Professional Documents
Culture Documents
RUANG LINGKUP
1. Pengantar 2. Perbandingan Etika dan Hukum 3. Hubungan Dokter dan Pasien 4. KUHAPidana, KUHPidana dan KUHPerdata 5. UU No 13/1992 tentang Kesehatan 6. UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran 7. UU No 22/1997 tentang Narkotika 8. UU No 5/1997 tentang Psikotropika 9. UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen 10.Kasus Jurisprudensi
PENGANTAR (1)
Hukum Kedokteran adalah subsistem dari Ilmu Hukum (Bandingkan dengan ilmu Kedokteran Forensik yang merupakan subsistem dari Ilmu Kedokteran) Dokter harus mengenal dan memahami Hukum Kedokteran, karena dengan demikian ia : tahu rambu-rambu hukum dalam melakukan praktek profesi dokter agar tidak gegabah dilanggar siap menyiapkan pembelaan/upaya hukum bila dituntut pasien atau pihak lain tahu menggunakan haknya dalam upaya hukum bila berperkara yang menyangkut profesinya.
PENGANTAR (2)
Dokter jangan jadi bulan-bulanan oknum hukum karena tidak tahu hukum Jangan menghindari hukum, tetapi juga tidak perlu menjadi ahli hukum Hukum Kedokteran sangat luas meliputi KUHPidana, KUHPerdata, UU No 36/2009, UU lain yang berkaitan dengan Kedokteran dan Kesehatan (Kefarmasian, Alkes, Bahan, dll), PP terkait, Ketentuan/Keputusan Menkes /Dirjen /Badan POM, dll.
Persamaannya : Berisi aturan, petunjuk, keharusan dan larangan Ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis
HUKUM KEDOKTERAN
Dibuat oleh Negara atau Institusi Kenegaraan Publik Melindungi masyarakat Lebih bersifat dinamis dan rigid
Prosedur Pelanggaran
HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN (1) Kedudukan menurut hukum sama Wujud hubungannya transaksional profesional yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan bukannya kontrak berdasar hasil. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban Secara umum yang menjadi kewajiban pasien adalah hak dokter
Kewajiban pasien :
Memberi keterangan yang benar dan jujur tentang penyakitnya Menaati anjuran/instruksi dokter Menaati ketentuan-ketentuan Rumah Sakit dan beberapa kewajiban lain Memberi imbalan/jasa
KUHAPidana (1)
Pengertian (1) Penyidik Pejabat Polri/PNS untuk penyidikan (Mencari/mengumpulkan bukti tindak pidana) Penyelidik Pejabat Polri utk penyelidikan (Menemukan peristiwa sebagai tindak pidana => Dapat/tidak dilakukan penyidikan) Jaksa wewenang Penuntut Umum, melaksanakan Ketetapan Hakim Penuntutan Tindakan untuk melimpahkan ke Pengadilan.
KUHAPidana (2)
Pengertian (2)
Hakim Mengadili Pra Peradilan Wewenang Pengadilan Negeri untuk => Sah/tidak penangkapan => Sah/tidak penghentian penyidikan => Permintaan ganti rugi/rehabilitasi Putusan Pengadilan Vonis Upaya hukum Upaya tersangka/terdakwa/ terhukum untuk menggunakan haknya minta keadilan (banding, kasasi, peninjauan kembali, grasi, menuntut balik, didampingi Penasihat Hukum/Pembela, dll)
KUHAPidana (3)
Pengertian (3)
Penasehat Hukum Mendampingi tersangka/terdakwa/terhukum melakukan tindakan upaya hukum Tersangka Diduga Pelaku tindak pidana Terdakwa Sedang diselidiki/diadili Terhukum/terpidana Sudah dijatuhi vonis Keputusan dengan kekuatan hukum tetap -> Vonis yang sudah diterima oleh semua pihak atau yang sudah diupayakan maksimal.
