You are on page 1of 11

Dibuat oleh :

Ari Lestari NIM : E2B016062


Khusriyah Khazanah NIM : E2B016066
1. Hakiki Pembangunan
Hakiki pembangunan adalah membentuk manusia-
manusia atau individu- individu otonom, yang memungkinkan
mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal.

kokohnya bangunan kemakmuran ditopang oleh kualitas


dari tiga pilar yang melandasinya, yaitu: pertumbuhan,
stabilitas, dan efisieni. Pilar pertumbuhan merupakan sisi
penawaran (supply side) yang keberlangsungannya ditentukan
oleh tiga faktor utama, yakni: modal, tenaga kerja dan
teknologi. Ketiga faktor ini diramu oleh pengusaha untuk
menggerakkan roda produksi mereka terdiri dari pengusaha
kecil, menengah maupun besar. Bangunan usaha bisa berupa
koperasi, swasta ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Agar ketiga pilar tersebut menghasilakan suatu bangunan
ekonom yang kokoh , dibutuhkan suatu arena kelembagaan (
institutional arena) yang memungkinkan seluruh elemen dari sisi
penawaran berinteraksi dalam suatu irama yang harmonis.

Sebelumnya dikemukakan bahwa kemakmuran harus


seiring dan seirama dengan keadilan. Terwujudnya keadilan juga
dipotong oleh tiga pilar utama, yaitu: kebebasan individu
(Freedom), tertib social (social order), dan pemerataan (equity).
Sebagai negeri yang pernah dijajah ratusan tahun, sosok
perekonomian indonesia hingga kini masih menyisakan ciri-ciri
yang ditinggalkan oleh masa penjajah. Peranan sektor primer
atau ekstraktif masih saja relatif besar. Sejak awal tidak tampak
upaya-upaya sistematis untuk mengembangkan industri yang
mengolah bahan mentah. jenis-jenis produk perkebunan seperti
karet dan teh yang dikembangkan di indonesia lebih
diperuntukan bagi pasar luar negeri ketimbang bagi pemenuhan
pasar dalam negeri oleh karena itu, wajar saja pola
ketergantungan center-periphery dalam struktur perdangan luar
negeri Indonesia masih cukup melekat. Hal ini pulalah yang
mengakibatkan ketidak stabilan penerimaan ekspor indonesia,
yang pada gilirannya kerap mengganggu keseimbangan
eksternal di dalam perekonomian Indonesia.
Belum sempat melakukan penataan terencana atas sektor ekstraktif
ini, khususnya sektor pertanian, pemerintahan Order Baru tampaknya
terobsesi untuk memacu industrialisasi untuk mengejar ketertinggalannya
dari negara-negera di Asia Timur. Ditengah kelangkaan modal dan sumber
daya manusia, terbentuklah struktur industri yang rapuh karena hanya
mampu bertahan dengan pemberian proteksi dan berbagai fasilitas
lainnya oleh pemerintah.
Krisis ekonomi telah memporak-porandakan bangunan ekonomi
Indonesia. Maka tidak mengherankan kalau sosok paling mencolok yang
muncul dari krisis ekonomi Indonesia adalah persoalan utang luar negeri
atau lebih tepatnya utang dalam bentuk valuta asing, baik yang berasal
dari dari lembaga-lembaga dalam negeri maupun luar negeri.
Kerisis ekonomi di Indonesia dewasa ini – yang sementara kalangan
meyakini sudah menjelang krisi gelombang kedua-telah beralih dari yang
disebabkan atau dipicu oleh ketidak seimbangan eksternal (neraca
pembayaran) menjadi yang tidak bersosok ketidak seimbangan eksternal
(desifir APBN yang relatif sudah besar dan cenderung terus
menggelembung). Bahkan pembenahan PBN 2001 sudah menjadi
persyaratan utama untuk menghasilkan kestabilan dan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
1. Makna Reformasi
Istilah reformasi mengandung berbagi interpretasi yang sangat
tergantung pada konteksnya. Kalau dikaitakan dengan gerakan
keagamaan pada paruh ke-2 pada abad ke 16, reformasi mengacu
pada proses pembaharuan gereja khatolik roma yang melahirkan
Kristen Protestan.
Pengertian reformasi dalam konteks mencari jalan keluar dari
krisis yang kita hadapi, setidaknya mengandung dua unsur. Pertama,
pembaharuan: karena sistem yang ada tidak ada tidak mampu lagi
merespons persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat dari
perubahan lingkungan internal dan eksternal. Kedua, perubahan ke
arah yang lebih baik: karena terjadi kemencengan-kemencengan dari
