You are on page 1of 70

SKENARIO Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu,selera makan kurang dan

disertai sakit kepala.sepuluh hari yang lalu penderita baru datang darri papua. KATA SULIT Demam

KATA KUNCI 1. Laki-laki 22 tahun 2. Demam selama seminggu 3. Selera makan berkurang 4. Sakit kepala 5. 10 hari yang lalu baru kembali dari papua PERTANYAAN 1. Patomekanisme terjadinya demam

2. Kriteria demam dan pembagiannya

Klasifikasi dan karakteristik demam : Demam diartikan suatu keadaan dimana suhu tubuh di atas 37,20C. hipereksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh di atas 41,20C. Beberapa tipe demam yang mungkin ditemukan, antara lain: Pembagian : Menurut derajatnya : Subfebril Febril Hipertermi Menurut Jenisnya : : 37,3-38C : 38-40C : > 41,1C

Hipertermi maligna : 39-42C

1. Demam septik Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari , dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pada pagi hari.Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Jika turun ke normal dinamakan demam hektik. Contoh : Demam Thyfoid 2. Remitten fever suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai 2 derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu pada demam septic. 3. Intermitten fever suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Contoh : Malaria 4. Sustained fever (kontinyu) Sepanjang hari demam Variasi suhu <1C 5. Relapsing fever/Siklik fever Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. Contoh : Malaria, peny. Hodgkin (keganasan) 6. Factitious fever/Self Induced fever Demam yang dibuat-buat. Perlu pengukuran suhu rutin atau perlu bantuan dokter ahli jiwa 7. Drug fever Demam muncul karena reaksi obat dan menghilang setelah menghentikan obat. Mekanisme timbulnya demam ini karena reaksi imunologis

3. Faktor-faktor apakah yang dapat menyebabkan demam? Jawab: a. Karena infeksi Parasit Bakteri d Firus Jamur

b. Non infeksi Neoplasma Nekrosis jaringan Kelainan kolagen faskuler Emboli paru Trombosis vena dalam obat

4. Bagaimana mekanisme sakit kepala dikaitkan dengan kasus


Patofisiologi Nyeri kepala Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron 3 trigeminalsentral. lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2) bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi

pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya 10,14 gejala nasal congestion dan rhinorrhea. Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor ( GFR-3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor3). Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian 25 batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi. Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like headache).Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi 15 Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol. Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA(N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yangbertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP 26 maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH. Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH.15 Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin . 1), lL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor ) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2)dan peptides(CGRP, SP).

5. Apa yang menyebabkan pasien mengalami penurunan selera makan?


MEKANISME PENURUNAN NAFSU MAKAN

Penurunan nafsu makan dapat terjadi pada tingkat pusat pada otak atau tingkat perifer/reseptor indera rasa pengecap pada taste buds. Perubahan predominan rasa pahit dapat menurunkan nafsu makan,

sehingga dapat juga menurunkan ketahanan tubuh. Penurunan ketahanan tubuh mengakibatkan pula penurunan ketahanan tubuh imunologis. Penurunan ketahanan tubuh imunologis ini akan memperberat kondisi infeksi (Kresno, 2001). Oleh karena itu keadaan demam mengakibatkan penurunan ketahanan tubuh dan produktivitas kerja penderita.(Mandel et al., 1995) Mekanisme penurunan nafsu makan pada reseptor indera pengecap di taste buds melalui transduksi signal pada inflamasi yang disertai demam, sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa rasa pengecap pada rongga mulut yaitu: rasa asin, rasa asam, rasa manis, rasa pahit dan rasa umami.(Adler, 2000; Jacob, 2005) Timbulnya rasa pahit akibat adanya ikatan antara bahan kimia sebagai perangsang rasa pengecap pahit pada reseptor.(Ogura et al., 1997; Zald, 2002; Yan et al., 2003) Reaksi ini mengakibatkan Gprotein melepaskan unit , yang pada reseptor indera rasa pengecap pahit ini disebut sebagai Gustducin (Kusakabe et al., 2002; Jansen, 2002) Gustducin mengaktifasi ensim sehingga pada keadaan ini menyebabkan tertutupnya saluran K+, kemudian merangsang PLC (phospholipase C) untuk mengaktivasi PIP (fosfo inositol fosfat) menjadi IP3 (inositol trifosfat). IP3 menyebabkan Ca2+ dikeluarkan dari endoplasmik retikulum dan mitokondria sehingga menimbulkan depolarisasi.(Ogura, 1999; Akopian & Withowsky et al., 2001; Ando, 2003)Peningkatan konsentrasi Ca2+ di dalam sel reseptor rasa pengecap pahit menyebabkan peningkatan rasa pahit

dan diteruskan ke memori di dalam otak (Ganong, 2001; Vander, 2001). Salah satu manifestasi gangguan homeostasis adalah adanya inflamasi yang disertai demam, baik endogen maupun eksogen. Demam merupakan salah satu gejala klinis dari infeksi yang disebabkan oleh kuman misalnya demam thypoid, dengan didapatkannya gejala khas pada lidah yang disebut thypoid tongue. Pada pemeriksaan histopatologi tampak adanya peningkatan sel radang polimorfonuklear (PMN) yaitu neutrofil yang merupakan ciri khas kondisi inflamasi akut (Ganong, 2001) Pada keadaan demamyang merupakan manifestasi klinis dari infeksi didapatkan juga gejala yang menonjol berupa peningkatan rasa pahit pada lidah. Kajian reseptor indera rasa pengecap secara fisiobiologis diperankan oleh taste buds. Mekanisme terjadinya rangsangan indera rasa pengecap dimulai dengan adanya rasa primer di dalam rongga mulut oleh taste buds sebagai reseptor sel syaraf rasa kecap yang merupakan bagian tubuh untuk menimbulkan respons biologi (Purves et al., 1997). Respons tersebut dapat dipicu oleh pemaparan kuman sebagai initiation signaling. (Steward et al., 1997; Goldsby et al., 2000). Mekanisme perubahan tingkat seluler pada keadaan inflamasi disertai demam yang terjadi pada reseptor indera rasa pengecap terhadap perubahan molekuler intra seluler, dapat terjacli melalui signal transducing oleh ion-ion antara lain K+, Caz', Mg+. Sampai saat ini mekanisme perubahan biologis taste buds akibat modulasi infeksi kuman belum pernah dikaji dan belum terungkap secara jelas. Atas dasar gejala klinis adanya rasa pahit pada inflamasi disertai demam dan perubahan tingkat sel dan dinamika fisiobiologis terhadap perubahan 160