KUHAPidana (4)
Pasal 20 s/d 31 (terutama 21) Penahanan terhadap tersangka Pasal 21 ayat 4 : Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : => Tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih (Penyakit/luka derajat III dan IV) => Tindak pidana termaksud dalam a.l. Pasal 351 ayat 1 (Penyakit/luka derajat II)
KUHAPidana (5)
Untuk memberi bukti bahwa minimal telah terjadi penyakit/luka derajat II dikeluarkan suatu Visum et Repertum Sementara (VRS) yang menerangkan tentang penyakit atau luka yang diderita korban serta penyebabnya dan bahwa korban masih dlm perawatan, derajat luka blm dpt ditentukan, karena perawatan belum selesai dan blm dpt diambil kesimpulan Tidak termasuk KUHP pasal 352 ayat 1 => Menahan si pelaku tanpa adanya suatu VRS dan hanya karena korban masih dirawat di rumah sakit tidak dapat dibenarkan secara yuridis.
KUHAPidana (6)
Pasal 133 ayat 1 : Permintaan keterangan Ahli kepada Dokter (termasuk pemeriksaan mayat) Permintaan penyidik yang tidak disertai alasan kuat atau masuk akal harus ditolak Jangan berlindung dibalik KUHP Pasal 50, kalau permintaan penyidik seperti tsb diatas dilakukan, Dokter dapat dituntut ahli waris mayat : => Secara pidana, dokter dikatakan merusak mayat (KUHPidana Pasal 406 ayat 1) => Secara perdata, dokter telah melanggar hukum menimbulkan kerugian bagi orang lain (KUHPerdata Pasal 1365 dan 1366).
KUHAPidana (7)
Pasal 133 ayat 2 : Ada dua jenis pemeriksaan mayat : => Pemeriksaan mayat (pemeriksaan luar saja), dengan ini tidak mungkin ditentukan sebab kematian => Pemeriksaan bedah mayat (pemeriksaan luar dan dalam), menentukan sebab kematian dan menjawab apakah perbuatan si tertuduh merupakan satu-satunya penyebab kematian ataukah pada si korban juga terdapat penyakit atau kelainan (bawaan) yang mempermudah atau mempercepat kematiannya.
KUHPidana (1)
Pasal 10 -> Pembagian Pidana Pasal 35 -> Hak terpidana yang dapat dicabut Pasal 44 -> Tidak dipidana perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan Pasal 48 -> Perbuatan karena pengaruh daya paksa Pasal 50 -> Perbuatan utk melaksanakan ketentuan UU Pasal 51 -> Perbuatan utk melaksanakan perintah jabatan
KUHPidana (2)
Pasal 89 -> Membuat orang pingsan Pasal 90 -> Luka berat Pasal 222 -> Menghalangi pemeriksaan mayat Pasal 224 -> Dipanggil sebagai saksi Pasal 242 -> Keterangan palsu diatas sumpah Pasal 263 -> Membuat surat palsu Pasal 267 dan 268 -> Dokter yang sengaja memberikan surat/keterangan palsu.
KUHPidana (3)
Pelanggaran susila
Pasal 284 -> Penyerangan seksual Pasal 286 -> Bersetubuh dengan wanita yang pingsan (diluar perkawinan) Pasal 287 -> Bersetubuh dengan wanita dibawah umur (diluar perkawinan) Pasal 290 -> Perbuatan cabul dengan seseorang yang pingsan dan belum cukup umur Pasal 291 -> Jika perbuatan dalam pasal 286-290 mengakibatkan luka berat atau kematian Pasal 294 -> Perbuatan cabul dengan anak atau bawahannya yang belum dewasa (Termasuk yang dilakukan dokter)
KUHPidana (4)
Pengguguran Pasal 299 -> Mengobati wanita untuk menggugurkan Pasal 346 -> Sengaja menggugurkan Pasal 347 -> Menggugurkan kandungan tanpa persetujuan Pasal 348 -> Menggugurkan kandungan dengan persetujuan Pasal 349 -> Dokter yang membantu perbuatan dalam pasal 346-348
KUHPidana (5)
Pasal 304 -> Sengaja membiarkan orang yang perlu ditolong Pasal 322 -> Membuka rahasia Pasal 338 -> Sengaja merampas nyawa orang lain Pasal 340 -> Sengaja merampas nyawa dengan rencana Pasal 341 -> Ibu yang merampas nyawa anaknya pada waktu melahirkan
KUHPidana (6)
Penganiayaan -> Penyakit/luka Pasal 351 ayat 1 -> Penyakit/luka sedang (derajat II) Pasal 351 ayat 2 -> Penyakit/luka berat (derajat III) Pasal 351 ayat 3 -> Penyakit/luka yang menyebabkan kematian (derajat IV) Pasal 352 ayat 1 -> Penyakit/luka ringan (derajat I)
KUHPidana (7)
Jika orang luka dibawa ke rumah sakit, maka terdapat kemungkinan sebagai berikut :
Tidak dirawat/ tidak perlu ORANG HIDUP istirahat (I) Hidup
KUHPidana
Ps 90 (II)
Dirawat
Selesai perawatan
Mati (IV)
KUHPidana Ps 90 (III)
KUHPidana (8)
Pasal 359 -> Karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati (Ini sebenarnya untuk pelanggaran lalu lintas) Pasal 360 -> Karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat (Ini juga untuk pelanggaran lalu lintas) Pasal 361 -> Kejahatan yang menyebabkan mati/luka karena menjalankan suatu jabatan
KUHPidana (9)
Pasal 372 jo Pasal 209 -> Pidana perpajakan Pasal 382 -> Penipuan dan misrepresentasi Pasal 406 -> Sengaja merusak barang/hewan (termasuk mayat) milik orang lain.
