You are on page 1of 8

Proses Penuaan (Aging) pada Paduan Aluminium AA 333 Hasil Proses Sand Casting

Anne Zulfia1, Ratna Juwita1, Ari Uliana1, I Nyoman Jujur2 dan Jarot Raharjo2 1Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta 2Pusat Pengembangan Penelitian Teknologi Material (P3TM) BPPT, Jakarta E-mail: anne@metal.ui.ac.id

ABSTRAK
Penggunaan paduan aluminium AA 333 sebagai komponen otomotif semakin berkembang bersamaan dengan semakin berkembangnya keinginan untuk mengurangi berat dari komponen yang digunakan. Namun paduan aluminium AA 333 as-cast masih memiliki sifat mekanis yang rendah sehingga diperlukan proses lain untuk meningkatkan kekerasannya, salah satunya melalui proses perlakuan panas. Proses perlakuan panas yang dipilih dalam penelitian ini adalah proses perlakuan panas T6 (artificial aging), yang meliputi tahapan: solution treatment pada temperatur 525oC selama 8 jam, quenching dan proses aging. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variasi waktu aging (temperatur 180oC), yaitu 25 menit, 1 jam, 5 jam, 8 jam dan 16 jam dan variasi temperatur aging (waktu aging 5 jam), yaitu 110oC, 150oC, 180oC, 200oC, 250oC. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh dari variasi tersebut terhadap perubahan struktur mikro dan nilai kekerasan paduan aluminium AA 333. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aging temperatur 180oC menyebabkan peningkatan kekerasan dari tiap fase: matrik -Al, silikon primer, eutektik Al-Al2Cu dan Al15(Fe,Mn)3Si2 dan menyebabkan peningkatan kekerasan paduan aluminium AA 333, dari kondisi as-cast, asquench, dan waktu aging 25 menit, 1 jam, 5 jam, 8 jam dan 16 jam. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa proses aging selama 5 jam juga menyebabkan peningkatan kekerasan dari tiap fase. Waktu aging (pada temperatur 180oC) selama 8 jam dan temperatur aging (selama 5 jam) pada 180oC merupakan waktu yang paling optimum untuk memperoleh kombinasi yang terbaik dari distribusi fase, yang tersebar merata dalam matrik kaya Al, dan ukuran dari masing-masing fase sehingga menghasilkan nilai kekerasan yang tertinggi. Kata kunci: Aluminium AA333, penuaan buatan (T6), kekerasan, struktur mikro.

ABSTRACT
The use of aluminum alloys AA 333 as automotive component is progressively expand with the expanding desire to lose weight from the used component. However, the as-cast product from aluminum alloys AA 333 is still having low mechanical properties, so it needs the other process to increase the hardness value; one of the processes is through heat treatment process. The heat treatment process for this materials is T6 process (artificial aging), including: solution treatment at temperature 525 oC for 8 hour, quenching and various time of aging process. Aging was conducted at 180 oC for 25 minutes, 1 hours, 5 hours, 8 hours and 16 hours respectively. For aging 5 hours, the aging temperature was applied various from 110 oC, 150 oC, 180 oC, 200 oC to 250 oC, so the expected result from this research is to know the influence of the variation to morphological change of microstructure and hardness value of aluminum alloys AA 333. The results had indicated that the aging process at 180 oC caused the increased of the hardness value of each phases: -Al matrix, primary silicon, eutectic Al-Al2Cu and Al15 (Fe, Mn)3Si2 and also caused the increased of the hardness value of aluminum alloys AA 333, from the condition of as-cast, as-quench, aging process for 25 minutes, 1 hours, 5 hours, 8 hours and 16 hours. And others results had indicated that the aging process for 5 hours also caused increasing of hardness value of each phases. The aging process (at 180 oC) for 8 hours and 5 hours) represented the most optimum time to obtained the best combination from phase distribution, that spread over in the rich matrix of aluminum and the size measured from each phase, therefore giving the highest hardness value. Keywords: Aluminium AA333, articial aging (T6), hardness, microstructure.