J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 3, Des 2009: 159-167

predominan rasa pengecap pahit di tingkat perifer yang betum jelas ini, maka perlu dikaji secara rinci. Penelitian dilakukan pada hewan coba tikus Wistar (Rattus Novergicus) yang telah diberi paparan kuman Salmonella fyphimurium dengan pengamatan pada preparat potongan lidah terhadap perubahan konsentrasi IL-1, jumlah Gustducin melalui peme- riksaan Elisa dan histopatologi dengan pengecatan secara imuno- histokimia. Dari latar belakang di atas dapatlah dirumuskan apakah pada kondis demamdapat terjadi peningkatan konsentrasi IIL-1 serum dan peningkatan jumlah Gustducin taste buds serum?
METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah true eksperimental mumi dengan rancangan peneli6an post test only control group. Bahan yang digunakan adalah serum dan potongan lidah tikus Rattus Novergicus strain wistar yang di invasi kuman dengan cara diinjeksi dengan kuman S thypimurium. dari yang diukur konsentrasi IL-1 dengan metode Elisa dan potongan lidah dicat secara imunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoklonal. Penelitian ini dilakukan di labora- torium Biokimia, laboratorium Mikrobiologi, laboratorium Patologi Anatomi, dan Gramik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, laboratorium Imunologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Lab. Kes. Da. Surabaya. Cara kerja penelitian ini dengan cara binatang coba dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok I adalah kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang dibuat demam. Binatang coba dipilih secara random (random allocation), diperlakukan dengan layak dan telah dinyatakan

laik etik. Pada kelompok binatang coba diinjeksi dengan aquades, dan pada binatang coba kelompok 2 diberi pedakuan (demam) diukur dulu suhu awalnya kemudian diinjeksi dengan kuman Salmonella thypimurium sebesar 0,5 ml/kgBB. Setelah 6 jam diukur suhu tubuh akhir, kemudian di sacrified dan diambil darah serta lidahnya. Pada serum darah diukur konsentrasi IL-1 dan pada lidah di blok parafin kemudian dilakukan pengecatan immunohistokimia untuk dihitung ekspresi Gustducin taste buds. Pada binatang coba yang diberi perlakuan kondisi inflamasi adalah bila binatang yang dibuat demam oleh kuman Salmonella thypimurium dan mengalami peningkatan suhu diatas suhu normal (36C), b. IL-1 adalah sitokin yang dihasilkan oleh hipotalamus yang diukur pada serum darah yang diambil dari jantung yang diukur dengan Elisa dan Gustducin adalah Gprotein sub unit yang diekspresikan oleh TRCs taste buds papila sirkumvalata pada jaringan lidah bagian posterior pada keadan inflamasi clan kontrol, diukur berdasarkan jumlah TRCs yang berwarna kecoklatan pada pengecatan imunohistokimia dengan pengamatan mikroskop cahaya pada pembesaran 400 kali.

6. Apakah ada hubungan antara gejala dengan perjalanan dari papua

7. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan demam

Demam berdarah dengue

PENDAHULUAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBDterjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrik) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

ETIOLOGI

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Falvivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, klelawar, dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus aedes (stegomya) dan toxorhynchites.

EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat, dan karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Indisen DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999 Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus aedes ( terutama A. Aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

PATOGENESIS

Patogeneis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imnopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a. respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit dan makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL2dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi Il4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c. Monosit dan makrofag berperan dalamfagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d. Selain itu aktifasi momplemen imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. Halstead pada tahun 1973 menunjukkan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibody sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengan menyebabkan aktifasi makrofag yang memfagositosis kompleksvirus-antibodi non-netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin adan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit segingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (Platelet Activating Factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran

plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virusantibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). supresi sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukka keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaannadir tercapai akan terjai peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukka kenaikan. Hal ini menunjukka terjadinya stimulasi triombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi terjadi melalui peningkatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fumgsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukka terjadinya koagulopati konsumtif dapa demam berdarah dengue stadium II dan Iv. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).

MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

Manifestasi klinis infeksi virusdengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD) Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Padawaktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dulakukan untuk menapispasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrik, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi, untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transkiptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknikyang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG. Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain: Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit umumnbya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. Hematokrik: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan

hematokrik 20% dari hematokrik awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat. Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal Elektrolit: sebagai parameter pemantauan, pemberian cairan. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

transfusi darah atau komponen darah.

IgM: terdeteksi mulai hari 3-5, meningkat sampai minggi ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2 Uji JI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan., uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. Pemeriksaan Radiologis Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

DIAGNOSIS

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau

lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala. Nyeri retro-orbital Mialgia/artralgia Ruam kulit. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif) Leukopenia.

Dan pemeriksan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD).

Berdasarkan kiteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa (terseringepistaksis atau perdarhan gusi), atau perdarahan dari tempat lain Hematemesis atau melena Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/l). Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) Peningkatan hematokrik >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrik >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrik sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antaraDD dan DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

sebagai berikut:

Syndrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan

manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Spektru

m Klinis

Manifestasi Klinis Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, manifestasi perdarahan, dan leukopenia. Dapat disertai trombositopenia. Hari ke-3-5 ==> fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik. Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia dan nyeri perut. Uji torniquet positif. Ruam kulit : petekiae, ekimosis, purpura. Perdarahan mukosa/saluran cerna/saluran kemih : epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri. Hepatomegali. Perembesan plasma: efusi pleura, efusi perikard, atau perembesan ke rongga peritoneal. Trombositopenia. Hemokonsentrasi. Hari ke 3-5 ==> fase kritis (saat suhu turun), perjalanan penyakit dapat berkembang menjadi syok Manifestasi klinis seperti DBD, disertai kegagalan sirkulasi (syok). Gejala syok :

DD

DBD

Anak gelisah, hingga terjadi penurunan kesadaran, sianosis. Nafas cepat, nadi teraba lembut hingga tidak teraba. Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg. Akral dingin, capillary refill turun. Diuresis turun, hingga anuria.

SSD

Keterangan: Manifestasi klinis nyeri perut, hepatomegali, dan perdarahan terutama perdarahan GIT lebih dominan pada DBD.

Perbedaan utama DBD dengan DD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma yang mengakibatkan haemokonsentrasi, hipovolemia dan syok.

Uji torniquet positif : terdapat 10 20 atau lebih petekiae dalam diameter 2,8 cm (1 inchi).

DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut.

*DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD) DD/DB D DD Deraj at* Gejala Demam disertai 2 atau lebih tanda:sak it kepala, nyeri retroorbit al, mialgia, artralgia I Gejala diatas ditambah uji bendung positif Gejala di atas ditambah perdarah an spontan Gejala di atas ditambah kegagala n sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah) Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur Laboratorium Leukopeni Serologi dengue positif

DBD

Trombositope nia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma Trombositope nia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma Trombositope nia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

DBD

II

DBD

III

DBD

IV

Trombositope nia (<100.000/l), bukti ada kebocoran plasma

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hematokonsentrasi secara bermakna. Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria: Penatalaksanaan yang tepat denga rancangan tindakan yang dibuat sesuai Praktis dalam pelaksanaannya. Mempertimbangkan cost effectiveness. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

atas indikasi.

Protokol 1 Penangan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrik > 20% Protokol 4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa.

PENCEGAHAN

Bersihakan tempat penyimpanan air ( bak mandi, WC ). Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol bekas ). Tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar bambu dengan tanah. Lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di situ. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin untuk membunuh jintik-jintik nyamuk ( ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali.

KOMPLIKASI

Ensefalopati dengue Gagal ginjal akut Udem paru akut.

PROGNOSIS

Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.

Malaria

MALARIA DEFINISI Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan hepatosplenomegali yang dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. ETIOLOGI
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparfum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparfum yang menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale. Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran atau majemuk. Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling banyak dijumpai adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap klorokuin, bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin. Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertiana dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.

EPIDEMIOLOGI

Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulai di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 kasus. Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan daerah-daerah tropis lainnya.

PATOGENESIS Setelah melalui jaringan hati P falcipafum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi, merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menyerang eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggungjawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P falciparum. Patogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit, faktor penjamu (host), faktor sosial & lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terakit satu sama lain dan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling berat, yaitu malaria dengan komplikasi gagal organ (malaria berat), malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang paling ringan, yantiu infeksi asimptomatis. Yang termasuk faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk dalam faktor penjamu adalah genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Dan yang termasuk dalam faktor sosial dan geografi adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, akses pengobatan, dan faktor-faktor budaya dan ekonomi. Parasit dalam eritrosit secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-eryhthrocyte surface antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1(HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GP1, yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

Faktor parasit yang paling banyak dibahas dan diteliti adalah sitoadherens dan pembentukan roset, serta peran berbagai toksin malaria.
Sitoadherens Sitoadherens adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan endotel vaskular terutama kapiler postvenula, menyebabkan terjadinya sekuesterisasi parasit pada kapilerkapiler organ. Mekanismenya sebagai berikut. Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit akan timbul tonjolan-tonjolan yang disebut knob. Pada knob tersebut terdapat berbagai protein seperti HRP-1, PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA). Protein parasit yang berperan paling penting pada sitoadherens adalah PfEMP-1, yang berikatan dengan berbagai molekul adhesi pada permukaan endotel pembuluh darah sebagai reseptornya, yaitu CD 36, CD 31, intracellular-adhesion molecule-1 (ICAM-1), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1/E-selektin), VCAM-1, trombospondin, asam hialuronat, kondroitin sulfat (CSA). Ikatan tersebut menyebabkan eritrosit yang terinfeksi melekat pada kapiler organ-organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah lokal dan jika berat menimbulkkan iskemia dan hipoksia dengan hasil akhir kegagalan organ. Roseting dan autoaglutinasi Roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan beberapa eritrosit yang tidak terinfeksi, membentuk suatu gumpalan yang disebut roset. Sedangakan autoaglutinasi atau clumping adalah ikatan di antara eritrosit yang terinfeksi parasit, membentuk agregat yang tidak melibatkan eritrosit yang tak terinfeksi. Beberapa agregat roset dapat saling berikatan dan juga berikatan dengan eritrosit terinfeksi untuk membentuk giant roseting. Roset terjadi karena eritrosit yang terinfeksi parasit mengekspresikan protein tertentu seperti rosetin, HSP-1 dan yang terpenting PfEMP-1 untuk saling berikatan dengan protein reseptor pada permukaan eritrosit tak terinfeksi, yaitu complement receptor 1 (CR1)/ CD 35, CD 36, atau glikoprotein golongan darah A atau B, heparan sulfate-like glycosaminoglycans (HS-like GAG), untuk membentuk ikatan atara eritrosit yang terinfeksi dengan beberapa eritrosit tak terinfeksi. Pada proses tersebut diperlukan pula faktor serum dalam darah seperti IgM, fibrinogen, albumin, atau protein lain, sedangkan mekanisme clumping masih belum jelas, diduga terjadi karena ikatan antara PfEMP-1 dari eritrosit-eritrosit terinfeksi dengan molekul adhesi CD 36 pada permukaan trombosit, membentuk gumpalan dari ikatan di antara beberapa eritrosit yang terinfeksi.

Toksin parasit Eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaktu proses skizogoni mengeluarkan berbagai toksin seperti glicosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin, atau mungkin antigen parasit lain seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper menghasilkan berbagai sitokin inflamasi (TNF-, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IFN-) dalam jumlah banyak yang akan menimbulkan gangguan metabolisme sel, sitokin tersebut juga dapat memicu enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada sel endotel vaskular untuk menghasilkan nitrit oksida (NO). Kadar sitokin proinflamasi dan NO yang tinggi juga akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada endothel sehingga akan meningkatkan sitoadherens dan sekueterisasi parasit. Toksin yang paling banyak diteliti adalah GPI, yang berfungsi seperti jangkar pada permukaan plasmodium yang berhubungan dengan protein permukaan, seperti MSP. Diduga GPI yang berikatan dengan reseptornya, yaitu CD 14 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag dan sistem imun lain untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Saat ini sedang diteliti manfaat antibodi anti-GPI untuk pengobatan malaria.

Faktor penjamu yang berperan menimbulkan malaria meliputi umur, genetik, nutrisi, imunitas, dan terutama peran berbagai mediator yang dihasilkan oleh makrofag, limfosit, leukosit, sel endotel, trombosit, akibat rangsangan oleh toksin atau antigen parasit. Di daerah endemis stabil, malaria berat terutama malaria serebral umumnya diderita anakanak umur 1-4 atau 5 tahun, setelah itu hanya ditemukan anemia sampai usia pubertas, sedangkan setelah dewasa umumnya infeksi asimptomatik. Hal ini mungkin disebabkan respons imun terhadap malaria pada anak terbentuk lebih lambat. Di daerah endemis tidak stabil, malaria berat dapat ditemukan pada semua umur. Selain itu ada laporan bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding anak-anak non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk imunitas klinis dan parasitologis lebih cepat daripada anak-anak non-imun.