KUHPidana (10)
Pasal 512 -> Melakukan praktek tidak legal Pasal 512a -> Dokter yang tidak punya surat ijin Pasal 522 -> Dipanggil sebagai saksi ahli tidak datang Pasal 531 -> Tidak memberi pertolongan terhadap orang yang sedang menghadapi maut Pasal 534 -> Terang-terangan menunjukkan sarana mencegah kehamilan.
KUHPerdata
Pasal 1365 -> Kewajiban memberi ganti rugi kepada orang lain yang mengalami kerugian karena perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 -> Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Pasal 1370 dan 1371 -> Mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua belah pihak.
UU No 23/1992
TENTANG POKOK-POKOK KESEHATAN Pengantar UU No 23 tahun 1992 merupakan produk hukum (semacam Health Act) dan sekaligus sebagai guidelines tentang sistem kesehatan di negara kita yang menggantikan berbagai UU terdahulu yang berkaitan dengan kesehatan Sebagai salah satu hukum pidana berisikan materi hukum serta sanksinya yang dapat melengkapi KUHPidana yang sudah ada
UU No 23/1992
Pengantar (2)
Namun ada pula yang tidak bersifat normatif yaitu tidak jelas sanksinya bila dilanggar, dimana harus ada : Unsur kerugian Hubungan kepentingan Hakikat norma yang dilanggar Contohnya pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 7, 9, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 24, 28, 29, 30, 32, 37, dst.
UU No 23/1992
Pengantar (3) Selain itu UU ini juga memiliki aspek lain yaitu : -> Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55 tentang hukum administrasi -> Pasal 76, 77, 78 tentang Pengawasan -> Pasal 72 ayat 1 tentang pembentukan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional (yang baru dibentuk pada 17/2/1995)
UU No 23/1992
Umum
Dasar hukum : UUD 1945 pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Penyempurnaan/Pengintegrasian Dasar Penyusunan Dasar Pertimbangan Pembangunan Kesehatan (sasaran, orientasi, bagaimana diselenggarakan, peran Pemerintah dan masyarakat, kaitan dengan keberhasilan pembangunan) Perangkat hukum kesehatan
Umum (2)
Hal-hal pokok : Asas dan tujuan (Bab II) Hak dan kewajiban Bab III) Tugas dan tanggung jawab (Bab IV) Upaya kesehatan (Bab V) Sumberdaya kesehatan (Bab VI) Ketentuan pidana (Bab X) Validitas ketentuan hukum : 9 UU tidak berlaku lagi Yang tidak bertentangan masih berlaku 29 ketentuan memerlukan PP 2 ketentuan memerlukan Keppres Isi : 12 bab, 90 pasal.
