You are on page 1of 14

ANASTETIK

TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum ini,mahasiswa diharapkan : 1. Mengenal tahap-tahap manifestasi anastesi umum dan tahap tahap pemulihan dari anastesi umum . 2. Mampu menganalisa perbedaan anastesi oleh berbagai bahan

II. TEORI DASAR

Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir, meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satu-satunya tindakan yang berharga.

Stadium-stadium Anestesi Semua zat anestetik umum menghambat Sistem Saraf Pusat secara bertahap, awalnya fungsi yang kompleks yang akan dihambat kemudian terakhir yang dihambat adalah medulla oblongata di mana terletak vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Menurut Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium dan stadium III dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu : a. Stadium I (Analgesia) Stadium Analgesia dimulai pada saat pemberian zat analgetik sampai menghilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan pembedahan ringan misalnya cabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya. b. Stadium II (Delirium/Eksitasi) Stadium Eksitasi dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyayi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea, tonus otot rangka meninggi, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi. Hal ini terjadi karena adanya hambatan pada pusat

hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, oleh karena itu stadium ini jarus cepat dilewati. c. Stadium III (Pembedahan) Stadium pembedahan ini ditandai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Tanda-tanda yang harus dikenali yaitu: Pernapasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang, pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak terpengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang. Refleks kelopak mata dan konjungtiva menghilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip apabila bulu mata disentuh. Kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Apabila lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa tahanan. Gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III. Berdasarkan tanda-tandanya stadium III dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu: Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, miosis, pernapasan dada dan perut seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. Tingkat 2 : pernapasan teratur tapi kurang dalam dibandingkan dengan tingkat 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar relaksasi otot sedang, refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Tingkat 3 : pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada karena otot intercostals mulai mengalami paralisis,relaksasi otot lurik sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal. Tingkat 4 : pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Apabila stadium III tingkat 4 sudah tercapai, hendaknya harus berhati-hati jangan sampai pasien masuk dalam stadium IV. Untuk dapat mengenali keadaan ini harus diperhatikan sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal dan mulai menurunnya tekanan darah. d. Stadium IV (Paralisis Medulla Oblongata) Stadium paralisis Medula Oblongata ini dimulai dengan melemahnya pernapasan perut disbanding stadium III tingkat IV, tekanana darah sudah tidak dapat diukur karena adanya kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan. Dalamnya suatu anestesi harus ditentukan oleh yang berkompeten dalam hal ini adalah ahli anastesi. Berdasarkan jenis rangsang rasa sakit, derajat kesadaran, relaksasi otot dan sebagainya. Perangsangan nyeri dapat dibagi menjadi III derajat kekuatan, yaitu:

Kuat, yang terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum,kornea mukosa uretra terutama apabila ada peradangan. Sedang, yang terjadi sewaktu manipulasi fasia otot dan jaringan lemak. Ringan, yang terjadi sewaktu pemotongan dan menjahit usus serta memotong otak.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mula Kerja Anastesi Umum Inhalasi Prinsip Farmakokinetk Anastetik inhalasi : Anastetik inhalasi merupakan beberapa di antara sengat sedikit senyawa farmakologis yang diberikan sebagai gas. Fakta bahwa senyawa-senyawa ini berprilaku sebagai gas dan bukan sebagai cairan membutuhkan konsep farmakokinetik yang berbeda yang akan digunakan dalam menganalisis pengambilan dan distribusinya. Anastetik inhalasi terdistribusi di antara jaringan sedemikian sehingga kesetimbangan tercapai ketika tekanan parsial gas anastetik sama pada kedua jaringan. Kesetimbangan akan tercapai jika tekanan parsial dalam gas yang terhirup sama dengan tekanan parsial pada gas tidal akhir (alveolar) . Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan parsial anastetik gas dalam arteri otak adalah: a. Tekanan Parsial Anastetik Gas yang Diinspirasi Tekanan ini dapat diatur melalui vaporizer atau alat lain agar sama dengan tekanan parsialnya dengan arteri. Untuk mempercepat induksi, kadar anastetik gas yang diinspirasi harus lebih tinggi daripada tekanan parsial yang diharapkan dalam jaringan. Setelah tekanan parsial yang diinginkan tercapai, tekanan parsial dalam udara inspirasi diturunkan untuk mempertahankan anastesia. b. Ventilasi Paru Hiperventiasi mempercepat masuknya anastetik gas ke sirkulasi dan jaringan. Ini terlihat nyata pada anastetik yang lebih larut dalam darah seperti halotan dan dietileter. Sedangkan pada gas yang tidak larut dalam darah seperti siklopropan, N2O dan etilen, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar di darah arteri cepat mendekati kadar di alveoli. c. Pemindahan Anastetik Gas dari Alveoli ke Aliran Darah Membran alveoli dengan mudah dapat dilewati anastetik gas secara difusi dari alveoli ke aliran darah, dan sebaliknya. Walaupun demikian, bila ventilasi alveoli terganggu, misalnya pada emfisema paru, pemindahan anastetik gas akan terganggu pula. Faktor yang mempengaruhi difusi anastetik gas adalah: o o o o Kelarutan anastetik gas dalam darah Kecepatan aliran darah melalui paru Tekanan parsial anastetik gas dalam arteri dan vena Kelarutan

