You are on page 1of 70

TINDAK PIDANA

PAJAK

PENGERTIAN

Sering kali disebut dengan istilah delik


Kata delik berasal dari bahasa Latin yaitu

delictum dan dalam bahasa Belanda disebut


delict
Dalam bahasa Indonesia, delik diartikan
sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap UU

Menurut beberapa pakar hukum, delik

diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu


perbuatan pidana (Prof. Mulyatno),
pelanggaran pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaja),
peristiwa pidana (E. Utrecht)
Menurut pakar hukum Prof. Simon, delik
diartikan sebagai suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
atau pun tidak sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan oleh UU dan telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang
dapat dihukum

Dalam konteks hukum pajak, penegrtian tindak

pidana mempunyai arti suatu peristiwa atau


tindakan melanggar hukum atau UU pajak yang
dilakukan oleh seseorang yang tindakannya
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan
oleh UU Pajak telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan pidana yang dapat dihukum
Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan tindak pidana (delict)
adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana. Apabila ketentuan
yang dilanggar berkaitan dengan UU
Perpajakan, disebut dengan tindak pidana pajak
dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.

Dalam UU Perpajakan diatur adanya dua

macam sanksi yang dapat diterapkan kepada


WP apabila WP melanggar UU Pajak, yaitu
sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Beberapa UU yang mencantumkan sanksi
pidana adalah:
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah


dengan UU No. 16 Tahun 2000 (selanjutnay
disebut UU KUP diatur dalam Pasal 38 sampai
dengan Pasal 43)

UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

Bangunan sebagaimana diubah dengan UU No.


12 Tahun 1994 (diatur dalam Pasal 24 dan Pasal
25)
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
(diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14)
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (diatur dalam Pasal 37
sampai dengan Pasal 40)
Selain UU tersebut, sumber hukum lain yang
digunakan sebagai acuan adalah Kitab UU
Hukum Pidana (KUHP)

Dari semua pasal tindak pidana tersebut,

pada prinsipnya dapat dikualifikasikan dalam


dua jenis tindak pidana, yaitu:
Tindak pidana pelanggaran
Tindak pidana kejahatan

TINDAK PIDANA
PELANGGARAN
Dalam ajaran hukum pidana, pelanggaran

sering disebut sebagai kejahatan yang ringan.


Ancaman pidana lebih ringan dibandingkan
dengan tindak pidana kejahatan
Dalam Pasal 38 UU KUP, hukuman untuk
tindak pidana pelanggaran perpajakan adalah
pidana kurungan paling lama 1 tahun
dan/atau denda paling tinggi 2 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang bayar

WP dianggap melakukan tindak pidana

pelanggaran apabila perbuatannya dilakukan


bukan dengan sengaja atau terjadi karena
kelalaian, tidak hati-hati, atau kurang
mengindahkan kewajibannya sehingga
perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara

TINDAK PIDANA
KEJAHATAN
Ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana

pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat 6


bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling
sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
Bahkan, apabila seseorang melakukan lagi tindak
pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak
selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana
penjara yang dijatuhkan, ancaman pidananya
ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana

KELOMPOK TINDAK PIDANA


PERPAJAKAN
Dalam ketentuan Pasal 38, 39, dan 39A
terdapat 6 kelompok tindak pidana perpajakan,
yaitu:
Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran
diri untuk memperoleh NPWP dan pengukuhan
sebagai PKP
Tindakan pidana berkaitan dengan pengisian
dan penyampaian SPT
Tindak pidana berkaitan dengan penolakan
pemeriksaan

Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban

penyelenggaraan pembukuan, pencatatan,


dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran
pajak yang telah dipotong atau dipungut
Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan
dan penggunaan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak dan bukti setoran pajak
yang tidak sesuai dengan transaksi yang
sebenarnya
NB : Pasal-pasal tersebut lebih ditunjukkan
kepada WP

Sedangkan untuk pejabat pajak dikenakan

Pasal 36A dan Pasal 41 UU KUP No. 28 tahun


2007.
Dalam Pasal 36A ayat (1) UU KUP ditegaskan
bahwa pegawai pajak yang karena kelalaian
atau dengan sengaja menghitung atau
menetapkan pajak tidak sesuai dengan
ketentuan UU Perpajakan sehingga
mengakibatkan kerugian pada pendapatan
negara, dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.