UU No 23/1992
Bab I Pasal 1 Ketentuan Umum
Pengertian
UU No 23/1992
Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab Pasal 6 Upaya kesehatan dan tugas Pemerintah Pasal 7 Bagaimana upaya kesehatan diselenggarakan Pasal 8 Peran serta masyarakat Pasal 9 Tanggung jawab Pemerintah
UU No 23/1992
Bab V Upaya Kesehatan
Pasal 10 Upaya kesehatan yang bagaimana Pasal 11 Kegiatan melaksanakan upaya kesehatan (ada 15 kegiatan). Pengertian Kesehatan Matra. Pasal Pasal Pasal Pasal 12-19 Kesehatan Keluarga 12 Sasaran 13 Kesehatan Suami-istri 14 Kesehatan Istri
Pasal 24 -27 Kesehatan Jiwa Pasal 24 Sasaran, kegiatan, pihak penyelenggara Pasal 25 Kewajiban Pemerintah Pasal 26 Penderita -> Gangguan keamanan Pasal 27 Peranan
Pasal 65-66 Pembiayaan Kesehatan Pasal 65 Peran masyarakat dan Pemerintah Pasal 66 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Badan Hukum dan Izin.
UU No 23/1992
Bab VII Peran Serta Masyarakat Pasal 71 Sejauh mana? Posisi Pemerintah ? Ketentuan Pelaksanaan ? Pasal 72 Ikut dalam Politik Pemerintah Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional (BPKN)
UU No 23/1992
Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 73-75 Pembinaan Pasal 73 Yang melaksanakan : Pemerintah Pasal 74 Sasaran : Derajat kesehatan masyarakat optimal Kebutuhan masyarakat (pelayanan dan perbekalan kesehatan) Perlindungan terhadap gangguan/ bahaya kesehatan Kemudahan meningkatkan upaya kesehatan Peningkatan mutu profesional tenaga kesehatan Pasal 75 Ketentuan Pelaksanaan
Bab IX Penyidikan
Pasal 79 Penyidik Tindak Pidana : => Polisi => PNS Khusus Ketentuan : => UU No 8/1981 tentang KUHAPidana
UU No 23/1992
Bab X Ketentuan Pidana
Pasal 80-83 Tindak Kejahatan Pasal 80 Ps 15 (1) terhadap ibu hamil Ps 66 (2) izin/badan hukum JPKM Ps 33 (3) transplantasi/transfusi darah Ps 21, Ps 40 (4) makanan/obat Pasal 81 Ps 34, Ps 36, Ps 37 (1) tanpa keahlian/wewenang melakukan tindakan Ps 34 (2) donor sembarangan Ps 40 (2) produksi non-standar Ps 41 (2) mengedarkan tanpa izin Ps 69 (2) penelitian-pengembangan yang ngawur
UU No 23/1992
Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 87 Sembilan buah UU masih berlaku sepanjang belum diganti Pasal 88 Penyesuaian Bab XII Ketentuan Penutup Pasal 89 Sembilan buah UU dinyatakan tidak berlaku Pasal 90 Pemberlakuan UU tanggal 17 September 1992.
UU No 36/2009
Sejak 13 Oktober 2009, UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebagai penggantinya adalah UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU baru ini terdiri dari 205 pasal.
RUANG LINGKUP
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Ketentuan Umum. Azas dan Tujuan. Konsil Kedokteran. Standar Pendidikan Profesi Dokter. Pendidikan dan Pelatihan. Registrasi dokter. Penyelenggaran Praktik Kedokteran. Disiplin dokter. Pembinaan dan Pengawasan.
Setiap unsur dalam UUPK dielaborasi lebih detil dan dalam beberapa hal ada mandat tindak lanjut.
Dokuman RM merupakan milik dokter atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi RM merupakan milik pasien. Setiap dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran ; hanya boleh dibuka untuk kepentingan pasien, permintaan penegak hukum, permintaan pasien dan perintah undang-undang.
HAK DOKTER
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional. 2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. 3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 4. Menerima imbalan jasa.
KEWAJIBAN DOKTER
1. 2. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali apabila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
3. 4.
5.
HAK PASIEN
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis. 2. Meminta pendapat dokter lain. 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. 4. Menolak tindakan medis. 5. Mendapatkan isi rekam medis.
KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi lengkap dan jujur tentang masalah kesehatan. 2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter. 3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan. 4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
DISIPLIN DOKTER
Untuk menegakkan disiplin dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (disingkat MKDKI).
MKDKI (1)
1. Merupakan lembaga otonomi KKI. 2. Dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. 3. Bertanggung jawab kepada KKI. 4. Berkedudukan di ibu kota negara RI. 5. Dapat mengusulkan kepada KKI untuk membentuk MKDK daerah. 6. Keanggotaanya terdiri dari 3 dokter, 3 dokter gigi dan 3 sarjana hukum.