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi transfer anastetik dari paru ke darah arteri adalah kelarutannya. Koefisien pembagian darah: gas merupakan indeks kelarutan yang

bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas relatif suatu obat anastetik terhadap darah dibandingkan dengan udara. Koefisien ini mungkin lebih rendah dari 0,5 untuk obat anastesi seperti nitrogen oksida atau siklopropan, yang tidak larut di alam darah. Di lain pihak, nilai tersebut mungkin lebih dari 10 untuk obat-obat seperti metoksifluran yang sangat larut di dalam darah . Jika suatu anestetik dengan kelarutan dalam darah yang rendah berdifusi dari paru ke dalam darah arteri, maka relatif diperlukan sedikit molekul untuk meningkatkan tekanan parsialnya, dan tegangan arteri cepat meningkat. Sebaliknya, untuk anastetik dengan kelarutan sedang sampai tinggi, lebih banyak molekul yang larut sebelum tekanan parsial tegangan arteri suatu gas ini akan meningkat secara perlahan-lahan . d. Konsentrasi Anastetik di Dalam Udara Inspirasi Konsentrasi anastetik inhalasi di dalam campuran gas inspirasi mempunyai efek langsung terhadap tegangan maksimum yang dapat tercapai di dalam alveolus maupun kecepatan peningkatan tegangan ini di dalam darah arterinya. Peningkatan konsentrasi anastetik inspirasi akan meningkatkan kecepatan induksi anastesi karena peningkatan kecepatan transfernya ke dalam otak sesuai dengan hukum Fick. Keuntungan dari efek ini diambil dalam praktek anastesi dengan obat anastesi inhalasi yang kelarutan dalam darahnya sedang seperti enfluran, isofluran, dan halotan, yang mula kerjanya relatif lambat.

e. Aliran Darah Paru Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan mempengaruhi transfer obat anastetik. Peningkatan aliran darah paru akan memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh obat anastetik dengan kelarutan darah yang sedang sampai tinggi. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah paru yang menghasilkan volume darah yang lebih besar obat anastetik. Penurunan aliran darah paru mempunyai efek yang sebaliknya dan meningkatkan tegangan arteri obat anastetik inhalasi. Pada seseorang penderita dengan syok sirkulasi, kombinasi efek penurunan efek penurunan curah jantung dan peningkatan ventilasi dapat mempercepat induksi anastesi sejumlah obat anastetik. Efek ini tidak mungkin timbul dengan nitrogen oksida karena kelarutannya yang rendah . f. Gradien Konsentrasi Arteri Vena Gradien konsentrasi obat anastetik antara darah arteri dan vena campuran terutama bergantung pada ambilan obat anastesi pada jaringan itu; yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan. Darah vena yang kembali ke paru dapat mengandung obat anastesi kurang bermakna dibandingkan yang ada dalam arteri. Semakin besar perbedaan tegangan ini semakin lama pula mencapai keseimbangannya. Anastetik yang masuk jaringan akan dipengaruhi oleh faktor yang serupa dengan faktor yang menentukan transfer dari paru ke dalam darah termasuk koefisien pembagian jaringan; darah, kecepatan aliran darah ke jaringan, dan gradien konsentrasi