pola normal atau nilai-nilai universal atau hukum alam sebagaimana
tercermin dari berbagai anomali yang kian menjamur di dalam hampir
segala aspek kehidupan.
Demikian pula dengan penyakit ekonomi. Kesabaranlah
yang akan mempercetan pemulihan. Tahap pertama yang harus
dilalui adalah tahap rehabilitasi dan stabilitasi. Tugas pokok
pada tahap ini adalah penyerdiaan kebutuhan pokok dan inflasi.
Tahap ke dua adalah rehabilitasi. Karena tidak terjadi
kerusakan serius pada fasilitas–fasilitas produksi, maka titik berat
rehabilitasi pada pembenahan sistem insentif. Dengan begitu,
diharapkan terjadi restrukturisasi perekonomian secara alamiah.
Struktur ekonomi akan semakin kokoh karena lebih berlandaskan
oada prinsip keunggulan komparatif.
2. Urgensi Penguatan Civil Society
Dari kerangka konseptual diatas, secara implisit upaya untuk
mewujudkan perekonomian yang berkeadilan membutuhkan penguatan
civil society. Individu yang otonom sebagai persyatan utama
terbentuknya landasan civil society – baru dapat berkiprah secara
optimal seandainya diberikan akses yang sama dan seluas-luasnya
untuk menggapai segala kesempatan yang tersedaia (access of
opportunity).
Transisi dari rezim otoriter dari demokrasi membutuhkan waktu
yang cukup panjang. Di lain pihak, dunia usaha masih mengalami
konsolidasi dan serangkaian koreksi menuju penguatan keunggulan
komperatif. Mau tidak mau kekuatan ekstraparlementer akan
memegang peranan penting dalam menentukan arah pergerakan
bangsa Indonesia. Lembaga-lembaga nonpemerintah dan nonpartisan
seperti Yayasan Lembaga Konsumen (YLK), Indoensia Corruption Watch
(ICW) dan Gempita, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBH), dan Lembaga-lembaga riset yang kerap melakukan publik
policy advocacy, nyata-nyat telah perperan cukup penting untuk
menjadi “suara” rakyat ditengah ketulian para penguasa san egoisme
para pengusaha. Tampaknya, kekuatan civil society tidak hanya
penting pada era transisi, melainkan juga akan terus berlanjut pada
masa setelah itu. Maka, agenda pemberdayaan civil society perlu
ditempatkan secara lebih terstruktur sebagai bagian menyeluruh di
dalam peta politik dan ekonomi.
1. Sistem Multi Parti
Yang paling mendasar dari perubahan politik di Indonesia adalah
pergeseran dari sistem “satu partai”(single party system) menjadi sistem
politik multi partai (multy party system). Sedemikian alerginya dengan
partai politik dan memperlakuakan pemegang mayoritas mutlak,
Golkar, sebagai “nonpartai”.
Kini, kita telah memasuki era multipartai, mungkin untuk jangka
waktu yang cukup lama, mungkim akan hampir sama lamanya dengan
proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratik, secara
selanjutnya proses pengkonsolidasian dan pendalaman demokrasi yang
sekarang ini baru pada tahapan awal. Hampir semua negara yang
mengalami proses transisi dan awal proses pematangan demokrasi
pada awalnya ditandai oleh keadaan yang messy.
3. Peran Partai Politik
Peran partai politik sangat besar dan paling strategis
posisinya. Dulu, di Partai Amanat Nasional, misal saya dan sejumlah
teman-taman yang merasa kurang cocok untuk duduk di perlemen
lebih memilih untuk duduk di parlemen lebih memilih untuk memperkuat
institusi pasar, termasuk dengan keterlibatan saya sebagai anggota
KPPU. Untuk tugas di DPR/MPR dan partai-partai politik lainnya
adalah membangun institusi politik ini. Setidaknya ada tiga hal yang
bisa dikerjakan dalam upaya pembangunan institusi politik ini.
Pertama, mengurangi kesenjangan antara aspirasi masyarakat
dengan aspirasi politik dan para politisinya. Kedua, peran partai
politik sangat strategis untuk mentranformasikan sikap dan perilaku
masyarakat yang didasarkan pada primordialismem sektarianisme,
sukuisme, dan berbagai sikap emosional menjadi rasional, dan
institusional lewat proses negosiasi politik yang melembaga dan
transparan. Ketiga, menempatkan partai politik bukan hanya sebagai
mesin pengumpul suara melainkan juga sebagai alat kontrol sosial dan
politik.
Robert

You might also like