Beberapa kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat menghambat perkembangan malaria dan mencegah malaria berat, di antaranya adalah HB S (sickle cell), HB C, HB E, talasemia, defisiensi G6PD, ovalositosis herediter defisiensi enzim piruvat kinase. Beberapa tipe HLA tertentu seperti HLA-Bw53, HLA-A2, HLA-B17,

HLA-DRB*1502, *0701, *1301, *1032, DQB-1202, 0501, diduga memiliki efek perlindungan terhadap malaria berat. Penelitian Dieye, dkk di Senegal menemukan HLADR13 berhubungan dengan risiko malaria berat. Faktor genetik non-HLA lain yang dilaporkan memiliki efek perlindungan terhadap malaria adalah polimorfisme gen spektin, gen eritrosit-band 3, golongan darah ABO (suatu penelitian di Gambia melaporkan bahwa malaria berat lebih sering terjadi pada pasien golongan darah A dan B dibanding golongan darah lain), gen glikoporin A dan B, suatu gen yang melindungi terhadap infeksi Schistosoma mansoni (gen SM-1 yang terletak di kromosom 5q31-33) dilaporkan juga melindunggi terhadap malaria berat. Polimorfisme gen promotor iNOS juga bersifat protektif. Di lain pihak, ada tiga bentuk polimorfisme gen promotor TNF- yang berhubungan dengan manifestasi klinis malaria berat, yaitu alel TNF-308A, alel TNF-376A, dan TNF-238A. Faktor genetik lain yang diduga berperan pada kepekaan terhadap malaria berat adalah polimorfisme gen promotor Inos, polimorfisme Fc gamma receptor IIA (CD 32), dan polimorfisme gen ICAM-1.

Faktor nutrisi mungkian berperan menentukan kepekaan terhadap malaria, dilaporkan malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak malnutrisi. Defisiensi besi, riboflavin, para-amino-benzoic acid (PABA) mungkin mempunyai efek protektif pada malaria berat, karena menghambat pertumbuhan parasit.

Faktor imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Hal tersebut dibuktikan pada penduduk daerah endemis. Pada penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat namun asimptomatis, sebaliknya pasien non-imun dari daerah nonendemis lebih mudah mengalami malaria berat. Terdapat laporan bahwa pasien yang terinfeksi malaria pertama kali 27 kali berisiko mengalami malaria berat dibanding pasien yang terinfeksi 5 kali, juga pasien yang pernah terinfeksi seandainya terjadi malaria berat akan timbul 1-2 hari lebih lambat dibanding pasien yang baru pertama terinfeksi. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu imun sudah terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit atau menetralkan toksin parasit, misal antibodi anti-GPI, antibodi yang membataso sekuesterisasi parasit atau pembentukan roset, atau tubuh mampu mengekspresikan banyak molekul adhesi terlarut (soluble-ICAM) yang akan mengikat

eritrosit terinfeksi di sirkulasi sehingga mencegah berikatan dengan endotel (mencegah sekuesterisasi), atau melepaskan sekuesterisasi yang telah dibentuk (desekuesterasi).

JENIS-JENIS MALARIA Pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut : a. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum) Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).

Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika: Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).

b. Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae) Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.

Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.

c. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale) Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.

d. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.

Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.

GEJALA KLINIS Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (Glycosyl Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali. Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut: Masa inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium aseksual). Keluhan-keluhan prodromal Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.

Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (Malaria proxym) secara berurutan: 1. Periode dingin

Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperature. 2. Periode panas Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40o C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntahmuntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat. 3. Periode berkeringat Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa. Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis. (Harijanto P.N, 2006)

DIAGNOSA Diagnosis malaria ditegakkan sesudah dilakukan wawancara (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria baru dapat ditegakkan jika pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau Uji Diagnosis Cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT). Awal tahun 2010 World Health Organization (WHO) menyempurnakan rekomendasi pada uji diagnosis malaria dengan menyertakan juga pemeriksaaan atas anak berumur dibawah lima tahun (balita). Dengan perbaikan ini, maka semua orang dari semua usia secara epidemiologi diduga menderita malaria harus dikonfirmasi secara parasitologis melalui mikroskopi atau melalui RDT positif hasilnya.

Anamnesa dilakukan untuk mendapatkan semua informasi tentang penderita, yaitu : keluhan utama (demam, menggigil, berkeringat yang dapat disertai sakit kepala, mula, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal), riwayat dilakukannya kunjungan dan bermalam ke daerah endemis malaria 1-4 minggu, riwayat tinggal di daerah endemis malaria, riwayat pernah sakit malaria atau minum obat antimalaria satu bulan terakhir, dan riwayat pernah mendapat transfusi darah. Pada tersangka malaria berat, dapat terjadi : gangguan kesadaran, keadaan umum yang lemah sehingga penderita harus selalu tiduran, kejang-kejang, panas badan sangat tinggi, mata dan warna tubuh kuning, pendarahan (hidung, gusi, atau saluran cerna), napas cepat atau sesak, muntah terus menerus sehingga tidak bisa makan dan minum, warna urine coklat atau sampai kehitaman, jumlah urine sedikit (oliguria) atau tidak ada (anuria), dan telapak tangan sangat pucat. Pemeriksaan fisik terhadap penderita dapat ditemukan : demam lebih dari 37,50C, konjungtiva dan telapak tangan pucat, splenomegali, dan hepatomegali. Pada tersangka malaria berat dapat dijumpai gejala klinis berupa : suhu rektal diatas 400C, nadi cepat dan lemah, tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak kurang dari 50 mmHg, frekuensi napas lebih dari 35/menit pada orang dewasa, lebih dari 40 menit pada balita, dan lebih dari 50/menit pada bayi di bawah usia 1 tahun, Glasgow Coma Scale < 11, perdarahan (petekia, purpura, hematoma), dehidrasi (mata cekung, bibir kering, oliguria, turgor dan elastisitas kulit berkurang), anemia berat (konjungtiva, lidah, dan telapak tangan pucat), mata ikterus, ronkhi paru, spleno atau hepatomegali, gagal ginjal dengan oliguria atau anuria, dan gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologi positif). Pada pemeriksaan laboratorium malaria terdapat 3 jenis pemeriksaan : Pemeriksaan mikroskopis Sedian berupa darah tetes tebal dan tipis untuk menentukan adanya parasit malaria, jenis spesies dan stadium parasit malaria, dan kepadatan parasit semikuantitatif dan kuantitatif (jumlah parasit per mikro liter darah). Penghitungan parasit secara semikuantitatif kurang akurat, sehingga sebaiknya hanya digunakan pada keadaan yang mendesak dan dilakukan pada sediaan darah tebal dengan interpretasi sebagai berikut : (+) : 1-10 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop, (++) : 11-100

parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop, (+++) : 1-10 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop, dan (++++) : 11-100 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop. Sedangkan perhitungan secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah tebal maupun tipis. Jumlah parasit stadium aseksual (cincin, trofozoit, dan skizon) dan seksual (gametosit). Pada sediaan darah tebal, parasit dihitung berdasarkan jumlah leukosit per L darah; jika tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah 8.000/L. Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit/L : 200 Sedangkan perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per L darah. Jika nilai ini tidak diketahi, diasumsikan penderita mengandung eritrosit 5.000.000/L (pria) atau 4.500.000/L (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung paling sedikit dalam 25 lapangan pandang mikroskopik dan total parasit/L dihitung dengan rumus sebagai berikut Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah eritrosit/L : total eritrosit dalam 25 lapangan pandang Pada sediaan darah tipis juga dapat dihitung proporsi atau presentase

eritrosit yang terinfeksi dengan rumus sebagai berikut Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapangan pandang mikroskopik x 100% Pada penderita tersangka malaria berat harus diperhatikan : jika hasil pemeriksaan darah pertama negatif, darah harus diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut dan jika pemeriksaaan tetes tebal negatif selama 3 hari berturut-turut, maka diagnosis malaria baru disingkirkan.

Rapid diagnostic test Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan imunokromatografi dalam bentuk dipstick. Tes ini digunakan di UGD, pada waktu terjadi KLB atau untuk memeriksa malaria di daerah terpencil yang tidak tersedia sarana laboratorium atau untuk melakukan survei tertentu. Ada 2 jenis RPD : single (mendeteksi hanya Plasmodium falciparum) dan combo (mendeteksi infeksi semua spesies Plasmodium). Rapid Diagnostic Test yang digunakan sebaiknya memiliki sensitivitas lebih dari 95% dan spesifisitas lebih 95%. Contoh RPD yang tersedia di pasaran : HRP-2 (Histidine Rich Protein-2) yang dihasilkan trofozoit, skizon dan gametosit muda Plasmodium falciparum dan p-LDH (parasite Lactate Dehydrogenase) dan Aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk seksual dan aseksual semua spesies Plasmodium.

Pemeriksaan penunjang lain o Pemeriksaan darah rutin : trombosit, didapatkan kurang dari 50.000/L, jumlah leukosit bukan merupakan indikasi yang spesifik, hemoglobin didapatkan menurun (anemia) o Kimia darah (gula darah, serum bilirubin, SGOT/SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium, dan kalium, dan analisis gas darah)
o

PCR : metode paling sensitif dalam mendeteksi parasit malaria dalam darah. Sensitivitasnya dapat mencapai 5 parasit/L darah, bahkan akhir-akhir ini dilaporkan dapat dipakai pada infeksi 1 parasit/L darah. Teknik biologi molekuler ini sudah dapat diaplikasikan untuk membedakan keempat spesies Plasmodium dan dapat dilihat mutasi parasit yang berhubungan dengan resistensi terhadap obat dab adanya variasi P vivax atau Plasmodium lainnya.

o Cell Dyn 3500 atau 4000 : untuk melakukan analisis hematologi secara rutin dan deteksi pigmen malaria (hemozoin) o Laser Desorption Mass Spectrometry (LDMS) : memperlihatkan parasit Plasmodium dalam eritrosit mengkatabolisme hemoglobin menjadi heme dalam bentuk kristal (hemozoin) o Nucleic acid probe dan immunofluorescence : mendeteksi Plasmodium yang ada di dalam eritrosit; gel diffusion, counterimmunoelectrophoresis, hemagglutination test, Radio Indirect immunoassay dan Enzym Enzym immunoassay untuk mendeteki antigen malaria dalam cairan tubuh; immunofluorescence, immunoassay, immunochromatography, dan Western blotting untuk mendeteksi antibodi anti-plasmodium di dalam serum. Pemeriksaan ini digunakan untuk penelitian, mengkonfirmasi retrograde malaria dan skrining pada transfusi darah o EKG, foto thorax, analisis cairan serebrospinalis, biakan darah, uji serologi, dan urinalisis. PENANGANAN
Pengobatan malaria menurut keperluannya dibagi menjadi pengobatan pencegahan bila obat diberikan sebelum infeksi terjadi, pengobatan supresif bila obat diberikan untuk mencegah timbulnya gejala klinis, pengobatan kuratif untuk pengobatan infeksi yang sudah terjadi terdiri dari serangan akut dan radikal, dan pengobatan untuk mencegah transmisi/penularan bila obat digunakan terhadap gametosit dalam darah. Sedangkan dalam program pemberantasan malaria dikenal 3 cara pengobatan, yaitu pengobatan presumtif dengan pemberantasan skizontisida dosis tunggal untuk mengurangi gejala klinis malaria dan mencegah penyebaran, pengobatan radikal diberikan untuk malaria yang menimbulkan relaps jangka panjang, dan pengobatan massal digunakan pada setiap penduduk di daerah endemis malaria secara teratur. Saat ini pengobatan massal hanya diberikan pada saat terjadi wabah. 1) Malaria Tanpa Komplikasi Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat anti malaria dengan rawat jalan. Berdasarkan hasil penelitian, resistensi malaria vivaks terhadap klorokuin ditemukan sangat tinggi di