13

JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 12, No. 1, April 2010: 1320

PENDAHULUAN
Aluminium dan paduannya merupakan jenis material yang cukup penting dikarenakan nilai teknologinya yang tinggi dan aplikasinya yang luas. Dalam industri otomotif, permasalahan seputar pemakaian bahan bakar dan pengurangan berat dari komponen yang digunakan, telah membuat penggunaan paduan aluminium dalam industri ini semakin berkembang. Dengan mengurangi berat dari komponen yang digunakan maka konsumsi energi dalam hal pengunaan bahan bakar dan emisi gas buangannya juga dapat dikurangi [1]. Paduan aluminium memiliki densitas yang rendah yaitu 2,7 g/cm3. Dengan densitas yang rendah, penggunaan aluminium sebagai komponen otomotif dapat mereduksi berat keseluruhan kendaraan lebih dari 300 kg untuk kendaraan berukuran medium (1400 kg). Dimana setiap pengurangan berat sebesar 100 kg, akan mengurangi konsumsi bahan bakar yang diperlukan sebesar 0.3-0.6 liter per 100 km sehingga dapat menurunkan emisi gas buangan sebanyak 20% [1]. Dari berbagai jenis paduan aluminium, paduan aluminium Al-Si-Cu merupakan paduan yang paling umum digunakan dalam industri otomotif. Dalam beberapa tahun belakangan ini, penggunaan paduan aluminium tersebut meningkat, terutama di industri otomotif yang menggunakan secondary aluminum hasil recycling dalam bentuk berbagai komponen seperti piston, cylinder head, wheel, load floor suspension [2], crank case dan manifold [3]. Namun paduan Al-Si-Cu hasil pengecoran masih memiliki sifat mekanis yang rendah [4] sehingga diperlukan proses lain untuk meningkatkan kekuatannya. Salah satu caranya yaitu melalui proses perlakuan panas. Proses perlakuan panas tersebut bertujuan untuk mengubah struktur mikro paduan sehingga sifat mekaniknya dapat berubah. Dalam penelitian ini proses perlakuan panas yang dipilih adalah proses perlakuan panas T6 yang meliputi proses solution heat treating, quenching dan proses artificial aging. Proses artificial aging umumnya dilakukan pada temperatur rendah dan dalam waktu yang cukup lama, bervariasi antara 5-48 jam [5]. Pemilihan dalam jangka waktu berapa proses tersebut seharusnya dilakukan haruslah diperhitungkan secara cermat. Hal itu disebabkan karena waktu dilakukannya proses aging dapat menyebabkan perbedaan pada jenis, fraksi volume, ukuran dan distribusi partikel endapan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi struktur akhir dan menghasilkan sifat mekanik yang berbeda [5]. Zhang dkk[6] mendemonstrasikan bahwa Al-Si-Mg dengan solution treatment pada suhu 540oC selama 10 menit dan setelah beberapa jam maka dicapai kekuatan tarik puncak 90%. Kenaikan waktu tahan solution treatment sampai 30 menit maka cukup waktu untuk mikrostruktur berubah mencapai nilai elongasi 90%. Paduan yang sama Shykumar dkk [7]

mengatakan bahwa kenaikan temperatur solution treatment akan mengurangi waktu tahan menurutnya untuk mencapai puncak kekuatann tarik maka dengan solution treatment pada suhu 550oC hanya perlu waktu tahan 50 menit. Solution heat treatment terdiri dari tiga langkah: solution, quenching, dan aging. Perubahan mikrostruktur terjadi karena tahapan solution treatment meliputi proses quenching dan aging. Penguatan endapan dari paduan Al-SiMg adalah adanya fase Mg2Si yang terjadi pada saat peleburan Al kemudian dengan kecepatan pendinginan yang lama pada saat solidifikasi terbentuklah endapan Mg2Si. Bila dilakukan proses saat solution treatment maka tumbuh endapan inkoheren didalam matrik Al menjadi endapan yang lebih halus sehingga kekuatan meningkat. Endapan Mg2Si yang halus terdispersi di dalam matrik Al pada saat solution treatment. Solution treatment pada temperature 540oC, Mg2Si larut kembali kedalam matrik Al dan juga fase Si berubah dari bentuk berupa pelat ke bentuk bulat yang meningkatkan keuletan dari paduan. Pada proses aging, unsur-unsur paduan dalam solid solution secara bertahap keluar dan membentuk presipitat yang dapat meningkatkan kekuatan paduan. Mekanisme penguatan terjadi melalui precipitate shearing dan dislocation bypass (orowan looping). Dalam precipitate shearing, dislokasi bergerak melewati presipitat dengan memotong presipitat tersebut. Mekanisme ini umumnya terjadi pada partikel yang mudah terdeformasi yaitu pada presipitat yang berukuran kecil. Sedangkan pada dislocation bypass, dislokasi dapat melewati partikel dengan cara melengkung pada ruang di antara presipitat dan meninggalkan dislocation loop disekitar presipitat tersebut. Mekanisme ini umumnya terjadi pada presipitat yang sulit dideformasi dan berukuran besar sedangkan mekanisme penguatan yang dihasilkan oleh presipitat tergantung pada dua faktor yaitu ukuran partikel dan jarak antar partikel [8]. Partikelpartikel kecil yang terdispersi merata pada awal proses pengerasan presipitat, tidak memberikan efek penguatan yang efektif bagi paduan karena partikel tersebut bukan merupakan penghalang yang kuat bagi pergerakan dislokasi. Partikelpartikel besar yang terdispersi secara acak pada waktu pengerasan presipitat yang lama juga tidak memberikan efek penguatan yang efektif. Hal ini disebabkan karena pada partikel besar, jarak antar partikelnya juga besar, sehingga dislokasi dapat dengan mudah bergerak melalui mekanisme orowan looping [8]. Umumnya kekuatan paduan akan meningkat dengan peningkatan ukuran partikel selama dislokasi dapat memotong partikel. Jika dislokasi dapat melewati partikel melalui orowan looping, peningkatan ukuran partikel akan menurunkan kekuatan paduan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.