Selama pemeliharaan anastesi dengan obat anastetik inhalasi, mungkin transfer obat anastetik akan berlangsung terus antar berbagai jaringan dengan kecepatan yang bergantung pada kelarutan dan aliran darah. Otot dan kulit, yang bersama-sama membentuk 50% massa tubuh, akan menimbun obat anastetik lebih lambat dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasi, karena jaringan yang lebih lambat akan menerima seperlima aliran darah dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasinya. Walaupun kebanyakan anastetik gas mempunyai kelarutan yang tinggi dalam jaringan lemak, namun rendahnya kecepatan perfusi darah dalam jaringan tersebut akan memperlambat akumulasi dimana keseimbangan tidak mungkin terjadi dengan anastetik seperti halotan dan enfluran selama berlangsungnya operasi.

Anastesi yang digunakan praktikum 1. Eter (dietil eter) Pada anestesi ringan, seperti halnya anestetik lain, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah muka, pada anastesi yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat dingin dan basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara reversible Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil diekskresikan juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. Eter dapat digunakan dengan berbagai metode anastesi. Pada pengguanaan secara open drop uap eter akan turun ke bawah karena 6-10 kali lebih berat daripada udara. Penggunaan secara semi closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan mati karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah . Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan. Untuk induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau camppuran oksigen dan N2O. untuk dosis penunjang stadium III membutuhkan 5-15% volume uap eter. Sifat Fisik Eter Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap (volatile) yang berbau khas. Berat molekulnya 74 dengan titik didih 35oC. Tekanan uap jenuh pada 20oC adalah 245 mmHg, berat jenis uap eter 2,6, koefisien partisi darah atau gas 12,0, MAC 1,92, tidak bereaksi dengan pengikat CO2 (soda lime), sampai mudah terbakar atau meledak, dapat terurai oleh udara, cahaya dan panas menjadi peroksida eter dan asetaldehid karena itu harus disimpan pada tempat gelap dan dingin. Farmakologi Eter a. Sistem sirkulasi

Denyut nadi akan meningkat karena pelepasan katekolamin yang merangsang simpatis dan depresi vagal. Pada stadium lebih dalam denyut nadi akan kembali normal. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin relatif aman pada anastesi dengan eter. Tekanan darah dapat menurun pada anestesi yang mencapai di bawah plana 2 stadium 3 dan terus progresif karena depresi otot rangka, otot pembuluh darah, otot jantung dan pusat vasomotor. b. Sistem pernafasan Pada permulaan frekuensi pernafasan bertambah, dan melambat pada stadium anestesi dalam. Sekresi kelenjar ludah meningkat (hipersekresi). Uap eter ini sangat iritatif menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas. Karena itu induksi anestesianya harus bertahap dimulai dari konsentrasi rendah. Induksi sering tidak lancer, demikian pula masa pemulihan cukup lama. c. Susunan saraf pusat Stadium analgesia akan diikuti oleh eksitasi dan anastesi disebabkan depresi pada korteks dan medulla. Tekanan intracranial akan meningkat karena dilatasi pembuluh darah otak. Eter kadang menyebabkan kejang (klonus eter), yaitu stretch reflex yang berlebihan dan sering terlihat pada stadium dangkal. d. Susunan saraf otonom Rangsang sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma yang berakibat peningkatan denyut jantung, produksi glikogen dan gula darah. Karena itu harus hati-hati pada pasien dengan diabetes, kontraksi limpa, dilatasi usus dan menghambat peristaltic, dilatasi bronkus, dilatasi arteri koroner, dilatasi pupil, peningkatan frekuensi nafas. Sebaliknya rangsang semtral parasimpatis eter menyebabkan depresi. e. Sistem otot Relaksasi otot sangat baik. Jelas bahwa eter mempunyai efek-efek yang mempunyai triad anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi otot, sehingga anastesi dengan eter tidak memerlukan gabungan dengan obat lain . Keuntungan menggunakan eter adalah murah dan mudah didapat di Indonesia. Eter juga tidak perlu digabung dengan obat-obat lain karena telah memenuhi triad anestesi. Eter adalah zat anastesi yang cukup aman dengan batas keamanan yang lebar (margin of safety) sehingga petugas yang kurang pengalaman pun dapat menggunakan eter. Kekurangan menggunakan eter adalah mudah meledak dan terbakar, serta memiliki bau tidak enak dan mengiritasi jalan nafas, sehingga induksi tidak lancar dan masa pemulihan lama.Eter juga menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah, mual ,muntah,hiperglikemia Eter mengiritasi membran mukosa traktus respiratorius, menstimulasi aliran mukus yang berlebihan, dan dapat menyebabkan batuk dan spasme laring. Penggunaan premedikasi seperti atropin dan scopalamin diperlukan untuk mengurangi aliran sekret. Pada fase awal anestesi, ater menyebabkan