Pasal 36A ayat (3) menegaskan apabila

pegawai pajak dalam melakukan tugasnya


terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada WP untuk
menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 368 KUHP dengan
ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun.

Dalam Pasal 41 UU KUP menegaskan bahwa

bagi pejabat yang karena kealpaannya tidak


memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 tahum dan denda paling banyak Rp
25.000.000,00.
Sementara itu, bagi pejabat yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau
seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 34 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun dan
denda paling banyak Rp 50.000.000,00

Selain ditujukan kepada WP dan pejabat

pajak, UU juga menegaskan adanya tindak


pidana perpajakan yang dilakukan oleh pihak
ketiga seperti akuntan publik, notaris,
konsultan pajak, dll.
Pada Pasal 41A UU No. 28 Tahun 2007
menegaskan dapat dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 tahun dan denda
paling banyak Rp 25.000.000,00

Tindak pidana perpajakan selain bisa

dilakukan oleh pelakunya langsung, juga bisa


dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara
langsung melakukan tindak pidana. Sehingga
dapat digolongkan dalam 4 golongan, yaitu:
Mereka yang menyuruh melakukan

(doenpleger)
Yang turut serta melakukan (mededader)
Mereka yang menganjurkan (uitlokker)
Mereka yang membantu melakukan
(medeplichtiheid)
NB: ditegaskan dalam Pasal 43 UU KUP bisa
dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 39, dan
Pasal 39A UU KUP

PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN


TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN

PEMERIKSAAN
BUKTI PERMULAAN

Pemeriksaan untuk bukti permulaan tindak

pidana perpajakan diatur dalam Pasal 43A UU


KUP yang dilakukan berdasarkan adanya
informasi, data, laporan, dan pengaduan.
Informasi, data, laporan dan pengaduan yang
diterima Dirjen Pajak akan dikembangkan dan
dianalisis melalui kegiatan intelejen atau
pengamatan yang hasilnya dapat
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan atau
ditindaklanjuti.

Informasi adalah keterangan baik yang

disampaikan secara lisan maupun tertulis


yang dapat dikembangkan dan dianalisis
untuk mengetahui ada tidaknya bukti
permulaan tindak pidana dibidang perpajakan.
Data adalah kumpulan angka, huruf, kata,
atau citra yang bentuknya dapat berupa
surat, dokumen, buku, atau catatan, baik
dalam bentuk elektronik maupun bukan
elektronik, yang dapat dikembangkan dan
dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya
bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan
yang belum dianalisis

Laporan adalah pemberutahuan yang

disampaikan oleh seseorang atau institusi


karena hak atau kewajiban berdasarkan UU
kepada pejabat yang berwewenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan
terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwewenang untuk
menindak menurut hukum, seorang yang
telah melakukan tindak pidana aduan di
bidang perpajakan.

Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan,

dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,


atau benda yang dapat memberikan petunjuk
adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah
terjadi suatu tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.

Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan bukti

permulaan adalah suatu pemeriksaan yang


dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan sesuai


standar pemeriksaan bukti permulaan, yaitu:
Pelaksanaannya harus didahului dengan
persiapan yang baik sesuai dengan tujuan
pemeriksaan bukti permulaan dengan
mendapat pengawasan yang saksama
Luas pemeriksaannya ditentukan berdasarkan
petunjuk yang diperoleh yang harus
dikembangkan melalui pencocokan data,
pengamatan, permintaan keterangan,
konfirmasi, dan pengujian lainnya berkenaan
dengan pemeriksaan bukti permulaan