14

Zulfia, Proses Penuaan (Aging) pada Paduan Aluminium AA 333 Hasil Proses Sand Casting

Gambar 1. Pengaruh Ukuran Partikel pada Peningkatan Kekuatan Paduan [9] Tabel 1. Komposisi Kimia Paduan Aluminum AA 333 dalam % Berat
Si Cu Mg Fe Mn Zn Ti Pb Ni Cr Sn 8,00 2,35 - 0,79 0,26 0,71 0,03 0,05 0,13 0,02 0,02

prinsip yang sama yaitu pemberian beban kepada permukaan sampel dengan menggunakan indentor sehingga dihasilkan jejak. Jejak yang terbentuk kemudian diukur. Sedangkan untuk mengamati karakteristik fase-fase yang terbentuk, dilakukanlah proses pengamatan mikrostruktur dengan menggunakan mikroskop optik Olympus yang dilengkapi kamera digital dan dengan SEM (Scanning Electron Microscope) LEO 420 yang dilengkapi dengan EDS (Energy-Dispersive Spectroscopy). EDS sendiri digunakan untuk pengamatan komposisi dari fase-fase yang terdapat pada paduan aluminium AA 333, sehingga data yang dihasilkan dapat digunakan untuk mendukung data pengamatan mikrostruktur yang dilakukan dengan mikroskop optik dan SEM.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Paduan Aluminium pada Kondisi as-cast Struktur mikro dari paduan aluminium AA 333 as-cast, ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini, menunjukkan struktur mikro dari paduan aluminium AA 333 as-cast, yang terdiri dari matrik yang merupakan fase yang dominan dan struktur interdenditik yang merupakan ciri khas paduan aluminium hasil pengecoran. Fase-fase yang terbentuk yang dimati dengan SEM yang dikaitkan dengan EDS hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 2. Hasil analisa EDS untuk paduan aluminium AA 333 as-cast mengindikasikan terbentuknya fase-fase: matriks kaya akan Al, eutektik Al-Al2Cu, Alx(Fe,Mn)ySiz dan kristal silikon.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Proses Perlakuan Panas Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah paduan aluminium AA 333 hasil proses sand casting. Adapun komposisi paduan aluminum AA 333 yang digunakan adalah seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sebelum proses pengamatan metalografi dan pengujian kekerasan dilakukan, benda uji terlebih dahulu mengalami proses perlakuan panas T6 yang meliputi tahapan: solution treatment pada temperatur 525oC selama 8 jam, quenching dan proses aging yang dilakukan dua bagian, bagian pertama pada temperatur 180oC dengan variabel waktu aging yaitu 25 menit, 1 jam, 5 jam, 8 jam dan 16 jam dan bagian kedua selama 5 jam dengan variabel temperatur yaitu 110oC, 150oC, 180oC, 200oC, 250oC. Proses solution treatment dilakukan di dapur pemanas tipe Carbolyte pada temperatur 525oC selama 8 jam. Kemudian sampel di-quench di media air dan selanjutnya dilakukan proses aging di dapur pemanas tipe Nabetherm pada temperatur 180oC selama 25 menit, 1 jam, 5 jam, 8 jam dan 16 jam. Sampel yang digunakan untuk pengamatan metalografi dan pengujian kekerasan terlebih dulu di-mounting dengan menggunakan resin yang dikeraskan dengan hardener. Selanjutnya dilakukan proses pengamplasan dan pemolesan dan diakhiri dengan proses etsa dengan menggunakan zat etsa berupa larutan HF 0.5%. Karakterisasi Karakterisasi benda uji yang dilakukan meliputi pengujian kekerasan dengan menggunakan dua metode pengujian yaitu pengujian kekerasan Brinell dan pengujian Microhardness. Keduannya memiliki