stimulasi respirasi yang bermakna. Walaupun volume tidal menurun, namun peningkatan laju pernafasan dapat mennyebabkan ventilasi permenit yang lebih tinggi dan PaCO2 yang normal atau menurun sedikit. Respirasi dipertahankan sampai konsentrasi eter dalam darah tinggi. Eter, seperti halotan, berguna pada pasien asma karena memiliki efek bronkodilasi. Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit bronkospastik, dan penyakit jantung koroner . Kontra indikasi nya Eter tidak boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut, peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil

2.

Kloroform Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3). Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Senyawa kloroform adalah senyawa haloalkana yang mengikat tiga atom halogen klor (Cl) pada rantai C-nya. Senyawa kloroform dapat dibuat dengan bahan dasar berupa senyawa organik yang memiliki gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C karbonil atau atom C hidroksi yang direaksikan dengan pereaksi halogen (Cl2). Struktur dari kloroform yaitu CHCL3.

Struktur Kimia Kloroform Tabel Karakteristik Kloroform

Property Boiling point (oC) at 101,3 kPa Vapour pressure (kPa) at 20oC Water solubility (g/litre) at 25oC Density (g/cm3) at 25oC 20oC Log Kow Log Koc

Value 61,3 21,3 7,2-9,3 1,48

Henry law constant (Pa-m3/mol) at 304

1,97 1,44-2,79

Pada suhu dan tekanan normal, kloroform sangat mudah menguap, tidak berwarna, dan tidak mudah terbakar. Kloroform merupakan anestesi yang efektif dibandingkan dengan nitrit oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi. Hal ini disebabkan karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar sehingga stadium dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini dihentikan karena menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan gagal jantung. Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation, atau dermal exposure. Metabolisme kloroform di dalam tubuh tergantung pada dosis paparannya. Pada manusia dosis tunggal kloroform secara oral adalah 0,5 mg dan 50-52% dapat diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Kloroform dosis tunggal secara inhalasi adalah 5 mg dan terserap dalam tubuh hingga 80% . Kloroform yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di dalam tubuh dan akan di metabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu larut dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan transpor normal oksigen terganggu dan lama kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari kloroform yaitu phosgene, carbene and klorin yang mempunyai aktivitas sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum belum diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, kloroform bekerja untuk menghambat kerja dari kanal ion TRPC5 yang berfungsi untuk transmisi nyeri dan mengatur denyut jantung dan sebagian besar kanal tersebut berada di otak.

Metabolisme Chloroform dalam tubuh

ALAT DAN BAHAN Alat : o o o Bahan : o o o Tikus 2 ekor Kloroform 5 ml Eter 5 ml Toples Kapas Koran sebagai alas.