Temuan pemeriksaan harus didasarkan pada

bukti yang sah dan cukup dan sesuai dengan


ketentuan UU Perpajakan
Tim pemeriksa terdiri dari beberapa orang
yang salah satunya penyidik, kecuali dalam
hal di suatu Kantor Wilayah Direktorat Jendral
Pajak tidak ada penyidik
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pajak,
tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
WP, tempat tinggal WP, atau tempat laing
yang dianggap perlu oleh pemeriksa

Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan

dapat dilanjutkan di luar jam kerja


Pelaksanaan pemeriksaan didokumentasikan
dalam kertas kerja pemeriksaan
Pemeriksaan harus diberitahukan kepada WP
WP diberi hak untuk hadir dalam Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
dalam hal hasil pemeriksaan ditindaklanjuti
dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Dalam melaksanakan pemeriksaan bukti


permulaan, pemeriksa mempunyai kewajiban,
yaitu:
Menyampaikan pemberitahuan tertulis
kepada WP tentang akan dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan
Memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa
pajak dan surat perintah pemeriksaan bukti
permulaan kepada WP
Menjelaskan alasan dan tujuan pemeriksaan

Memperlihatkan surat tugas kepada WP

apabila ada perubahan susunan tim


pemeriksa bukti permulaan
Melakukan pembinaa kepada WP dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan
perpajaka
Memberitahukan temuan pemeriksaan
terhadap WP Badan dan ditindak lanjuti
dengan penerbitan SKP

Melakukan pembahasan akhir dengan WP

Badan dan ditindaklanjuti dengan penerbitan


SKP
Mengembalikan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lainnya yang
dipinjam dari WP paling lama 7 hari sejak
tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
dalam hal pemeriksaan tidak ditindaklanjuti
penyelidikan

Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak

berhak segala sesuatu yang diketahui atau


diberitahukan oleh WP
Mengamankan bahan bukti yang ditemukan
apabila pemeriksaan ditindaklanjuti dengan
penyidikan
Membuat berita acara permintaan keterangan
para calon tersangka, calon saksi, dan/atau
pihak-pihak lain yang berkaitan
Membuat laporan kejadian, dalam hal
pemeriksaan ditindaklanjuti dengan
penyidikan

Kewenangan pemeriksa dalam melaksanakan


pemeriksaan bukti permulaan, yaitu:
Meminjam dan memeriksa buku catatan,
dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
WP, atau objek yang terutang pajak
Mengakses dan/atau mengunduh data yang
dikelola secar elektronik

Memasuki dan memeriksa tempat atau ruang,

barang bergerak, dan/atau tidak bererak yang


diduga atau patut diduga digunakan untuk
menyimpan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain, uang, dan/atau barang yang
dapat memberi petunjuk tentang penghasilan
yang diperoleh, kegiata usaha, pekerjaan
bebas WP, atau objek yang terutang pajak
Meminta kepada WP untuk memberi bantuan
guna kelancaran pemeriksaan bukti
permulaan

Melakukan penyegelan tempat atau ruang

tertentu serta barang bergerak dan/atau


barang tidak bergerak
Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis
dari WP
Meminta keterangan dan/atau bukti yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan WP
Melakukan pemanggilan dan meinta
keterangan kepada para calon tersangka,
calon saksi, dan/atau pihak-pihak yang
berkaitan yang dituangkan dalam berita acara
permintaan keterangan

Penindaklanjutan 3 Kemungkinan proses


pemeriksaan bukti permulaan, yaitu:
Dilanjutkan dengan tindakan penyidikan
apabila ditemukan bukti permulaan yang
mengandung adanya unsur tindak pidana
perpajakan
Dilakukan tindakan lain berupa penerbitan
SKP yang akan dilakukan apabila WP
melanggar pasa 13A UU KUP dan WP badan
yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat
(3) dan ayat (3a) UU KUP