MKDKI (2)
7. Keanggotaannya ditetapkan oleh Menteri atas saran organisasi profesi. 8. Masa bhakti lima tahun. 9. Tugas : a. Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter.
PENGADUAN (1)
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan kepada organisasi profesi.
PENGADUAN (2)
Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi dan KKI. Keputusan dapat berupa : 1. Dinyatakan tidak bersalah, atau 2. Pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa : 1. Pemberian peringatan tertulis. 2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP, dan atau 3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan.
PENGADUAN (3)
Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya MKDKI ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi di tingkat pertama dan Menteri pada tingkat banding.
UU No 22/1997
TENTANG NARKOTIKA Narkotika Zat/obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman (sintetis/ semisintetis) yang dapat menyebabkan : => Penurunan/perubahan kesadaran => Hilangnya rasa => Mengurangi/menghilangkan rasa nyeri => Dapatmenimbulkan ketergantungan Dibedakan kedalam Gol I, II, III.
NARKOTIKA (2)
Gol I Hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk kepentingan lain Gol II dan III Yang berupa bahan baku dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Depkes Tujuan UU : Menjamin ketersediaan untuk pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan Mencegah penyalah gunaan Memberantas peredaran gelap.
NARKOTIKA (3)
Kandungan isi : 15 bab, 104 pasal Ruang lingkup : Umum, Tujuan, Pengadaan, Impor/Ekspor, Peredaran, Label dan Publikasi, Pengobatan dan Rehabilitasi, Pembinaan dan Pengawasan, Peran serta masyarakat, Pemusnahan, Penyidikan-Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Ketentuian pidana, Ketentuan lain, Ketentuan Peralihan
NARKOTIKA (4)
Gol I : Papaver somniferum L (kecuali bijinya) Opium mentah Tanaman koka (Erythroxylaceae) Kokain mentah Kokaina (Metil-ester-l-bensoil-ekgonina) Tanaman ganja dan derivatnya Asetorfin dan derivatnya Heroina (diasetil morfina) MPPP (metil-fenil-piperidinol-propionat) Derivat Fentanil
NARKOTIKA (5)
Gol II : Morfina dan derivatnya Ekgonina Furetidin Fentanil Metadona Metopon Opium Petidina Garam-garam tersebut diatas.
NARKOTIKA (6)
Gol III : Kodeina Derivat kodeina Campuran Opium dan bahan lain Campuran narkotika lain dan bahan lain Etil-morfina Dihidrokodeina.
UU No 5/1997
TENTANG PSIKOTROPIKA Psikotropika zat/obat alamiah/sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, berpotensi mengakibatkan sindroma ketergantungan Penggunaan : hanya untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan terbatas (Gol I barang terlarang dan dilarang diproduksi).
PSIKOTROPIKA (2)
Tujuan UU : Menjamin ketersediaan untuk pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalah-gunaan, memberantas peredaran gelap Kandungan : 16 bab, 74 pasal Ruang lingkup : Umum, Tujuan, Produksi, Peredaran, Ekspor-Impor, Label dan Iklan, Kebutuhan, Penggunaan ,Pemantauan, Pembinaan/Pengawasan, Pemusnahan, Penyelidikan, Ketentuan Pidana.
PSIKOTROPIKA (3)
Gol I : Brol Amfetamin dan derivatnya (DOB, DET, DMA, DMHP, DMT, DOET) Etisiklidina (PCE) Lisergida dan derivatnya (LSD-25, MDMA, Meskalin) Metkatinona (MMDA, MDA lain) Psilosibina Rolisiklidina (PHP, PCPY, STP, DOM) Tenosiklidina (TCP, TMA)
PSIKOTROPIKA (4)
Gol II : Amfetamin dan derivatnya (Met--, Lev--) Fenetilin Fenmetrazin Fensiklidin Sekobarbital, Amobarbital, dll. Gol III : Flunitazepam Norpseudoefedrin Pentobarbital Siklobarbital.