(a) Foto Mikro, Pembesaran 100x

(b) Foto Hasil Pengujian SEM, Pembesaran 200x

Gambar 2. Foto Struktur Mikro dan SEM Paduan Aluminium AA 333 as-cast Tabel 2. Hasil Analisa Komposisi Paduan Aluminium AA 333 As-cast Menggunakan EDS
Al 96,28 67,92 52,85 Komposisi (% berat) Si Fe Cu Mn 2,16 6,22 11,03 Cr 1,55 Morfologi Indikasi Fasa yang Terbentuk -Al

14,84 Chinesse script Al-Al2Cu Eutektik 5,00 Chinesse script Alx(FeMn)ySiz Needle Kristal silikon

9,86 27,47 0,92 3,90

5,93 94,07

15

JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 12, No. 1, April 2010: 1320

Tabel 3 dan 4 memperlihatkan nilai kekerasan pada paduan aluminium AA 333 as-cast hasil pengujian dengan metode Vickers dan Brinell. Perbedaan nilai kekerasan antara paduan aluminium AA 333 hasil pengujian dengan standar pada Tabel 3 disebabkan karena perbedaan laju pendinginan dan porositas yang dikandung oleh paduan aluminium AA 333 as cast. Persentase porositas pada paduan yang menggunakan cetakan pasir cenderung lebih tinggi daripada permanent mold. Tingkat porositas yang lebih tinggi dan ukuran porositas yang lebih besar ini terbentuk akibat koagulasi dari porositas mikro dan tingginya tingkat penyerapan hidrogen dan air oleh leburan saat didalam cetakan pasir [10]. Oleh karena itu nilai kekerasan paduan aluminium AA 333 yang menggunakan cetakan pasir lebih rendah dari paduan aluminium AA standar yang menggunakan permanent mould. Karakteristik Paduan Aluminium pada Kondisi Setelah Proses Aging Pengaruh Waktu Aging Struktur mikro paduan aluminium AA 333 selama proses perlakuan panas T6 (artificial aging) pada temperatur 180oC ditunjukkan pada Gambar 3 hingga Gambar 8 yang menunjukkan perubahan ukuran dan bentuk dari fase-fase yang terdapat pada paduan aluminium AA 333 setelah perlakuan panas T6.
Tabel 3. Nilai Kekerasan Tiap-tiap Fase Paduan Aluminium AA 333 As-cast Fase Kekerasan (VHN)* -Al 39 Silikon primer 46 159 Al7(Fe,Mn)2Si Al2Cu 88 * Merupakan nilai kekerasan mikro Vickers yang didapat dengan pembebanan sebesar 25 kgf (245,15 N) Tabel 4. Nilai Kekerasan Brinell Paduan Aluminium AA 333 As-cast Dibandingkan dengan Standar Paduan Aluminium AA 333 As-cast Material Kekerasan Brinell (BHN) Vickers (VHN) (c)

a. As-quench

b. Aging Selama 25 Menit

c. Aging Selama 1 Jam

d. Aging Selama 5 Jam

e. Aging Selama 8 Jam

f. Aging Selama 16 Jam

Gambar 3. Mikrostruktur dari Paduan Aluminium A333 pada Perbesaran 100X

Paduan AA 333 75 53 (a) As-cast Paduan AA 333 90 (b) 102 As-cast standar[9] Catatan: (a) Merupakan nilai kekerasan Brinell yang didapat dengan menggunakan bola baja berdiameter 2,5 mm dan pembebanan sebesar 31,25 kgf (306,5 N) selama 30 detik (b) Merupakan nilai kekerasan Brinell yang didapat dengan menggunakan bola baja berdiameter 10 mm dan pembebanan sebesar 500 kgf (4903 N) (c) Merupakan hasil konversi dari nilai kekerasan Brinell

Gambar 3 menunjukkan perubahan morfologi dendritik seiring dengan peningkatan waktu aging yaitu terjadinya perubahan morfologi dalam bentuk pengkasaran fase, yang merupakan fenomena yang umum terjadi pada tahap akhir dari evolusi struktur mikro[11]. Dengan meningkatnya waktu aging pada temperatur tertentu, dalam hal ini 180oC, akan menyebabkan fase yang berukuran lebih kecil, akan larut dan berdifusi kedalam matrik -Al[12]. Partikel dari fase kedua yang lebih besar, cenderung untuk terus tumbuh saat proses pengkasaran fase dengan cara atom-atom terlarut pada matrik disekelilingnya (lihat Tabel 5 dan 6). Semakin lama, suatu difusi yang disebut competitive diffusion terjadi dan menghasilkan peningkatan ukuran ratarata dari partikel fase kedua tersebut, namun diiringi dengan penurunan jumlah partikel[11].
Tabel 5. Hasil Analisa Komposisi Paduan Aluminium AA 333 As-quench Dengan Menggunakan EDS
Al 97,67 Komposisi (% berat) Si Fe Cu Mn 2,33 Cr Morfologi Indikasi Fasa yang Terbentuk -Al Al-Al2Cu Eutektik Alx(FeMn)ySiz Si primer Si primer