berbagai daerah di Indonesia sehingga Departemen Kesehatan RI merekomendasikan pengobatan malaria vivaks sama dengan malaria falsiparum, yaitu dengan menggunakan kombinasi anti malaria yang mengandung derivate artemisinin (Artemisinin based combination therapy- ACT) a. Untuk daerah yang sudah resistensi terhadap obat malaria yang biasa digunakan, saat ini WHO merekomendasikan penggunaan kombinasi antimalaria terutama yang mengandung artemisin. Obat-obat antimalaria kombinasi yang direkomendasikan oleh WHO antara lain: Artemeter/lumefantrin (Co-artem) diberikan dengan dosis Artemeter 2 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari dan lumefantrin 12 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet kombinasi 20 mg artemeter + 120 mg lumefantrin Artesunat + amodiakuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan amodiakuin dosis standar 25 mg basa/kgBB selama 3 hari. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet terpisah artesunat 50 mg/tablet dan amodikuin basa 153 mg/tablet. Artesunat + meflokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan meflokuin basa 15-25 mg/kgBB dosis tunggal atau dibagi dalam dosis 2 3 kali. Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan sulfadoksin-pirimetamin 25 mg/kgB dosis tunggal. Dihidroartemisinin + piperakuin, dengan dosis dehidroartemisinin 6,4 mg/kgBB dan piperakuin 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari. Artesunat + klorokuin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorokuin basa dosis standar 25 mg/kgBB selama 3 hari. Artesunat + atovokuon-proguanil (Malaron) tablet film coated untuk anak dosis dari artesunat 4 mg/kgBB/hari dan 62,5 mg atovakuon dan 25 mg proguanil. Artesunat + klorproguanil-dapson (Lapdop), dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan klorproguanil-dapson. Artemisinin + piperakuin, dengan dosis artemisinin 20 mg/kgBB 2 kali sehari pada hari pertama, selanjutnya 1 kali sehari pada hari kedua dan ketiga, dan piperakun 51,2 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari. Artesunat + pironaridin, dengan dosis artesunat 4 mg/kgBB/hari selama 3 hari dan pironaridin. Naftokuin + dehidroartemisinin, terdiri dari naftokuin dan dihidroartemisinin 6,4 mg/kgBB selama 3 hari.

b. Untuk daerah yang belum ada resisten terhadap obat malaria yang biasa digunakan atau obatobat tersebut di atas belum tersedia, pengobatan malaria adalah: Klorokuin dosis standar (25 mg basa/kgBB) untuk 3 hari dan sulfadoksin pirimetamin dosis tunggal (25 mg/1,25 mg/kgBB). Sulfadoksin/pirimetamin dosis tunggal dan kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari. Amodikuin dosis standar (25 mg basa/kgBB untuk 3 hari) dan sulfadoksin dosis tunggal. Kombinasi klorokuin dosis standard dan primakuin dosis harian tunggal 0,75 mg basa/kgBB tunggal untuk malaria falsiparum atau 0,25 mg basa/kgBB/hari selama 14 hari. Klorokuin dosis standard dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari. Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari dan doksisiklin (2 mg/kgBB/dosis) 2 kali sehari selama 7 hari. Kina (10 mg garam/kgBB/dosis) 3 kal sehari selama 7 hari dan klindamisin (10 mg/kgBB/dosis) 3 kali sehari selama 7 hari. 2) Malaria Berat Anak dengan malaria berat harus dirawat inap dan diberikan pengobatan dengan artesunat intravena atau kina HCl intravena per infus. Terapi suportif harus diberikan sesuai dengan gejala komplikasinya: a. Malaria serebral Diberikan infus kina dihiroklorida, dosis 10 mg/kgBB/kali dilarutkan dalam 50 100 ml infus garam fisiologis atau cairan 2 a atau dekstrose 5% dan diberikan selama 2 4 jam, 3 kali sehari selama pasien belum sadar. Pemberian tidak boleh terlalu cepat (<10 menit) oleh karena tekanan darah dapat turun mendadak disertai aritmia jantung. Apabila pasien sudah sadar kina dilanjutkan per-oral hingga total intravena + oral selama 7 hari. Dapat ditambahkan fansidar atau suldox dengan dosis seperti diatas (melalui sonde). Apabila disertai kejang berikan diazepam 0,5 mg/kgBB intravena perlahan-lahan.

b.

Anemia berat Anemia berat ditandai dengan kepucatan yang sangat pada telapak tangan, sering diikuti dengan denyut nadi cepat, kesulitan bernafas, kebingungan atau gelisah. Tanda gagal

jantung seperti irama derap, pembesaran hati dan terkadang edema paru (nafas cepat, fine basal crackles dalam pemeriksaan auskultasi) bisa ditemukan. (4)

Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada: Semua anak dengan hematokrit 15% atau Hb 5 g/dl Anak yang anemianya tidak berat (hematokrit > 15%; Hb > 5 g/dl) dengan tanda berikut: Dehidrasi Syok Penurunan kesadaran Pernafasan Kusmaull Gagal jantung Parasitemia yang sangat tinggi (>10% sel darah merah mengandung parasit).

Berikan packed red cells (10 ml/kgBB), jika tersedia, selama 3 4 jam. Jika tidak tersedia berikan darah utuh segar 20 ml/kgBB selama 3 4 jam. Periksa frekuensi nafas dan denyut nadi setiap 15 menit. Jika salah satunya mengalami kenaikan, berikan transfusi dengan lebih lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid intravena (1 2 mg/kgBB) hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB.

Setelah transfusi, jika Hb tetap rendah, ulangi transfusi. Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya sekali.

c.

Dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit Lactic acidosis sering terjadi sebagai penyulit malaria berat, ditandai dengan peningkatan kadar asam laktat darah atau dalam likuor serebrospinal. Larutan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5% segera diberikan dengan hati-hati dan awasi tekanan darah. Di rumah sakit dengan fasilitas pediatrik gawat darurat, dapat dipasang central venous pressure (CVP) untuk mengetahui kebutuhan cairan lebih cermat. Apabila telah tercapai rehidrasi, tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kgBB/jam makan dapat diberikan furosemid inisial 2 mg/kgBB

kemudian dilanjutkan 2 x dosis dengan maksimal 8 mg/kgBB (diberikan dalam waktu 15 menit). Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan nafas, beri oksigen 2 4 liter/menit, dan apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang. (3)

d.