PSIKOTROPIKA (5)
Gol IV : Allobarbital dan --tal lain Alprazolam dan --lam lain Bromazepam, Diazepam dan --pam lain Etil amfetamin Klordiazepoksida Meprobamat
UU NO 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
PASIEN MERUPAKAN KONSUMEN
Konsumen adalah setiap orang pemakai produk barang dan jasa (Pasal 1 ayat 2 UUPK) Produk barang : Obat, suplemen makanan, alat kesehatan Produk jasa : Jasa pelayanan dokter/drg, jasa asuransi kesehatan.
6. 7. 8.
3.
4. 5.
Tangibles (bukti langsung dan nyata) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, tenaga kesehatan dan sarana komunikasi. Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. Responsiveness (daya tanggap) yaitu keinginan tenaga kesehatan untuk membantu pasien/konsumen dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Assurance (jaminan) mencakup kemampuan, kesopanan, sifat dapat dipercaya yang dimiliki tenaga kesehatan dan bebas dari resiko bahaya atau keragu-raguan. Emphaty (empati) meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien/konsumen.
6.
7.
8.
MEDICAL JURISPRUDENCE
Medical jurisprudence has been defined as that branch of state medicine which treats of the application of medical knowledge to certain questions of civil and criminal law. The term medical jurisprudence, though sanctioned by long usage, is not really appropriate, since the subject is strictly a branch of medicine rather than of jurisprudence (as lawyers understand the word); it does not properly include sanitation or hygiene, both this and medical jurisprudence proper being distinct branches of state medicine. In its widest sense, medical jurisprudence also includes forensic medicine. The connection between medicine and the law is ancient, and was perceived long before medical jurisprudence was formally recognized, or had obtained a distinct appellation. It first took its rise in Germany, and more tardily received recognition in Great Britain and elsewhere. (Chisholm, Hugh, ed (1911). Encyclopdia Britannica (Eleventh ed.). Cambridge University Press).
MEDICAL JURISPRUDENCE
Medical jurisprudence: The branch of the law that deals with the application of law to medicine or, conversely, the application of medical science to legal problems. Medical jurisprudence may be involved in cases concerning genetic relationships (eg, paternity testing) or injury or death resulting from violence. An autopsy may be done to help determine the agent of death (eg, a gun shot, poison) and how long the person has been dead. Forensic medicine is also important in cases involving rape. Modern techniques use such specimens as semen, blood, and hair to identify the body of a victim and to compare the DNA of the criminal to that of the defendant through DNA fingerprinting.
MEDICAL JURISPRUDENCE
Medical Jurisprudence, also called Legal Medicine, science that deals with the relation and application of medical facts to legal problems. Medical persons giving legal evidence may appear before courts of law, administrative tribunals, inquests, licensing agencies, boards of inquiry or certification, or other investigative bodies.
MEDICAL JURISPRUDENCE
Kasus baru yang belum ada dasar hukumnya dalam UU atau Ketentuan lain Biasanya Hakim memutuskan berdasarkan hati nuraninya dengan mempertimbangkan bukti-bukti kedokteran di Pengadilan. Keputusan Hakim ini menjadi Medical Jurisprudence untuk boleh diterapkan bagi kasus-kasus lain yang serupa yang akan muncul di kemudian hari.
MEDICAL JURISPRUDENCE
Karen Ann Quinlan (March 29, 1954 June 11, 1985) was an important person in the history of the right to die controversy in the United States. When she was 21, Quinlan became unconscious after coming home from a party. She had consumed diazepam, dextropropoxyphene, and alcohol. After she collapsed and stopped breathing twice for 15 minutes or more, the paramedics arrived and took Karen Ann to the hospital, where she lapsed into a persistent vegetative state.
MEDICAL JURISPRUDENCE
After she was kept alive on a ventilator for several months without improvement, her parents requested the hospital discontinue active care and allow her to die. The hospital refused, and the subsequent legal battles made newspaper headlines and set significant precedents. The tribunal eventually ruled in her parents' favor. Although Quinlan was removed from mechanical ventilation during 1976, she lived on in a persistent vegetative state for almost a decade until her death from pneumonia in 1985.
Referensi : 1. KUHAPidana. 2. KUHPidana. 3. KUHPerdata. 4. UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 5. UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 6. UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
8. UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 9. UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 10.UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 11.UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 12.UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 13.Publikasi dan Artikel lain.