You are on page 1of 31

BELL’S PALSY

M E I P U T R A D AYA
1610211060
INTRODUCTION
ANATOMY
• The human facial nerve is the seventh cranial nerve (CNVII) and comprises motor, sensory and
parasympathetic components. Its function is responsible for voluntary and mimetic facial
movement, taste to the anterior two-thirds of the tongue, and control of salivary gland and
lacrimal gland secretions.
• The facial nerve receives axons from the superior part of the solitary nucleus and superior
salivary nucleus that form the nervus intermedius component (sensory and parasympathetic
axons) and motor efferent fibres from the facial nucleus, which receives synaptic input from
the contralateral motor cortex for all facial movements except the forehead, which has
bicortical input.
• The path of the facial nerve has intracranial, intratemporal and extratemporal components. Its
intracranial course runs from the pontomedullary angle to the internal acoustic meatus where it is
accompanied by the vestibulocochlear nerve (CNVIII).
• Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi semua
otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg)
yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang
sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis.
• Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf
selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina
sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian
awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis;
foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm.
• Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut
saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3
anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan
lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu
• 1. Segmen supranuklear
• 2. Segmen batang otak
• 3. Segmen meatal
• 4. Segmen labirin
• 5. Segmen timpani
• 6. Segmen mastoid
• 7. Segmen ekstra temporal
HISTORY

• Sir Charles Bell (1774–1842) was fascinated by the nervous system. As an accomplished
anatomist, artist, surgeon and teacher, his work on the characterization of the peripheral
nervous system through anatomical study, vivisection and clinical correlation, provided a
significant contribution to medical knowledge of his time.
• In particular, he was fascinated with the separation of sensory (trigeminal nerve) and motor
supply (facial nerve) to the face. It was his eloquent and logical descriptions that elevated his
status among his contemporaries and ushered the ‘post-Bell’s’ era, which saw a rapid increase
in the number of publications relating to acute idiopathic facial palsy —‘Bell’s palsy’.
DEFINISI

• Bell's palsy is an acute peripheral facial weakness of unknown cause and the diagnosis can be
established without difficulty in patients with unexplained unilateral isolated facial weakness.
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3152161/)

• Bell’s palsy is an acute-onset peripheral facial neuropathy and is the most common cause of
lower motor neuron facial palsy. (General neurology Bell’s palsy: aetiology, clinical features and multidisciplinary care Timothy J Eviston, dkk)
EPIDEMIOLOGY

• Bell’s palsy is a common cranial mononeuropathy.


• It affects males and females equally, and has a slightly higher incidence in mid and later life, but
certainly occurs across all age ranges
• Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi BP sebesar
19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, disbanding non-diabetes. BP mengenai laki-
laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
AETIOLOGY

• There is a diverse body of evidence implicating immune, infective and ischaemic


mechanisms as potential contributors to the development of Bell’s palsy, but the cause of
classical Bell’s palsy remains unclear.
• One possible cause that has been suggested is that of a reactivated herpes simplex virus
(HSV-1) infection centred around the geniculate ganglion, a theory first outlined by
McCormick
• HSV-1 is one of several human herpes viruses known to have a neurotrophic capacity for
peripheral nerves, and other viruses in this category include herpes simplex virus type 2 (HSV-
2) and varicella zoster virus (VZV).
• They enter the body through mucocutaneous exposure and establish their presence in latent
form with highly restricted gene transcription in multiple ganglia throughout the neuroaxis for
the entire life of the host, including in the cranial, dorsal root and autonomic ganglia
BELL’S PALSY DIBEDAKAN DALAM 3
FASE YAITU :
1. Fase akut (0-3 minggu) : Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya
akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan
distal serta dapat menyebabkan edema saraf.
2. Fase sub akut (4-9 minggu) : Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang.
3. Fase kronik (> 10 minggu) : Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu
dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan
fibrosis saraf
MANIFESTASI KLINIS
• Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara
• Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin
• Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell phenomen).
• Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka
air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh
NEXT…
G E J A L A D A N TA N D A K L I N I K L A I N N YA B E R H U B U N G A N D E N G A N T E M PAT/ LO K A S I L E S I .

• Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan
paralisis semua otot ekspresi wajah
• Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon)
• Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang
dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.
• Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan
pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut
NEXT…

• Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion
genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah
pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama
• Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras).
• Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan
berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan
PATOFISIOLOGIS
DIAGNOSIS

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Gerak Dasar
4. Pemeriksaan Spesifik
Manual muscle testing (MMT) otot - otot wajah
Ugo fisch scale
D E R A J AT K E L U M P U H A N S A R A F F A S I A L I S D A P AT D I N I L A I S E C A R A S U B J E K T I F D E N G A N M E N G G U N A K A N

SISTIM HOUSE-BRACKMANN DAN METODE FREYSS .

Grade Characteristic
Grade Characteristic
Grade
1. Normal Characteristic
Gross
Normal facial function in all areas
Gross
Obvious
Grossbut not disfiguring difference between sides
Gross
Obvious
Noticeable
Only weakness and/ormotion
(butperceptible
barely not severe) disfiguring
synkinesis, asymmetry
contracture,
Slight weakness noticeable on close inspection
orAtAtrest,
rest,normal symmetry and tone
Mayhemifacial
have slight spasm
asymmetry
synkinesis
At
At rest,
Motion
rest, normal
normal symmetry
symmetry and and tone
tone
III.IV.Moderate dysfunction
V.Moderately
Severe dysfunction Motion
Forehead - None
severe dysfunction
II. Mild dysfunction Forehead - None closure
Eye - Incomplete
Motion
Motion
Eye - Incomplete closure
Mouth
Forehead -- Slight
Slight to
movement
moderate movement
Forehead
Mouth - Moderate
- Asymmetrical to good function
with effort
maximum effort
Eye - Complete closure with
Eye - Complete closure with minimal effort
VI. Total paralysis Mouth
No --movement
Mouth Slightly weak with maximum effort
Slight asymmetry
D E R A J AT K E L U M P U H A N S A R A F FA S I A L I S D A PAT D I N I L A I S E C A R A S U B J E K T I F D E N G A N

MENGGUNAKAN SISTIM HOUSE-BRACKMANN D A N METODE


FREYSS .

• Sistem House-Brackmann terdiri dari 5 • Derajat II-V merupakan kelumpuhan parsial


derajat. sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan
komplit. Pada pasien ini, awalnya didiagnosis
• Derajat I berfungsi normal,
dengan kelumpuhan saraf fasialis perifer kanan
• derajat II disfungsi ringan, dengan House-Brackmann derajat II. Setelah 10
• derajat III dan IV disfungsi sedang, hari pengobatan, kelumpuhan saraf fasialisnya
mengalami perbaikan menjadi House-Brackmann
• derajat V disfungsi berat dan derajat derajat II dan Setelah 3 minggu terapi fungsi
• VI merupakan kelumpuhan total. motoriknya sudah normal dengan House-
Brackmann derajat I serta tidak terdapat sinkinesis
atau gejala sisa lainnya.
NEXT…

• Pada metoda Freyss dinilai 4 komponen yaitu pemeriksaan fungsi motorik dari sepuluh otot
wajah, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di
Perancis.5 Pemeriksaan fungsi motorik dengan metode Freyss pada pasien ini terdapat
perbaikan, dari awalnya fungsi motorik terbaik 54% menjadi 76% dalam waktu 10 hari dan
dalam waktu ± 3 minggu fungsi motorik sudah normal (100%)
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING PARALISIS FASIALIS DAPAT DIBAGI MENURUT LOK ASI
LESI SENTRAL DAN PERIFER .

• Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan
proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan
mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain
seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis
kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya
• Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi
reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus
bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya
paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak
mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila
disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus
mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis,
eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia
TATALAKSANA
FARMAKOLOGI
• Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bell’s
palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari
pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang
dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.
Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal
70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off.
• Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari
2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi
kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome s
NEXT…

• Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi
dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis
oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10
hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk
dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek
samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan
keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
FISIOTERAPI

INFRA RED

• Pelaksanaan terapi
• Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan
area terapi dengan jarak 45 - 60 cm. Evaluasi di
lakukan sebelum dilakukan penyinaran dan saat
penyinaran, apakah ada panas yang terlalu tinggi
atau terlalu banyak keringat yang keluar.
• Dosis :
Dosis waktu : 15 menit
Pengulangan : 1x1 hari
MASSAGE
• Pelaksanaan terapi
• Massage diberikan pada wajah yang lesi. Sebelumnya tuangkan media pelicin ditangan terapis.
Usapkan pada wajah pasien dengan gerakan stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan
arah gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah gerakan dari dagu kearah
pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading
dengan jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot
wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju ke telinga. Kemudian lakukan
tapping dengan jari-jari dari tengah dahi menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah
telinga, dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan dari dagu menuju kearah
telinga. Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.
• Dosis :
Dosis waktu : 10 menit.
Pengulangan : Gerakan massage dilakukan dengan dosis masing-masing 3-5 kali pengulangan
FARADIK

• a. Pelaksanaan terapi
• Mesin masih dalam posisi off dan tombol intensitas dalam posisi nol. Elektroda pasif diletakkan
pada cervical 7, sedangkan elektroda aktif pada motor poin otot wajah kiri. Stimulasi diberikan
pada wajah yang kiri atau wajah yang lesi. Hidupkan alat, pilih arus faradik dan naikkan intensitas
sesuai toleransi pasien. Tiap satu motor point pada otot dilakukan kontraksi sebanyak 30 kali
rangsangan, dengan waktu 1-3 menit Untuk mengakhiri stimulasi terlebih dahulu menurunkan
intensitas arusnya. Kemudian lepaskan elektroda baik yang pasif maupun aktif dari kulit pasien
dan matikan dan rapikan alat.
• Dosis : Kontraksi : 30 kontraksi masing-masing setiap motor point
EDUKASI
• Pasien disarankan untuk kompres air hangat setiap pagi dan sore hari selama 10-15 menit.
• Pasien disarankan untuk tidak tidur dilantai, saat tidur menggunakan penutup mata dan jangan
menggunakan kipas angin secara langsung menerpa wajah.
• Pasien disarankan melindungi mata dari terpaan debu dan angin secara langsung untuk
menghindari terjadinya iritasi dan tidak lupa menggunakan tetes mata setiap harinya.
• Pasien diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan di depan kaca (mirror exercise) seperti:
mengangkat alis dan mengkerutkan dahi ke atas, menutup mata, tersenyum, bersiul, menutup
mulut dengan rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan memperlihatkan gigi-gigi, mengembang
kempiskan cuping hidung, mengucapkan kata-kata labial L,M,N,O dengan dilakukan sesering
mungkin
• Saat keluar malam menggunakan helm full face dengan kaca tertutup serta memakai selayer
atau masker
TERAPI NON-FARMAKOLOGIS

• Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan
dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata,
penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan
bawah).
• Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan
membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari
onset.
• Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti
memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh
dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi,
pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah
• Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
• Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per
hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
• Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan
kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan
bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-
40 kali dengan 2-4 set per hari.
• Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi..
• Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh
wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan
fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio
difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis
• Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
KOMPLIKASI

1. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)


2. Kontraktur otot wajah
3. Synkenesis (associated movement)
4. Spasme spontan
PROGNOSIS

• Pasien biasannya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa kelainan.
Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh dan 60%
mengalami sekuele. Bell’s palsy dapat rekuren pada 10-15% pasien. Hampir 30% pasien dengan
kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada N.VII atau kelenjar parotis (Dewanto,
dkk, 2009).

You might also like