Hipoglikemia Hipoglikemia (gula darah: < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl) lebih sering terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang mengalami kejang dan/atau hiperparasitemia dan pasien koma. (4)

Berikan 5 ml/kgBB glukosa 10% intravena secara cepat. Periksa kembali glukosa darah dalam waktu 30 menit dan ulangi pemberian glukosa (5 ml/kgBB) jika kadar glukosa rendah (< 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl). (4)

Cegah agar hipoglikemia tidak sampai parah

pada anak yang tidak sadar dengan

memberikan glukosa 10% intravena. Jangan melebihi kebutuhan cairan rumatan untuk berat badan anak. Jika anak menunjukan tanda kelebihan cairan, batasi cairan parenteral; ulangi pemberian glukosa 10% (5 ml/kgBB) dengan interval yang teratur. Bila anak sudah sadar dan tidak ada muntah atau sesak, stop infus dan berikan makanan/minuman per oral sesuai umur. Teruskan pengawasan kadar glukosa dan obati sebagaimana mestinya. KOMPLIKASI

Malaria Serebral Merupakan komplikasi paling berbahaya. Ditandai dengan penurunan kesadaran (apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma) yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, sering disertai kejang. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS. Diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis.

Diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan karena eritrosit berparasit sulit melalui kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. Tetapi pada penelitian Warrell, menyatakan bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, atau cerebral metabolic rate for oxygen pada pasien koma dibanding pasien yang telah pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan serebrospinal (CSS) meningkat pada malaria serebral yaitu >2.2 mmol/L (1.96 mg/dL) dan dapat dijadikan indikator prognostik: bila kadar laktat >6 mmol/L memiliki prognosa yang fatal. Biasanya disertai ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia, dan edema paru. Bila terdapat >3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75 %. Gagal Ginjal Akut (GGA) Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), dan hanya 5-10 % disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ginjal ini oleh karena anoksia yang disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular akibat sekuestrasi, sitoadherendan rosseting. Apabila berat jenis (BJ) urin <1.01 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedang urin yang pekat dengan BJ >1.05, rasio urin:darah > 4:1, natrium urin < 20 mmol/L menunjukkan dehidrasi Secara klinis terjadi oligouria atau poliuria. Beberapa faktor risiko terjadinya GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria. Dialisis merupakan pengobatan yang dapat menurunkan mortalitas. Seperti pada hiperbilirubinemia, anuria dapat berlangsung terus walaupun pemeriksaan parasit sudah negative

Kelainan Hati (Malaria Biliosa) Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum, mungkin disebabkan karena sekuestrasi dan sitoadheren yang menyebabkan obstruksi mikrovaskular. Ikterik karena hemolitik sering terjadi. Ikterik yang berat karena P. falsiparum sering penderita dewasa hal ini karena hemolisis, kerusakan hepatosit. Terdapat pula hepatomegali, hiperbilirubinemia, penurunan kadar serum albumin dan peningkatan ringan serum transaminase dan 5 nukleotidase. Ganggguan fungsi hati dapat menyebabkan hipoglikemia, asidosis laktat, gangguan metabolisme obat.

Edema Paru sering disebut Insufisiensi Paru Sering terjadi pada malaria dewasa. Dapat terjadi oleh karena hiperpermiabilitas kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin juga karena peningkatan TNF-. Penyebab lain gangguan pernafasan (respiratory distress): 1) Kompensasi pernafasan dalam keadaan asidosis metabolic; 2) Efek langsung dari parasit atau peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak; 3) Infeksi sekunder pada paru-paru; 4) Anemia berat; 5) Kelebihan dosis antikonvulsan (phenobarbital) menekan pusat pernafasan.

Hipoglikemia Hipoglikemi sering terjadi pada anak-anak, wanita hamil, dan penderita dewasa dalam pengobatan quinine (setelah 3 jam infus kina). Hipoglikemi terjadi karena: 1) Cadangan glukosa kurang pada penderita starvasi atau malnutrisi; 2) Gangguan absorbsi glukosa karena berkurangnya aliran darah ke splanchnicus; 3) Meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan; 4) Pemakaian glukosa oleh parasit; 5) Sitokin akan menggangu glukoneogenesis; 6) Hiperinsulinemia pada pengobatan quinine. Metabolisme anaerob glukosa akan menyebabkan asidemia dan produksi laktat yang akan memperburuk prognosis malaria berat

Haemoglobinuria (Black Water Fever) Merupakan suatu sindrom dengan gejala serangan akut, menggigil, demam, hemolisis intravascular, hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi pada infeksi P. falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat dan yang bukan disebabkan oleh karena defisiensi G6PD atau kekurangan G6PD yang biasanya karena pemberian primakuin.

Malaria Algid Terjadi gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg, disertai gambaran klinis keringat dingin, atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 C, kulit tidak elastis, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang normal. Syok umumnya terjadi karena dehidrasi dan biasanya bersamaan dengan sepsis. Pada kebanyakan kasus didapatkan tekanan darah normal rendah yang disebabkan karena vasodilatasi.

Asidosis

Asidosis (bikarbonat <15meq) atau asidemia (PH <7.25), pada malaria menunjukkan prognosis buruk. Keadaan ini dapat disebabkan: 1) Perfusi jaringan yang buruk oleh karena hipovolemia yang akan menurunkan pengangkutan oksigen; 2) Produksi laktat oleh parasit; 3) Terbentuknya laktat karena aktifitas sitokin terutama TNF-, pada fase respon akut; 4) Aliran darah ke hati yang berkurang, sehingga mengganggu bersihan laktat; 5) Gangguan fungsi ginjal, sehingga terganggunya ekresi asam. Asidosis metabolik dan gangguan metabolik: pernafasan kussmaul, peningkatan asam laktat, dan pH darah menurun (<7,25) dan penurunan bikarbonat (< 15meq). Keadaan asidosis bisa disertai edema paru, syok gagal ginjal, hipoglikemia. Gangguan lain seperti hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hipoalbuminemia. Manifestasi gangguan Gastro-Intestinal Gejala gastrointestinal sering dijumpai pada malaria falsifarum berupa keluhan tak enak diperut, flatulensi, mual, muntah, kolik, diare atau konstipasi. Kadang lebih berat berupa billious remittent fever (gejala gastro-intestinal dengan hepatomegali), ikterik, dan gagal ginjal, malaria disentri, malaria kolera. Hiponatremia

Terjadinya hiponatremia disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma abnormalitas hormon anti-diuretik (SAHAD). Gangguan Perdarahan Gangguan perdarahan oleh karena trombositopenia sangat jarang. Perdarahan lebih sering disebabkan oleh Diseminata Intravaskular Coagulasi (DIC).

PENCEGAHAN Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain :

Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur memakai kelambu, tidak berada diluar rumah pada malam hari, mengolesi badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela.

Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan semak-semak disekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan didalam rumah tidak gelap, mengalirkan genangan air serta menimbunnya.

Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida) Membunuh larva dengan menebarkan ikan pemakan larva Membunuh larva dengan menyemprot larvasida.