84,42 8,05 7,53 - Chinesse script 51,79 8,94 17,12 0,92 21,07 1,10 Blocky 1,90 98,10 - Needle 0,25 99,75 - blocky

16

Zulfia, Proses Penuaan (Aging) pada Paduan Aluminium AA 333 Hasil Proses Sand Casting

Tabel 6. Hasil Analisa Komposisi Paduan Aluminium AA 333 Setelah Proses Aging Selama 8 Jam Menggunakan EDS
Komposisi (% berat) Morfologi Al Si Fe Cu Mn Cr 97,67 2,33 84,42 8,05 7,53 - Chinesse script 51,79 8,94 17,12 0,92 21,07 1,10 Blocky 1,90 98,10 - Needle 0,25 99,75 - blocky Indikasi Fasa yang Terbentuk Al-Al2Cu Eutektik Alx(FeMn)ySiz Si primer Si primer

Gambar 5. Pengerasan Presipitat Paduan Aluminium AA 333 pada Temperatur 180oC

Gambar 4. Kekerasan Tiap Fase Setelah Pengerasan Presipitat Pada Temperatur 180oC

Melalui perbandingan struktur mikro paduan aluminium AA 333 setelah proses perlakuan panas seperti pada Gambar 3 diketahui bahwa proses aging pada temperatur 180oC telah merubah struktur mikro dari paduan aluminium AA 333 as-cast. Partikel silikon primer yang berbentuk jarum menunjukan perubahan bentuk spheroidizing, dimulai dari kondisi aging 1 jam, 5 jam dan yang paling optimum terjadi pada kondisi aging 8 jam. Perubahan morfologi inilah yang menyebabkan kekerasan Brinell dan kekerasan partikel silikon meningkat seiring dengan semakin lama waktu aging sampai pada titik optimal yaitu pada kondisi aging 8 jam. Pengujian mengenai proses modifikasi dari bentuk partikel silikon melalui perlakuan panas yang dapat meningkatkan sifat mekanis yang meliputi nilai kekerasannya, sehingga memperbaiki kualitas operasional dari paduan tersebut [13]. Selain disebabkan oleh partikel silikon primer, peningkatan nilai kekerasan Brinell juga disebabkan oleh fase-fase lainnya, diantaranya adalah fase Al2Cu. Dimulai dari kondisi aging 1 jam sampai pada kondisi aging 8 jam, terjadi peningkatan kekerasan. Hal ini juga disebabkan karena terjadinya perubahan bentuk dari fase Al2Cu dari struktur chinese script berukuran kecil menjadi ukuran besar dan saling terkait antara satu fase dengan fase lainnya. Perubahan ini dapat meningkatkan sifat mekanis seperti nilai kekerasannya [12]. Oleh karena itu, pada kondisi aging 1 jam, 5 jam dan 8 jam, nilai kekerasan Brinell dan kekerasan fasenya meningkat. Namun pada kondisi aging 25 menit, nilai kekerasan fase eutektik Al-Al2Cu justru meningkat.

Hal berlawanan dengan apa yang dijelaskan di atas, bahwa peningkatan nilai kekerasan disebabkan karena peningkatan ukuran dari fase eutektik AlAl2Cu tersebut. Peningkatan kekerasan pada waktu aging 25 menit ini kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan fase eutektik Al-Al2Cu. Melalui pengamatan dengan menggunakan EDS, diketahui bahwa fase eutektik Al-Al2Cu pada kondisi 25 menit mengandung unsur Fe, Si, Ni dan Cu. Unsur pengkotor inilah yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kekerasan dari fase eutektik Al-Al2Cu dan juga peningkatan kekerasan Brinell pada kondisi aging 25 menit (Gambar 4). Fase Al15(Fe,Mn)3Si2 juga turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan nilai kekerasan paduan aluminium AA 333. Pada Gambar 3 hingga 8, diketahui perbandingan struktur mikro setelah proses perlakuan panas. Pada kondisi aging 25 menit, fase Al15 (Fe,Mn)3Si2 berbentuk polihedral dengan ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Hal ini menyebabkan nilai kekerasan fase ini menurun pada kondisi aging 25 menit. Dengan semakin lama proses aging, yaitu dari kondisi aging 1 jam, 5 jam dan 8 jam, ukuran fase Al7(Fe,Mn)2Si semakin membesar dan bentuknya pun berubah menjadi lebih bulat tanpa adanya sudut yang tajam. Peningkatan nilai kekerasan dari fase Al15(Fe,Mn)3Si2 selama proses perlakuan panas memberikan kontribusi terhadap peningkatan kekerasan fase Al15(Fe,Mn)3Si2, sampai pada kondisi optimum yaitu proses aging selama 8 jam (Gambar 3). Dengan peningkatan kekerasan dari hampir semua fase penyusun paduan aluminium AA 333 maka hal tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan kekerasan Brinell, seperti ditunjukkan pada kurva pengerasan presipitat pada Gambar 5. Peningkatan kekerasan disebabkan karena terjadinya mekanisme penguatan akibat terhambatnya pergerakan dislokasi oleh partikel fase. Mekanisme pengerasan yang dihasilkan oleh proses pengkasaran fase kedua tergantung pada dua faktor yaitu ukuran partikel dan jarak antar partikel [13].

