resonance imaging scans. (a) Coronal gradient echo T2weighted magnetic resonance imaging (MRI): two nodular images with an intermediate signal (tophi) under the external collateral ligament and inside the posterior cruciate ligament of the knee. An external meniscus tear may be seen close to urate deposition. (b) Axial T2-weighted MRI: low signal intensity of both tophi, and marked hypointensity of synovium in a Baker cyst. (c) Axial post-contrast (gadolinium) T1-weighted MRI: thickening and nodular enhancement of the synovium in the suprapatelar recess.

2.7. DIAGNOSA BANDING Gout kronis mungkin keliru untuk rheumatoid arthritis sebagai ruang bersama yang sempit. Namun, pada rheumatoid arthritis, keterlibatan bersama adalah simetris, erosi tidak memiliki margin sklerotik, dan osteoporosis juxta-artikular mungkin ada. Osteoarthritis mungkin juga keliru untuk gout dan juga dapat terjadi secara bersamaan. 2.8. KOMPLIKASI 1. Nefrolitiasis urat : insiden terbentuknya kembali batu. Insiden meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun, riwayat keluarga atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat. 2. Gagal ginjal akut : dapat terjadi setelah pelepasan massif asam urat yang berlansung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena kelainan mielo- atau limfoproliferatif.

2.9. PENATALAKSANAAN Secara umum penanganan artritis gout adalah pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi lain, seperti pada ginjal. Pengobatan atritis

gout akut bertujuan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS, kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan. Dosis standar kolkisin untuk atritis gout secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg. Sedangkan OAINS yang serig dipakai adalah indometasin dengan dosis 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan 75-100 mg/hari untuk minggu berikutnya atau sampai nyeri dan peradangan berkurang. Kortikosteroid dan hormon ACTH diberikan apabila pemberian kolkisin dan OAINS tidak efektif atau kontraindikasi. Pada stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan kadar asam urat hingga normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik lain.

BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN Pemeriksaan radiologi pada atritis gout tidak spesifik pada stadium akut. Pada stadium kronik gambaran umumnya adalah inflamasi asimetris, artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak.

DAFTAR PUSTAKA
1. So, Alex . Imaging of Gout : Finding and Utility. The Arthritis Reseach and Therapy journals. Available at:
http://arthritis-research.com/series/gout

You might also like