PROSEDUR DAN PENGAMATAN 1. Setiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 2 ekor tikus. 2. Pada masing-masing tikusa mati dan catat hal-hal berikut sebelum pemberian anastesi umum : a. Kelakuan umum tikus (tahannafas, gelisah atau tidak gelisah, bersuara ,salivasi, dan gejala-gejala lain) b. Laju dan ritme jantung (gunakan stetoscop atau stopwatch). c. Laju dan sifat pernapasan (gunakan stopwatch) d. Ukuran pupil mata. e. Suhu rektal f. Tonus otot kerangka g. Reflek-reflek (konjungtiva,kornea,pupilmata,nyeri). 3. Masukkan tikus kedalam toples yang di dalamnyadiberikapas yang sudahditetesidenganeterataukloroform. 4. 5. 6. Catatsetiapperubahan yang terjadipadamasing-masingtikus. Setelahdicapaitingkatanastesiuntukpembedahan,pemberiananastesidihentikan. Perhatikandancatattahap-tahappemuliahnkesadarantikus.

7. Buatlah table pengamatanselengkapmungkinsehinggamahasiswadapatmembahasdanmenarikkesimpulandariprakt ikuminidanterlihatkorelasiantaragejala yang munculdengantahapdantingkatanastesi yang dicapai.

Hasil Percobaan Tabel Hasil percobaan Anastesi Umum Efek Waktu Pengamatan Tikus lemas Buang Air Kecil Buang Air Besar Eter Detak Jantung = 140x permenit Buang Air Kecil Normal Tikus bergerak lincah seperti semula Nafas cepat dan kencang Tikus Lemas Detak Jantung = 47x permenit Kloroform Detak Jantung = 81x permenit Salivasi Buang Air Kecil Buang Air Besar Tidur Normal Tikur bergerak 43 menit 15menit 24 detik 42 detik 2 menit 50 detik 8 menit 8 menit 30 detik 19 menit 52 detik 22 menit 50 detik 33 menit 58 detik 1 menit 50 detik 3 menit 4 menit 10 menit 30 detik

Kesimpulan : Yang cepat menimbulkan eksitasi Yang cepat menimbulkan anastesi : eter : eter

Prosedur Kerja

Toples I

Toples II

Eter

Kloroform

Pada dasar letakkan kapas yang diberi anastetik

Masukkan seekor tikus ke dalam toples

PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan untuk mempraktekkan serta mengetahui penggunaan obat-obat ANASTETIK YANG DIBERIKAN SECARA INHALASI KEPADA hewan uji. Obat-obat sistem saraf otoanastetik yang digunakan pada percobaan adalah eter dan kloroform. Perlakuan untuk pengujian obat system saraf otonom dilakukan dengan pertama-tama . . .. . . ..

Pada pengujian obat system saraf pusat digunakan anestesi umum yaitu obat-obat yang dapat menimbulkan suatu keadaan depresi pada pusat-pusat saraf tertentu yang bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan. Tujuan dari anastesi adalah untuk mencapai tahap anestesia dengan sedikit mungkin kerja ikutan atau efek sampingnya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi suatu anestesi adalah berbau enak dan tidak merangsang selaput lendir, mula kerja cepat tanpa efek samping, cepat sadar tanpa efek samping. Eter dan kloroform merupakan anestesi inhalasi dimana diberikan sebagai uap melalui saluran pernafasan. Dimana digunakan sistem terbuka yakni penetesan langsung keatas kain kasa yang menutup mulut atau uap yang dihasilkan dari larutan tersebut terhirup oleh hidung. Efek samping dari penggunaan eter yaitu mengurangi kontraksi jantung. Kloroform memilki efek yaitu dapat merusak hati.

Kesimpulan 1. Hasil praktikum menunjukkan bahwa obat anestesi umum yang paling cepat menimbulkan reaksi eksitasi, anastesi melalui jalur inhalasi adalah eter. 2. Anestesi umum memiliki empat stadium, yaitu stadium analgesia, delirium (eksitasi), pembedahan, dan paralisis medula oblongata.

XIII.

Daftar Pustaka

Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.

Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Anestesi Umum. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.

Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta:EGC

Katzung, Bertram. 1997. Dalam: Farmakologi Dasar dan Terapi. Edisi VI. Jakarta: EGC.

Wiria, Metta SS. 2007 .Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru.

You might also like