17

JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 12, No. 1, April 2010: 1320

Partikel-partikel kecil yang terdispersi merata pada awal proses pengerasan presipitat, pada kondisi aging 25 menit, tidak memberikan efek penguatan yang efektif bagi paduan karena partikel tersebut bukan merupakan penghalang yang kuat bagi pergerakan dislokasi. Partikel-partikel besar yang terdispersi secara acak pada waktu pengerasan presipitat yang lama, pada kondisi aging 16 jam, juga tidak memberikan efek penguatan yang efektif juga. Hal ini disebabkan karena pada partikel besar, jarak antar partikelnya juga besar. sehingga dislokasi dapat dengan mudah bergerak melalui mekanisme orowan looping. Umumnya nilai kekerasan akan meningkat dengan peningkatan ukuran partikel, selama dislokasi dapat memotong partikel. Jika dislokasi dapat melewati partikel melalui orowan looping, peningkatan ukuran partikel akan menurunkan kekuatan paduan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi penguatan yang optimum tercapai bila presipitat yang terbentuk memiliki ukuran yang cukup besar namun jarak antar partikel yang rapat (terdispersi secara merata) sehingga dapat memberikan hambatan yang maksimum terhadap pergerakan dislokasi. Hal inilah yang terjadi pada kondisi aging 8 jam (Gambar 3), yang merupakan kondisi aging paling optimum dimana fase-fase yang terbentuk memiliki ukuran yang optimum dan tersebar merata dalam matrik kaya Al sehingga menghasilkan nilai kekerasan paduan aluminium AA 333 yang paling tinggi. Pengaruh Temperatur Aging Struktur mikro paduan aluminium AA 333 selama proses perlakuan panas T6 (artificial aging) selama 5 jam ditunjukkan pada Gambar 7, yang menunjukkan perubahan ukuran dan bentuk dari fase-fase yang terdapat pada paduan aluminium AA 333 setelah perlakuan panas T6.

a. suhu 110oC

b. suhu 150oC

c. suhu 180oC

d. suhu 200oC

e. suhu 250oC

Gambar 7. Mikrostruktur paduan Aluminium AA 333 setelah aging selama 5 jam, pada suhu berbeda pada Pembesaran 100X Tabel 7. Hasil analisa komposisi paduan aluminium AA 333 aging 180oC selama 5 jam dengan menggunakan EDS
Indikasi Fasa yang terbentuk Silikon primer Al15(Mn, Fe)3Si2 CuAl2 & Cu2FeAl7 -Al Komposisi (% berat) Morfologi A1 Si Cu Fe Mn Ni 0,17 98,83 - Block 52,08 9,27 16,54 22,10 - Block 76,94 8,04 7,87 3,50 - 3,65 Chinese script 98,01 1,99 -

Gambar 6. Pengaruh dari Penguatan pada Kekerasan dalam Kurva Pengerasan Presipitat [14]