Pembuatan laporan sumir karena WP tidak

ditemukan (dengan catatan apabila di


kemudian hari WP ditemukan, pemeriksaan
bukti permulaan akan dibuka kembali) atau
WP meninggal dunia. Selain itu laporan sumir
dapat dilakukan apabila WP menggunakan
Pasal 8 ayat (3) UU KUP

Penghentian
penyidikan

Dalam Pasal 44 UU KUP ditegaskan bahwa

penyidikan terhadap WP dapat dihentikan


dengan 4 alasan, yaitu:
Tidak terdapat cukup bukti
Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana di

bidang perpajakan
Peristiwanya telah kedaluwarsa
Tersangka meninggal dunia

Namun, dengan adanya Pasal 44B UU KUP,

penyidikan bisa dihentikan dengan


pertimbangan untuk kepentingan penerimaan
negara yang dilakukan oleh Jaksa Agung
dengan menerbitkan Surat Ketetapan
Penghentian Penyidikan (SKPP).
Penghentian ini dilakukan setelah WP
melunasi pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang seharusnya tidak
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 4 kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
atau yang seharusnya tidak dikembalikan.

Untuk memperoleh penghentian

penyelidikan, khususnya untuk kepentingan


penerimaan negara, WP harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Menteri
Keuangan dengan tembusan kepada Dirjen
Pajak
Surat permohonan dilampiri dengan
pernyataan yang berisi pengakuan bersalah
dan kesanggupan melunasi pajak yang belum
dibayar
Menteri Keuangan meminta Dirjen Pajak
melakukan penelitian dan memberikan
pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan

Dengan memperhatikan hasil penelitian,

Menteri Keuangan berdasarkan


pertimbangannya dapat menyetujui atau
menolak permohonan WP
Apabila disetujui, Menteri Keuangan
mengajukan surat permintaan kepada Jaksa
Agung untuk menghentikan penyidikan
disertai alasan untuk menghentikan
penyidikan
Apabila ditolak, Menteri Keuangan akan
menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada
WP bahwa permohonan ditolak

Setelah selesai administrasi proses pelunasan

pembayaran pajak, Jaksa Agung menerbitkan


SKPP paling lama dalam jangka waktu 6 bulan
sejak tanggal surat permintaan Menteri
Keuangan dan SKPP disampaikan kepada
penyidik melalui Menteri Keuangan
Selanjutnya, penyidik menghentikan kegiatan
penyidikan dan memberitahukan kepada
tersangka atau keluarganya, dan kepada
Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku
Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai
Negeri Sipil

Penghentian
penyidikan tindak
pidana pajak

Pengertian
penyidikan

Pasal 1 butir 2 KUHAP menyatakan bahwa

Penyidikan adalah serangkaian tindakan


penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam Pasal 1 ayat (28) UU Perpajakan
menyatakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.

Dari pengertian tersebut, penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan merupakan


serangkaian tindakan penyidik pajak untuk
mencari dan mengumpulkan bukti dengan
tujuan:
Agar permasalahan tindak pidana di bidang

perpajakan menjadi terang atau jelas


Dapat menemukan tersangkanya
Dapat mengetahui besarnya jumlah pajak yang
tidak dilaporkan (digelapkan)

Wewenang
penyidik pajak

Menerima, mencari, mengmpulkan, dan

meneliti keterangan atau laporan berkenaan


dengan tindak pidana di bidang perpajakan
Meneliti, mencari, dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan
Meminta keterangan dan bahan bukti dari
orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan

Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan

dokumen-dokumen lain berkenaan dengan


tindak pidana di bidang perpajakan
Melakukan penggeledahan untuk
mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain,
serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan

Menyuruh berhenti dan/atau melarang

seseorang meninggalkan ruangan atau


tempat pada saat pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang
dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e
Memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan
Memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi

Menghentikan penyidikan
Melakukan tindakan lain yang perlu demi

kelancaran penyidikan tindak pidana di


bidang perpajakan menurut hukum yang
bertanggung jawab

Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik


pajak dapat menghentikan penyidikan apabila:
Tidak terdapat cukup bukti
Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana
di bidang perpajakan
Peristiwanya telah kedaluwarsa
Tersangka meninggal dunia

Keterangan :
Dalammpenyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan dihentikan karena peristiwanya
kedaluwarsa, maka SKP tetap dapat
diterbitkan
Tindak pidana kedaluwarsa setelah lampau
waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian
tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak
yang bersangkutan

Selain penyidik pajak, Menteri Keuangan dan

Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan


atas dasar untuk kepentingan penerimaan
negara

Penuntutan tindak
pidana pajak

Merupakan rangkaian hukum setelah proses

hukum penyidikan berjalan tuntas yang


setelah proses penyidikan selesai dilakukan
maka maka penyidik pajak akan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum
Pasal 1 butir 6 KUHAP, penuntut umum
merupakan jaksa yang diberi wewenang oleh
UU untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim

Pembuktian
perpajakan

Memiliki tujuan untuk menemukan adanya

kebenaran material atau kebenaran yang


sesungguhnya yang dalam proses
persidangan di muka hakim, pembuktian
adalah cara untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran bukti-bukti yang dikemukakan oleh
masing-masing pihak yang bersengketa.

Alat-alat bukti dalam Pasal 1866 KUHPerdata,

yaitu:
Bukti tulisan
Saksi-saksi
Persangkaan-persangkaan
Pengakuan
Sumpah

Dari alat bukti tersebut, bukti tulisan

merupakan alat bukti utama karena


dalam lalu lintas keperdataan seseorang
sengaja membuat bukti tertulis sebagai
bukti dikemudian hari guna menghindari
kemungkinan timbulnya perselisihan

Alat bukti menurut hukum pidana pada

ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu:


Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa

Sistem
pembuktian

Dalam literatur hukum pidana , ada 3 sistem

pembuktian:
Sistem pembuktian dengan sistem bebas
Sistem pembuktian dengan sistem positief-

wettelijk
Sistem pembuktian dengan sistem negatiefwettelijk

PEMBUKTIAN DENGAN SISTEM


BEBAS
Menyatakan bahwa hakim tidak terikat pada

alat-alat bukti yang sah, asal saja ada


keyakinan pada hakim, maka hakim dapat
menjalankan dan menghukum seorang
terdakwa atas kesalahannya yang didasarkan
pada alasan yang dapat di mengerti dan yang
dapat dibenarkan oleh pengalaman sekalipun
tidak ada cukup bukti

PEMBUKTIAN DENGAN SISTEM


POSITIEF-WETTELIJK
menyatakan bahwa hakim hanya boleh

menentukan kesalahan tersangka apabila ada


bukti minimum yang di perlukan oleh UU
Apabila hakim melihat ada bukti yang
dinyatakan oleh UU, dengan tidak
menghiraukan adanya keyakinan hakim, maka
hakim wajib menyatakan tersangka bersalah
dan harus dihukum

PEMBUKTIAN SISTEM NEGATIEFWETTELIJK


Menyatakan bahwa seseorang akan dihukum

bila ada keyakinan pada diri hakim itu sendiri


yang di dasarkan pada alat-alat bukti yang
sah.
Sistem ini menekankan pada hal tentang
adanya keyakinan hakim bahwa memang
seseorang yang dihukum terbukti bersalah

Beban pembuktian

Dalam konteks pidana umum bebean

pembuktian adalah pada jaksa selaku


penuntut umum, lalu bagaimana halnya
dengan tindak pidana pajak, apakah bebean
pembuktiannya itu bisa dibalik menjadi
sistem pembuktian terbalik di mana Wp
sendiri yang harus membuktikan bahwa WP
bersalah.
Ketentuan sistem pembuktian terbalik diatur
dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) dan Pasal 26
ayat (4) UU KUP

Putusan
pengadilan dan
upaya hukumnya

You might also like