PROGNOSIS Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps. Sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30 50 tahun. Infeksi P.falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P.falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk.

Demam typhoid

DEMAM TIFOID
DEFINISI

Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.1 EPIDEMIOLOGI Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di Negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun. 2 Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 5,13%.6 Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7

ETIOLOGI Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8 Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9 Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.3 Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10 Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: - Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kumandan melindungi O antigen terhadap fagositosis

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. Ada 3 spesies utama yaitu : - Salmonella typhosa (satu serotype) - Salmonella choleraesius (satu serotype) - Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2 Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1 Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotype typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6 Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan

endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1 PATOLOGI Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu : Fase 1 Fase 2 submukosa Fase 3 pendarahan Fase 4 : Penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11 Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.11 PATOFISIOLOGI Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9 Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103- 109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8 : Ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan : Hiperplasia folikel limfoid : Nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan

Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9 Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1 Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5

Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas. Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi. Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2 GEJALA KLINIK Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5 Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1 Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,

pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2 Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Sepuluh persen mengakibatkan timbulnya relaps.5,6 dari demam tifoid yang tidak diobati akan

Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus. 2. Pemeriksaan fisik Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru. 3. Pemeriksaan penunjang Darah tepi perifer Anemia : Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus. Leukopenia :Namun jarang kurang dari 3000/ul Limfositosis relatif Trombositopenia : Terutama pada demam tifoid berat. Pemeriksaan serologi Serologi Widal : Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens. Kadar IgM dan IgG (Typhidot) Pemeriksaan biakan Salmonella Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4. Pemeriksaan radiologik Foto toraks : Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.

Foto abdomen : Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak

merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.1 PEMERIKSAAN FISIK 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cerna Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain: Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).5,13

PEMERIKSAAN PENUNJANG Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. 1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis. a. Pemeriksaan darah tepi. Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat.5 Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14 b. Pemeriksaan sumsum tulang Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.5 2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa a. Pemeriksaan kultur Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal. Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu

pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu pengambilan.2 Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3. Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan antibiotik.15

Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5 b. Tes Widal Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid.14

Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.5 Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 68. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan. Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibody bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2. Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat. Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena specimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti keganasan. pada penderita Pengobatan gizi buruk, seperti agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau antibiotik

kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibody tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15 Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14 Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena: semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B). Semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.

Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.16 Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella

lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17 Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibody tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15 Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Uji TUBEX3

Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolosakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeks Salmoneela serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respons terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4 -5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi igG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksiinfeksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi : 1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas 2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S. Typhi O9 3. Reagen B, yang mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A.

Setelah itu dua tetes reagen B (50

L) ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut

dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campurang yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut. Skor <2 3 Interpretasi Negatif Borderline Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian apabila masih meragukan lakukan

pengulangan beberapahari kemudian 4-5 >6 Positif Positif Menunjuk infeksi tifoid aktif Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9,reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (medan rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak,dengan membawa serta pewarna yang dikandung reagen

2. Uji Typhidot3

Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. Typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98&, spesifisitas sebesar 76,6% den efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitivitas dan spesifisitasnuji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.

Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini

yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien

TATA LAKSANA KOMPLIKASI DEMAM TIFOID3


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu : Komplikasi intestinal : Perdarahan usus, ileus paralitik, pankreatitis Komplikasi ekstra-intestinal Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis Komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksik

KOMPLIKASI INTESTINAL3
1. Perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.Selain karena faktor luka, perdarahan

juga dapat terjadi karenagangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapata perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal.

2. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejalaumum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perfotasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di dalam abnomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan oergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.

Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO ? # posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.

Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang

nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi hematologi3 Komplkasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan

protrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsusm tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.

Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata.

Bila terjadi KID dekompensata dapat dibeikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

Hepatitis Tifosa3

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi daripada S. Paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria,amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kanaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.

Pankreatitis tifosa3
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi / CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis3
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk.Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.

TATALAKSANA Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu: perawatan diet obat Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian. Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan. Diet Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.

Obat-obatan Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara drastis(1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain: - Kloramfenikol - Tiamfenikol - Cotrimoxazol - Ampisilin - Amoksisilin - Seftriakson - Sefiksim

Kloramfenikol Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonates sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3 Tiamfenikol Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-6

hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari. Co Trimoxazole Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial. Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome, agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi G6PD. Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian. Ampisilin dan Amoksisilin Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (05%). Dosis yang dianjurkan: Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari, Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal. Seftriakson Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari. Sefiksim

10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari. Kortikosteroid Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Dexametason 13mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3 Antipiretik Diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.

Lain-lain Transfusi darah Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Bedah Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus. Monitoring Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4- 5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.3 PENCEGAHAN Higiene perorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3 Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas

makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57C beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.3 Imunisasi Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1 Vaksin Demam Tifoid Oral Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty- 21a. Penyimpanannya pada suhu 2oC8oC. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Vaksin Polisakarida Parenteral Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 2C-8oC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.15 Vaksin parental utuh Berasal dari sel S.Typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc,anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. dosis diberikian 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi PROGNOSIS Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu pemulihan.19 Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5%

penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7 Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: - Hiperpireksia atau febris kontinua - Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium. - Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia. - Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5

DAFTAR PUSTAKA
1. W. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit FKUI,

2006: 1774-1779. 2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75. 3. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
4. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan

Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4. .


5. Chin, James. Penularan Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : Bakti Husada, 2000 :

556-557.

6. Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Bagian

Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Soetomo. Surabaya.2005


7. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82. 8. Sulistia G,Ganiswarna.dkk. Farmakologi dan Terapi cetakan ke 4. Gaya Baru,

Jakarta.FKUI ,2006.
9. Prof.DR.dr.Sri Rezeki S.Hadinegoro, SpA(K).Demam Tifoid pada Anak.

Medicastore.21/07/2008. 10. NN. Mengenal demam typhoid. Available from :http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated 2008 November 1st, cited : 2009 July 28th). 11. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan Infomedika, 2005: h.592-600. 12. NN. Demam typhoid. Available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demamtyphoid.html (updated 2008 November 13th, cited : 2009 July 28th).
13. NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :

http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008, cited : 2009 July 28th). 14. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

sars

8. Apa diagnose sementara pada kasus

TABEL DD

DD Laki-laki 22 thn

DBD +

MALARIA +

DEMAM TIFOID +

SARS +

Demam selama -/+ 1 minggu Selera makan + berkurang Sakit kepala +

+ + + +

+ + + +/-

+/+ + +/-

10 hari yang +/lalu dari papua

9. pe

You might also like