Gambar 7 menunjukkan perubahan morfologi fase-fase yang terdapat pada paduan aluminium AA 333 setelah perlakuan aging selama 5 jam dan hasil EDS pada Tabel 7 untuk aging 180oC. Morfologi fase silikon berturut-turut berubah dari yang bentuk jarum yang terikat pada interdendritik as-quench kemudian selama aging 110oC jarum tersebut menebal dan memisahkan diri dari interdendritik. Peningkatan temperatur ke 150oC menghasilkan fase silikon yang berbentuk flakes (lebih tebal dari jarum) sehingga kekerasannya menurun, keadaan ini berbeda ketika temperatur meningkat menjadi 180oC, fase silikon berubah menjadi lebih tebal lagi dan cenderung spheroid dari sebelum dan sesudahnya sehingga kekerasan fase silikon pada aging ini merupakan kekerasan silikon tertinggi. Aging 200oC, fase silikon mulai ada yang melarut dan mulai menjadi flakes kembali seperti pada aging 150oC tetapi masih terdapat bentuk blocky sehingga kekerasan fase ini lebih tinggi dari fase silikon pada aging 150oC. Temperatur aging 250oC cukup tinggi untuk membuat fase-fase silikon banyak yang melarut, ditandai dengan penampakan daerah matriks yang lebih luas dan kekerasan fase ini mencapai titik terendah (Gambar 8).

18

Zulfia, Proses Penuaan (Aging) pada Paduan Aluminium AA 333 Hasil Proses Sand Casting

Gambar 8. Kekerasan Setiap Fase Paduan Aluminium AA 333 Setelah Perlakuan Panas Selama 5 Jam

a. As-cast

b. 505oC Selama 1 Jam

kandungan Mn tinggi fase Al15(Mn,Fe)3Si2 akan membentuk blocky [16] seperti pada Gambar 9. Fase CuAl2 berpresipitasi dalam dua morfologi: eutektik Al-CuAl2 dan dalam bentuk blocky dengan konsentrasi Cu yang tinggi (~38-40% berat). Selama pembekuan dendritik, fase CuAl2 tumbuh secara bersama-sama dengan Al dengan morfologi yang sama seperti paduan biner yang bebas dari keberadaan Si. Morfologi CuAl2 yang ada di berbagai temperatur aging memperlihatkan bentuk chinese script, dibuktikan dengan kandungan Cu yang rendah (8,89% berat pada as-quench dan 7,87% berat pada temperatur aging 180oC) [17]. Temperatur aging 180oC mencapai puncak selama 8 jam[18], sedangkan untuk temperatur aging 200oC bila dibandingkan dengan Gambar 10 belum mencapai puncak, begitu pula pada aging 110oC dan 150oC sesuai dengan literatur pada Gambar 10, dimana untuk temperatur aging yang rendah 110oC dan 130oC pencapaian puncak kekerasan memakan waktu yang cukup lama. Jadi pada waktu aging 5 jam belum cukup untuk mencapai kekerasan tertinggi. Kekerasan paduan aluminium AA 333 meningkat hingga mencapai puncaknya pada aging 180oC kemudian turun hingga kekerasan yang sangat rendah pada aging 250oC disebabkan presipitat yang terkandung telah terlarut kembali akibat temperatur yang tinggi. KESIMPULAN Dari hasil penelitian mengenai pengaruh temperatur aging pada paduan aluminium AA 333 diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan temperatur aging hingga 180oC selama 5 jam dapat meningkatkan kekerasan as-quench dari 73,538 VHN menjadi 80,925 VHN. Ketika temperatur terus ditingkatkan hingga 250oC dengan waktu aging yang tetap, kekerasannya menurun kembali hingga 60,933 VHN, hal ini berkaitan pula dengan fase yang terbentuk pada paduan aluminium AA 333 asquench yang mempunyai morfologi struktur interdendritik terdiri dari: silikon primer, Al15(Mn,Fe)3Si2, Al-CuAl2 (eutektik) dan Al. Fase silikon primer mempunyai morfologi needle. Kandungan Mn yang cukup tinggi sebesar 21,07% wt membentuk blocky pada fase Al15(Mn,Fe)3Si2. Morfologi chinese script pada fase eutektik Al-CuAl2 dibentuk oleh kandungan Cu yang rendah sebesar 8,59% wt. Fase silikon primer mempunyai kekerasan tertinggi sebesar 641,35 VHN pada paduan aluminium AA 333 di semua variasi temperatur aging selama 5 jam dan kekerasan presipitasi CuAl2 pada temperatur aging 110oC, 150oC, 180oC, dan 200oC selama 5 jam belum mencapai kekerasan tertinggi. Sedangkan pada temperatur aging 250oC selama 5 jam telah melewati kekerasan tertingginya.

c, 505oC Selama 2 Jam

d. 505oC Selama 8 Jam

Gambar 9. Perubahan Morfologi Fase Eutektik Berasal dari Lokasi yang Sama[17]

Gambar 10. Penguatan Presipitasi Al-4Cu: Kekerasan dan Struktur Presipitat terhadap Waktu pada Berbagai Temperatur. (Solution Treated: 540C untuk 2 hari)[18]

Fase Al15(Mn,Fe)3Si2 mempunyai morfologi yang berbeda-beda di setiap perlakuan. Morfologi ini dipengaruhi oleh kandungan Mn. Untuk kandungan Mn yang rendah, fase Al15(Mn,Fe)3Si2 ini akan membentuk chinese script[15], sedangkan, ketika

19

JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 12, No. 1, April 2010: 1320

DAFTAR PUSTAKA 1. Aluminum Alloys: Aluminum Usage in The Transportation Industry, (online), http://www.azom.com/ details.asp?ArticleID=1964 diakses 7 Maret 2006. metallic Compound in The Al-Si-Cu System, (online), http://www.sbmm.org.br/actar/trabalhos/ 14.pdf diakses 28 Februari 2006. lurgy. Japanese Standards Association. 1978. Aluminum-Verlag GmbH. German. 1982. International. USA. 1991.

11. Ringer S P dan K, Hono, Microstructure Evo-

2. Rios, C. Triveno dan Caram, R., 2003. Inter-

lution and Age Hardening in Aluminum Alloys: Atom Probe Field-Ion Microscopy and Transmission Electron Microscopy Studies, (online), http://www.elsevier.co.id/Journal.pdf di akses 10 Februari 2006. Ceramic and Polymer, Cambridge University Press. 1974. Intermetallics in Al-Si Foundry Alloys. Scripta Materialia. University of Queenslands, Australia. 2005. (online), www.scincedirect.com diakses 10 Februari 2006. Intermetallics in Al-Si Foundry Alloys. Scripta Materialia. University of Queenslands, Australia. 2005. (online), www.scincedirect.com diakses 10 Februari 2006. Solution Treatment of Cast Al-Si-Cu-Mg-Fe Alloys. Institute of Materials Scince, University of Connecticut. (online), http://www.engr.uconn. edu/~qianmin/Paper/ASM-Soln2.pdf diakses 15 Maret 2006. Alloys. Department of Chemical Engineering and Materials Science, University of California, September 13, 2004. (online), www.matsci. ucdavis. edu/MatSciLT/Other/Files/HT-Aluminum.pdf di akses 15 Februari 2006.

12. Wyatt, O.H., dan Hughes, Dew, D., Metals,

3. JIS Handbook. Non-Ferrous Metals and Metal4. Altenpohl, D., Aluminum Viewed from Within. 5. ASM Handbook. Volume 4. Heat Treating. ASM
6. D. Zhang, L. Zheng, and D. St. John, Effect of a Short Solution Treatment Time on Microstructure and Mechanical Properties of Modifi ed Al7wt.% Si- 0.3wt.%Mg Alloy, Journal of Light Metals, 2, pp. 2736, 2002. 7. S. Shivkumar et al., Influence of Solution Treatment on Tensile Properties of Sr Modifi ed Al-Si-Mg Alloys, Journal of Heat Treating, 8, pp. 6370, 1990.

13. Dinnis, Cameron M. As-cast Morphology of Iron-

14. Dinnis, Cameron M. As-cast Morphology of Iron-

15. Qian, M. dkk. Solute Redistribution during

6. Strenghtening Mechanism, (online), http://www.


tu-darmstadt.de/fb/ms/student/fs/german/lab/w6/ mse6-3.htm#Precipitate diakses 18 Februai 2006. www.poco.phy.cam.ac.uk/teaching/A_Donald/ Crystalline_Solids_2.pdf diakses 18 februari 2006.

16. Meier, Mike. Heat Treatments of Aluminum

7. Obstacles to Dislocation Motion, (online), http://

8. Warmuzek, M dan Ratuszek, W., 2004, Chemical

Inhomogeneity of Intermetallic Phases Precipitates Formed During Solidification of Al-Si Alloy, (online), http://www.elsevier.co.id diakses 18 Februari 2006. ASM International. USA. 1997.

17. Qian, M. dkk. Solute Redistribution during Solution Treatment of Cast Al-Si-Cu-Mg-Fe Alloys. Institute of Materials Scince, University of Connecticut. (online), (http://www.engr.uconn.edu/~qianmin/ Paper/ASM-Soln2.pdf diakses 15 Maret 2006) 18. Meier, Mike. Heat Treatments of Aluminum Alloys. Department of Chemical Engineering and Materials Science, University of California, September 13, 2004. (online), (www.matsci. ucdavis.edu/MatSciLT/Other/Files/HT-Aluminum. pdf diakses 15 Februari 2006).

9. ASM Handbook. Aluminum and Aluminum Alloys. 10. Mangonon, Pat L., The Principles of Materials

Selection for Engineering Design, Prentice-Hall, Inc., USA, 1999.

20

You might also like